Sebanyak delapan ekor satwa dilindungi dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Pelepasliaran ini sebagai upaya melestarikan satwa di tengah berbagai ancaman.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak delapan ekor satwa dilindungi dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (29/6/2022). Satwa tersebut diserahkan oleh masyarakat kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel. Pelepasliaran ini sebagai upaya untuk melestarikan satwa di tengah berbagai ancaman, seperti perburuan dan konflik dengan manusia.
Kedelapan ekor satwa yang dilepasliarkan terdiri dari empat 4 owa siamang (Symphalangus syndactylus), 2 ekor beruang madu (Helarctos malayanus), 1 binturong (Arctictis binturong), dan 1 kucing hutan (Prionailurus planiceps). Kedelapan satwa ini merupakan hasil serahan masyarakat pada rentang Agustus 2021-April 2022.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Yusmono menerangkan, pelepasliaran satwa ini sebagai upaya melindungi satwa tersebut dari ancaman kepunahan. ”Dengan pelepasliaran ini diharapkan mereka bisa hidup dengan bebas dan peluang untuk berkembang biak semakin besar,” ujarnya.
Berdasarkan data International Union For Conservation of Nature, owa siamang merupakan jenis satwa yang terancam punah. Sementara, beruang madu dan binturong masuk dalam kategori rentan, sedangkan kucing hutan masuk dalam kondisi tidak mengkhawatirkan.
Sebelum dilepasliarkan, ujar Yusmono, satwa tersebut melewati sejumlah tahapan, seperti rehabilitasi di Resort Konservasi Wilayah IV Palembang. Setelah itu, setiap satwa menjalani pemeriksaan medis guna memastikan mereka tidak terjangkit penyakit zoonosis. ”Tahapan ini penting agar mereka yang dilepaskan tidak menyebarkan penyakit di habitatnya,” katanya.
Di Suaka Margasatwa (SM) Dangku yang memiliki luas sekitar 38.000 hektar ini hidup satwa dilindungi lain, seperti harimau sumatera, rusa, tapir, babi hutan, serta beragam jenis burung. Keberadaan harimau sumatera di SM Dangku terdeteksi pada 2006 melalui kamera jebak. Pada 2013, keberadaan harimau sumatera terdeteksi dari jejak dan laporan dari petugas.
Selain itu, pelepasan satwa juga harus diawali dengan proses habituasi, yakni proses adaptasi satwa terhadap lingkungan liarnya. Mereka diinapkan beberapa hari di dalam kandang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. ”Mereka juga diberikan makanan yang ada di dalam hutan,” ujarnya.
Kawasan SM Dangku sendiri jauh dari permukiman penduduk sehingga dianggap aman sebagai habitat satwa dilindungi. Meski begitu, ancaman bagi satwa dilindungi tetap saja ada, seperti risiko perburuan untuk diperdagangkan di pasar gelap. Aktivitas ini mengancam keberadaan satwa liar. ”Patroli rutin terus dilakukan guna menekan risiko tersebut,” ucap Yusmono.
Di sisi lain, Yusmono berharap masyarakat sadar untuk tidak menangkap atau memperdagangkan satwa dilindungi. Selain bisa terjerat sanksi pidana, aktivitas tersebut bisa mengancam kelestarian alam. ”Karena itu, jika memiliki satwa dilindungi, segera diserahkan kepada BKSDA,” ucapnya.
Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim Dinas Kehutanan Sumsel Elvi menuturkan, perlindungan terhadap satwa liar merupakan tanggung jawab semua pihak. ”Karena wilayah jelajah satwa dilindungi tidak bisa dibatasi. Bisa saja mereka masuk ke kawasan konsesi perusahaan, hutan lindung, atau bahkan di permukiman,” ucapnya.
Adalah tugas manusia untuk memastikan satwa tersebut bisa hidup bebas dan sejahtera di habitatnya. Karena itu, sosialisasi kepada setiap pihak terkait sangat dibutuhkan agar mereka memiliki visi yang sama, yakni melestarikan satwa liar.
Salah satunya, misalnya, terkait pembuatan koridor satwa. Dalam program ini, setiap pihak yang daerahnya dilewati oleh satwa liar harus membagi ruang bagi satwa untuk melintas dan mencari makan. ”Di dalam koridor ditanam tanaman yang disukai satwa tersebut dan menanam tanaman yang tidak disukai di luar kawasan koridor satwa,” ujar Elvi.