Pembatik-pembatik dari ”Kota Seribu Kelenteng”
Kota Singkawang tidak hanya wisata kuliner, bangunan bersejarah dan atraksi budaya. Kisah para pembatik turut mewarnai ”Kota Seribu Kelenteng” itu.
Kota Singkawang tidak hanya wisata kuliner, bangunan bersejarah dan atraksi budaya. Kisah para pembatik turut mewarnai ”Kota Seribu Kelenteng” itu. Membatik menjadi ruang edukasi, pemberdayaan ekonomi, pelestarian budaya hingga ruang kerja sosial.
Kegembiraan terpancar dari wajah anak-anak di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, saat belajar membatik, Sabtu (25/6/2022). Sebelas anak itu belajar mulai dari pencantingan dengan lilin pada kain berukuran 25 cm x 30 cm, sesuai pola yang mereka buat.
Proses pencantingan sudah dimulai sejak sebulan lalu. Mereka kemudian memberi pewarnaan pada kain. Sabtu pagi itu mereka melanjutkan proses merendam kain dengan cairan water glass untuk mengikat warna pada kain agar tidak luntur. Setelah direndam beberapa saat, kain dijemur di tengah terik matahari.
Setelah kering, kain-kain direbus untuk melepaskan lilin dari kain dengan pengawasan mentor. Setelah direbus, kain-kain itu kembali dijemur hingga kering hingga proses membatik pun akhirnya selesai.
”Ini pengalaman pertama saya belajar membatik. Saya senang belajar membatik karena hasilnya bisa dijadikan baju, tas, sandal dan sepatu,” ungkap Sumi (13), siswi salah satu SMPN di Singkawang.
Membatik juga menyenangkan karena bisa berjumpa dengan teman-temannya. Sumi membuat motif batik berupa garis lurus, diberi sentuhan garis lengkung, ada juga garis segitiga dan segi empat. Kemudian, ia memberi sentuhan warna ungu, merah, biru, hijau, dan kuning.
”Membatik ternyata perlu kesabaran. Di kelak hari nanti, saya bercita-cita bisa memiliki usaha batik,” ujarnya lagi.
Membatik menjadi pengalaman pertama bagi peserta lainnya juga, yaitu Caca (12), siswi salah satu SDN di Singkawang. Ia baru pertama kali memegang canting untuk membatik. Caca juga menyukai warna-warna cerah yang ia tuangkan dalam motif kain.
Awalnya setiap pendaftar diberi kertas dan tiga pilihan warna, lalu mereka diminta menggambar. Lima anak yang gambarnya bagus dipilih ikut ke Yogyakarta.
Mereka antusias melihat hasil akhir proses kerjanya. ”Senang bisa melihat hasilnya. Warnanya bisa lebih jelas sekarang,” ujar William (13), peserta lainnya yang merupakan siswa salah satu SMPN di Singkawang.
Selama proses belajar membatik anak-anak tersebut didampingi Priska Yeniriatno (34), pemilik Galeri Kote Singkawang yang lebih senang dipanggil sebagai tukang batik. Anak-anak yang ia damping tersebut merupakan anak angkat rekannya.
Peserta berasal dari keluarga kurang mampu. Rekannya meminta Priska memberi tambahan keterampilan sebagai bekal anak-anak itu di masa depan. ”Senang bisa berbagi pengetahuan dengan mereka. Mereka juga diharapkan menjadi kader untuk mengedukasi yang lainnya di kemudian hari,” tutur Priska.
Kain karya anak-anak tersebut nantinya akan dikombinasikan dengan sandal. Pada sisi tertentu dari sandal akan dikombinasikan dengan batik sehingga karya anak-anak tersebut memiliki nilai ekonomi.
Komunitas pembatik
Mengedukasi anak-anak membatik bukanlah pertama kali bagi Priska. Sekitar bulan April/Mei 2022 lalu, Priska telah membentuk komunitas pembatik cilik Singkawang, tetapi berbeda kelompok dengan yang ia dampingi hari itu.
Pembatik cilik Singkawang yang ia bentuk disiapkan lebih sebagai seniman batik. Priska membuka pendaftaran di media sosial untuk beasiswa bagi lima anak untuk belajar membatik. Lima anak diikutsertakan dalam kegiatan di Yogyakarta pada bulan Juli bergabung dengan komunitas pembatik cilik Indonesia dan ambil bagian dalam pertunjukan membatik.
Saat pendaftaran dibuka, ada 19 anak yang mendaftar. Lalu, Priska mengajari mereka membatik. Dari 19 anak yang ikut, Priska memilih lima anak yang akan ikut ke Yogya. Sementara yang lainnya tetap dibina sebagai bagian dari komunitas pembatik cilik Singkawang.
“Lima anak dipilih untuk ikut ke Yogya karena kualitas gambar mereka. Awalnya setiap pendaftar diberi kertas dan tiga pilihan warna, lalu mereka diminta menggambar. Lima anak yang gambarnya bagus dipilih ikut ke Yogya,” kata Priska.
Membatik di dalam komunitas tersebut juga tidak hanya sekadar untuk berangkat ke Yogya dan sarana edukasi ataupun kader di kemudian hari. Salah satu anggota komunitas, memerlukan terapi untuk proses penyembuhan sakit dengan cara membatik.
Salah satu anggota komunitas pembatik cilik Singkawang pada awalnya tinggal di Jakarta. Untuk proses penyembuhan penyakitnya, ia memerlukan terapi bermain dengan warna, salah satunya menggambar. Namun, guru menggambarnya di Jakarta meninggal. Seiring waktu, Priska berjumpa dengan anak tersebut. Terapi pun akhirnya dilanjutkan dengan membatik.
Pemberdayaan
Selain komunitas pembatik cilik, juga ada komunitas pembatik ibu-ibu yang tersebar di Kecamatan Singkawang Timur, Singkawang Selatan dan Singkawang Barat. Total anggota komunitas pembatik ibu-ibu 31 orang.
Erlin (38), salah satu pembatik dari Singkawang Timur, pada Sabtu sore memperlihatkan batik karyanya. Sebagai masyarakat Dayak, ia membuat motif dengan ukiran-ukiran Dayak. Selain itu, ada sentuhan motif naga karena motif tersebut diminati di Singkawang. Mereka bebas menentukan motif pada kain sesuai karakteristik daerah. Terkadang membuat motif anggrek hutan.
”Saya belajar membatik dari Priska pada 2019. Awalnya gemetar saat proses penyantingan. Setelah dijalani asik juga membatik ternyata. Selain itu, ada penghasilan dari membatik,” tutur Erlin, Sabtu sore.
Demikian juga dengan Keti (33), anggota lainnya. Ia mulai belajar membatik pada 2021. Ia sebetulnya tidak bisa menggambar. Apalagi, sepengetahuannya, membatik identik dilakukan di masyarakat Jawa.
Namun, ia tertarik mencoba membatik karena ia terdorong ingin mendapatkan pengalaman baru. Bagian yang paling ia senangi dari proses membatik bagian menyanting dengan lilin. Dengan menyanting, ia merasakan ketenangan.
“Menjalani prosesnya perlu kesabaran. Di situlah saya anggap sebagai terapi untuk ketenangan,” kata Keti.
Komunitas pembatik juga ada yang tersebar di Singkawang Barat. Daerah itu dekat dengan pantai dan hutan bakau. Membatik juga pengalaman baru bagi ibu-ibu di daerah tersebut. Motif-motif yang mereka buat juga terkait lingkungan tempat tinggal mereka.
Fisanti (37) dan Henima (61), warga setempat, misalnya membuat motif menjala ikan dan pohon bakau. Mereka pun perlu ketekunan untuk bisa membatik. Bahkan, saat awal belajaar membatik, Henima menyendiri di kamar agar bisa membatik.
”Saya suka menggambar dan hal-hal yang terkait busana tradisional. Maka ketika ada yang mau mengajarkan saya membatik, saya senang sekali,” turur Henima.
Priska menuturkan, pemberdayaan ibu-ibu tersebut sejak tahun 2019. Awalnya ia memenangkan kompetisi industri kreatif yang diselenggarakan salah satu perusahaan swasta. Kemudian, perusahaan swasta tersebut memberi tantangan kepada dia untuk melakukan pemberdayaan di tiga wilayah tersebut. Akhirnya hingga kini masih berlanjut.
Priska membimbing ibu-ibu tersebut membatik hingga produksi. Penghasilan yang mereka terima dari Priska tergantung motif dan proses. Untuk pengerjaan hanya sampai pencantingan mereka mendapatkan Rp 70.000-Rp 150.000 per helai kain ukuran 2 meter.
Apabila prosesnya sampai pewarnaan mereka mendapatkan Rp 300.000 per helai dari Priska. Bagi Priska selain mendapatkan kader membatik melalui edukasi dan ada ruang-ruang kerja sosial di dalamnya, ia juga bisa mendapatkan tenaga kerja.
Jauh sebelum itu, sekitar tahun 2014/2015, Priska bahkan pernah memiliki pengalaman berjumpa dengan orang-orang yang baru keluar dari penjara. Priska mengajarkan mereka membatik untuk membangkitkan kembali rasa percaya diri.
Baca Juga: Berkah Natal bagi Tenun Ikat Sintang