Rugikan Negara Miliaran Rupiah, Pengedar Rokok Ilegal di Jatim Semakin Lihai Beraksi
Bea dan Cukai Sidoarjo menyita 13,8 juta batang rokok ilegal senilai Rp 15,74 miliar dalam rentang 6 bulan belakangan. Produsen dan pengedar pun kian lihai mengelabui petugas kepabeanan dengan berpindah tempat produksi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Bea dan Cukai Sidoarjo menyita 13,8 juta batang rokok ilegal senilai Rp 15,74 miliar dalam 6 bulan terakhir. Produsen dan pengedarnya semakin lihai mengelabui petugas kepabeanan dengan berpindah-pindah tempat produksi dan mengubah pola penjualan.
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Sidoarjo Pantjoro Agoeng mengatakan, peredaran rokok ilegal di Jatim diprediksi meningkat tahun ini. Hal itu terindikasi dari naiknya jumlah barang bukti yang disita penyidik kepabeanan.
Berdasarkan data Bea dan Cukai Sidoarjo, periode Agustus 2021-Maret 2022 terdapat 8,1 juta batang rokok ilegal yang disita atau setara Rp 8,6 miliar. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat peredaran rokok itu hingga Rp 4,9 miliar.
Jumlah rokok ilegal yang disita tahun ini meningkat. Hingga Juni 2022, tercatat 13,8 juta batang rokok ilegal senilai Rp 15,74 miliar. Adapun nilai kerugian negara yang ditimbulkan telah mencapai Rp 8,31 miliar.
”Dari penyitaan jutaan batang rokok tahun ini, Bea dan Cukai Sidoarjo berhasil menangkap lima pengedar. Proses hukumnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo dan siap disidangkan di pengadilan,” ujar Pantjoro Agoeng, Rabu (29/6/2022).
Lima pengedar itu terancam hukuman paling singkat setahun dan paling lama 5 tahun penjara. Selain itu, ada ancaman denda 10 kali nilai cukai yang wajib dibayarkan. Para pelaku ini disangkakan melanggar Pasal 54 dan 55 UU No 39 Tahun 2007 Juncto UU 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Modus operandi peredaran rokok ilegal, menurut Pantjoro, mengalami perkembangan signifikan dari masa ke masa. Sebelum pandemi Covid-19, pengedar rokok ilegal mendistribusikan barang menggunakan truk dan kapal laut ke luar Jawa. Modusnya lantas berubah saat pandemi.
Pelaku memanfaatkan jejaring sosial dan platform perdagangan digital atau e-commerce. Penjual menjajakan dagangannya dengan kode tertentu agar mudah dikenali pembeli. Kode itu juga untuk mengelabui petugas kepabeanan yang memantau transaksi perdagangan dalam jaringan.
”Setelah pandemi mereda, para penjual rokok ilegal kembali mengubah strategi pemasarannya. Mereka lebih banyak menggunakan jasa ekspedisi barang untuk menghindari pemeriksaan kepabeanan,” kata Pantjoro.
Selain pemasaran, pelaku bisnis rokok ilegal juga lihai memainkan strategi produksi agar tak mudah terendus petugas. Mereka memilih memproduksi dalam skala rumahan dengan kapasitas kecil. Tujuannya, agar bisa dikerjakan karyawan dalam jumlah sedikit, bahkan pekerjanya hanya anggota keluarga sendiri.
Setelah itu, dari sejumlah usaha produksi rumahan, kemudian dihimpun rokok ilegal dalam jumlah besar dan dikirim saat memenuhi permintaan konsumen. Alamat pengirim dan penerima sengaja disamarkan agar tidak terdeteksi petugas.
Pantjoro mengatakan, perputaran uang dari bisnis rokok ilegal ini sangat besar, hampir Rp 16 miliar dalam enam bulan. Adapun keuntungan atau margin yang diperoleh bisa lebih dari Rp 8 miliar. Hal itu terjadi karena rokok ilegal tidak dilekati pita cukai atau biasa dikenal dengan sebutan rokok polos.
Selain itu, rokok ilegal biasanya dilekati pita cukai palsu, bisa juga dilekati pita cukai bekas, salah personalisasi cukai, dan pita cukai yang tidak sesuai peruntukan. Contohnya pita cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) dilekatkan pada rokok sigaret kretek mesin (SKM).
Perburuk kesehatan
Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Bea dan Cukai Sidoarjo Gatot Kuncoro menambahkan, upaya menggempur peredaran rokok ilegal juga ditempuh lewat edukasi dan sosialisasi. Edukasi dilakukan kepada produsen rokok di Sidoarjo, Surabaya, Gresik, Kota Mojokerto, dan Kabupaten Mojokerto. Di daerah tersebut banyak usaha skala rumahan.
Selain itu, pihaknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya mengonsumsi rokok ilegal. Rokok ilegal tidak hanya melanggar aturan tentang cukai hasil tembakau, tetapi tidak memperhatikan kadar nikotin dan zat berbahaya lainnya. Bahan yang digunakan tidak sesuai standar kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
”Untuk Jatim, baik Surabaya, Sidoarjo, Gresik, maupun Mojokerto, petugas menyasar warung-warung yang menjual rokok ilegal. Saat ini, sudah sulit ditemukan penjualan rokok ilegal di warung. Mayoritas rokok ini dipasarkan di luar Pulau Jawa,” tutur Gatot.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya Sulami Bahar mengatakan, peredaran rokok ilegal merugikan pengusaha rokok legal. Alasannya, rokok ilegal menggerus pasar rokok yang diedarkan legal dan menyebabkan persaingan harga yang tidak sehat.
Rokok ilegal dijual murah karena tidak membayar tarif cukai. Pengusaha rokok ilegal juga tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak. Oleh karena itulah, selisih harga antara rokok ilegal dan rokok legal bisa mencapai lebih dari 50 persen.
Sulami mendukung upaya pemerintah memberantas peredaran rokok ilegal karena merugikan masyarakat sebagai konsumen. Rokok ini juga merugikan pengusaha rokok legal dan menjadi ancaman bagi kelangsungan industri rokok nasional. Kontribusi industri rokok nasional cukup besar dalam penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.