Sidang ”Klitih” di Yogyakarta, Pengacara Terdakwa Sebut Dugaan Salah Tangkap
Kasus ”klitih” di Kota Yogyakarta yang menewaskan satu orang pada 3 April 2022 mulai disidangkan. Namun, dalam sidang perdana, sejumlah terdakwa membantah terlibat dalam kasus itu.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kasus klitih atau kejahatan jalanan di Kota Yogyakarta yang menewaskan satu orang pada 3 April 2022 mulai disidangkan. Namun, dalam sidang perdana yang digelar Selasa (28/6/2022), sejumlah terdakwa membantah terlibat dalam kasus itu. Pengacara atau penasihat hukum beberapa terdakwa juga menyebut ada dugaan salah tangkap dalam kasus tersebut.
Dalam kasus itu, ada lima terdakwa yang diajukan ke persidangan, yakni Ryan Nanda Syahputra (19), Fernandito Aldrian Saputra (18), Muhammad Musyaffa Affandi (21), Hanif Aqil Amrulloh (20), dan Andi Muhammad Husein Mazhahiri (20). Namun, berkas perkara kasus itu dibagi menjadi dua. Berkas pertama dengan terdakwa Hanif dan Andi, sementara berkas kedua dengan terdakwa Ryan, Fernandito, dan Musyaffa.
Saat pelaksanaan sidang di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Selasa, Hanif dan Andi menjalani sidang terlebih dulu dengan agenda pembacaan dakwaan. Setelah itu, barulah Ryan, Fernandito, dan Musyaffa menjalani sidang dengan agenda yang sama. Majelis hakim untuk dua perkara itu juga sama, yakni Suparman selaku hakim ketua serta Vonny Trisaningsih dan Tri Asnuri selaku hakim anggota.
Sidang kasus kejahatan jalanan itu digelar secara hybrid. Majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan tim penasihat hukum terdakwa hadir secara langsung di ruangan sidang. Sementara para terdakwa mengikuti sidang secara daring dari rumah tahanan.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum Ariyana Widayati mengatakan, pada Minggu, 3 April 2022 sekitar pukul 02.00, para terdakwa yang merupakan anggota geng bernama Morenza terlibat perang sarung dengan geng lain bernama Voster. Perang sarung merupakan istilah untuk menyebut tawuran bersenjatakan sarung yang dimodifikasi sehingga bisa menyakiti orang lain.
Dalam perang sarung yang terjadi di perempatan Druwo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu, Fernandito memboncengkan Musyaffa dan Ryan dengan sebuah sepeda motor. Sementara Hanif berboncengan dengan Andi mengendarai sepeda motor lainnya.
Akan tetapi, perang sarung antara anggota geng Morenza dan Voster itu hanya berlangsung sekitar 5 menit karena polisi kemudian datang dan membubarkan mereka. Para terdakwa itu kemudian mengendarai sepeda motor beriringan menuju ke arah timur. Dalam perjalanan itu, rombongan terdakwa disebut bertemu dengan rombongan korban yang bernama Daffa Adzin Albasith (17). Saat itu, Daffa bersama beberapa temannya juga mengendarai sepeda motor bersamaan.
Ariyana menyatakan, rombongan terdakwa kemudian mengejar rombongan korban. Saat berhasil mengejar, Ryan disebut mengucapkan kata makian kepada kelompok korban. Setelah itu, rombongan terdakwa dan pelaku juga disebut saling menyalip. Dakwaan jaksa juga menyebut, rombongan terdakwa kemudian mengejar rombongan korban yang berhenti di warung makan di Jalan Gedongkuning, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta.
Berdasarkan dakwaan jaksa, sesampainya di depan warung makan itu, Fernandito dan Hanif membleyer atau memainkan gas sepeda motor yang mereka kendarai. Selain itu, Ryan dan Andi disebut mengucapkan makian kepada kelompok korban. Sementara Musyaffa disebut sempat berteriak ”Ayo rene-rene” atau ”Ayo ke sini” pada kelompok korban.
Mendengar makian dan teriakan itu, kelompok korban kemudian merasa terpancing dan akhirnya mengejar dengan sepeda motor. Menurut dakwaan jaksa, saat melihat kelompok korban mengejar, kelompok terdakwa kemudian berhenti dan memutar balik sepeda motornya. Saat itu, jaksa menyebut, Ryan dan Musyaffa turun dari sepeda motornya dan berlari ke arah kelompok korban.
Jaksa juga menyebut, Musyaffa kemudian menyerang salah satu orang dari kelompok korban dengan sarung yang telah diisi dengan batu. Sementara Ryan disebut menyerang dengan gir sepeda motor berukuran 21 sentimeter (cm) yang diikat dengan sabuk warna kuning sepanjang 2,24 meter.
”Korban Daffa Adzin Albasith yang tidak bisa mengelak kemudian terkena sabetan gir sepeda motor pada bagian kepala sehingga mengakibatkan korban mengalami luka pada bagian kepala dan tidak sadarkan diri,” tutur Ariyana dalam dakwaan.
Akibat serangan itu, Daffa akhirnya meninggal. Sementara menurut jaksa, Ryan kemudian menyembunyikan gir sepeda motor di kandang ayam yang berada di samping rumah temannya di Kota Yogyakarta.
Terkait dengan peristiwa itu, jaksa mendakwa lima terdakwa itu dengan sejumlah pasal, yakni Pasal 170 Ayat (2) ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 353 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, serta Pasal 351 Ayat (3) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman untuk pelaku adalah pidana penjara selama-lamanya 12 tahun.
Membantah
Dalam persidangan, para terdakwa sempat ditanya oleh Hakim Ketua Suparman mengenai tanggapan mereka terhadap dakwaan jaksa. Saat menjawab pertanyaan itu, Andi menyebut, sebagian dakwaan jaksa tidak betul. Menurut Andi, pada 3 April itu, dirinya dan teman-temannya tidak datang ke Jalan Gedongkuning yang menjadi tempat kejadian perkara.
”Ada yang betul, ada yang tidak betul, Yang Mulia. Saya hanya berperang sarung, saya tidak berboncengan dengan Saudara Hanif, dan rombongan kami tidak ke Gedongkuning, Yang Mulia,” ujar Andi.
Sementara itu, Ryan juga menyebut dakwaan jaksa tidak benar. Ryan menuturkan, dirinya bukan pelaku kasus klitih di Jalan Gedongkuning. Dia juga mengaku tidak pernah membawa gir sepeda motor dan menyembunyikan gir itu di kandang ayam. ”Demi Allah bukan (pelaku), Yang Mulia,” tuturnya.
Penasihat hukum Ryan, Arsiko Daniwidho Aldebarant, mengatakan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh tim penasihat hukum, Ryan bukanlah pelaku klitih di Jalan Gedongkuning. Menurut Arsiko, Ryan dan teman-temannya memang terlibat dalam perang sarung dengan geng lain di perempatan Druwo. Namun, pada hari kejadian itu, Ryan dan teman-temannya mengaku tidak pernah datang ke Jalan Gedongkuning.
”Memang pada saat itu ada dua peristiwa yang bersamaan, yang satu di Gedongkuning dan yang satu di perempatan Druwo. Rombongannya Ryan memang ada tawuran di perempatan Druwo. Habis itu selesai dan pulang. Jadi, tidak ngerti dengan peristiwa yang di Gedongkuning,” tutur Arsiko.
Oleh karena itu, Arsiko menyebut, ada dugaan salah tangkap dalam kasus tersebut. Pada sidang berikutnya, tim penasihat hukum Ryan berencana mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa. ”Kemungkinan besar salah tangkap. Kami meyakini bukan Ryan pelakunya,” tuturnya.
Penasihat hukum Andi, Yogi Zul Fadhli, juga menyebut adanya dugaan salah tangkap dalam kasus tersebut. Menurut Yogi, Andi memang terlibat dalam perang sarung di perempatan Druwo. Namun, dia menuturkan, Andi tidak ada di lokasi saat terjadi peristiwa klitih di Jalan Gedongkuning.
”Sejak awal, kami melihat ada indikasi bahwa satu orang klien kami itu diduga (jadi korban) salah tangkap karena saat kejadian di Gedongkuning itu, dia tidak ada di lokasi sama sekali,” ungkap Yogi yang merupakan mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah DIY Komisaris Besar Yuliyanto menyatakan, jika memang polisi dinilai melakukan salah tangkap dalam kasus itu, para pihak yang ditangkap bisa mengajukan praperadilan. ”Kalau penyidik dianggap salah tangkap, ada mekanisme praperadilan. Itu hak dari yang ditangkap,” tuturnya.