Saatnya Berikan Lebih kepada Wilayah Pedalaman
Pandemi Covid-19 kian menegaskan banyak daerah terpencil yang minim akses dasar membutuhkan perhatian khusus. Warga di pedalaman bersusah payah menjalani kehidupan dan belajar jarak jauh.
Pandemi Covid-19 kian menegaskan banyak daerah terpencil yang minim akses dasar membutuhkan perhatian khusus. Warga di pedalaman bersusah payah menjalani kehidupan dan belajar jarak jauh. Inisiatif dan kearifan lokal yang membuat bertahan.

Lun Juk (100) adalah perempuan dayak yang tinggal di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kaltim, Kamis (12/12/2019).
Kabupaten Mahakam Ulu di Kalimantan Timur menjadi salah satu cerminan daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Untuk menuju Mahakam Ulu, dari Kota Samarinda, ibu kota Provinsi Kaltim, warga perlu berkendara ke Melak, Kabupaten Kutai Barat, selama 8,5 jam. Perjalanan dilanjutkan menyusuri sungai menggunakan perahu selama tiga jam ke Long Bagun, pusat pemerintahan Mahakam Ulu.
Mahakam Ulu pernah menjadi satu-satunya kabupaten di Kaltim yang tak mencatatkan kasus. Setelah lima bulan tanpa kasus Covid-19, pertahanan Mahakam Ulu akhirnya jebol juga. Kasus pertama di Mahakam Ulu muncul pada 7 Agustus. Kasus itu diketahui dari hasil tes mandiri warga sepulang dari Jawa Tengah.
Setelahnya, kasus-kasus bermunculan dari transmisi lokal, terutama di pusat pemerintahan Mahakam Ulu. Hingga 21 Juni 2022, Mahakam Ulu tercatat memiliki 1.822 kasus Covid-19. Artinya, 1,35 persen penduduk Mahakam Ulu terjangkit Covid-19. Jumlah tersebut yang paling kecil di Kaltim.
Mahakam Ulu banyak tertolong oleh kerapatan hutan dan kearifan masyarakat adat di sekitarnya. Kampung-kampung di pedalaman yang sulit dijangkau dan jauh dari pusat pemerintahan bebas Covid-19. Misalnya, Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang di Kecamatan Long Pahangai.
Tak ada jalur darat menuju dua desa yang bersebelahan itu. Satu-satunya akses menuju ke sana adalah melalui Sungai Mahakam menggunakan perahu, 3-4 jam dari pusat pemerintahan Mahakam Ulu. Kondisi itu membuat pemerintah desa dan warga mudah menyeleksi orang dari luar kampung.
Baca juga: Kala Hutan Jadi Benteng Alami dari Pandemi

Desa Liu Mulang dan Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, terlihat dari atas bukit, Kamis (12/12/2019). Desa itu dilalui Sungai Mahakam bagian hulu dan berada di tengah rapatnya hutan jantung Borneo.
Setelah mendengar kabar pandemi Covid-19, suku Dayak Long Gliit di sana mengadakan ritual tolak bala yang disebut hang bengan. Hang berarti ’batas’ dan bengan berarti ’penyakit’. Ritual itu dilaksanakan agar anggota suku Dayak berjarak dengan penyakit.
Kearifan lokal mengisolasi kampung itu tak membuat warga kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Suku Dayak Long Gliit dan suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe tak perlu membeli beras dari luar kampung. Sebab, mereka selalu menanam padi gunung dan stok tersedia untuk setahun ke depan.
”Kalau untuk makan sayur, kami semua menanam sendiri. Ada juga sayur pakis yang bisa diambil dari hutan. Untuk lauk, kami masih bisa menangkap ikan dari sungai atau menangkap babi dari hutan,” kata Kepala Desa Liu Mulang Hendrikus Helaq.
Hal tersulit yang dilalui warga saat pandemi Covid-19 di pedalaman Mahakam Ulu adalah memenuhi kebutuhan belajar jarak jauh. Sebab, dari 64 sekolah SD sampai SMA yang tersebar di lima kecamatan di Mahakam Ulu, hanya Kecamatan Long Bagun yang akses internetnya relatif stabil. Meski demikian, untuk bisa membuat pertemuan secara daring melalui panggilan video masih sulit.
Para guru harus datang satu-satu ke rumah siswa. Kami beruntung karena rumah siswa tidak jauh. Kadang, kami juga mengumpulkan anak- anak di sekolah dengan dibagi beberapa kelompok karena tidak memungkinkan untuk belajar jarak jauh. (Silvanus Silam Luhat)
Sisanya, di Kecamatan Long Hubung, Long Pahangai, Laham, dan Long Apari belum tersedia jaringan internet. Beberapa kantor desa memiliki layanan internet, tetapi kecepatan jaringannya akan menjadi sangat lambat saat dipakai banyak orang. Jangkauan sinyal tak bisa lebih dari 30 meter.
”Para guru harus datang satu-satu ke rumah siswa. Kami beruntung karena rumah siswa tidak jauh. Kadang, kami juga mengumpulkan anak- anak di sekolah dengan dibagi beberapa kelompok karena tidak memungkinkan untuk belajar jarak jauh,” tutur Kepala SDN 03 Long Tuyoq Silvanus Silam Luhat.
Baca juga: Suara Lirih Masyarakat Adat di Tepian IKN

Siswa dan guru SDN 003 Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur memperingati Hari Pendidikan Nasional dengan mengenakan pakaian adat dayak, Kamis (2/5/2019).
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kaltim, saat ini masih terdapat 509 desa blankspot dan 177 titik desa dengan sinyal internet lemah. Sebagian besar daerah itu terpencil dengan akses pendidikan dan kesehatan minim.
Dari 509 desa itu, 17 desa tertinggal. Permasalahan yang dihadapi desa-desa tersebut, antara lain, indikator ketersediaan tenaga kesehatan, tenaga pendidik, jarak kepada akses pendidikan SMA/SMK yang belum terpenuhi, dan minim akses ke pusat perdagangan.
”Ini menjadi PR kita dan perlu duduk bersama untuk mengevaluasi apa saja yang perlu didukung di pedalaman dan daerah terpencil ke depan,” ujar Kepala Bidang Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kaltim Sri Wartini.
Tradisi jaga jarak
Kearifan lokal juga menjadi tumpuan bagi warga di pedalaman Jambi untuk bertahan dari pandemi Covid-19. Suku-suku di pedalaman menerapkan tradisi jaga jarak yang disebut bersesandingon.
Sewaktu mengetahui informasi terjadi pandemi, sejumlah pemimpin kelompok di komunitas Orang Rimba langsung mengambil langkah cepat. Mereka membawa warganya berlindung masuk ke dalam Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), menjauh dari ancaman penularan virus atau penyakit dari luar.
Bersesandingon telah berlangsung turun-temurun. Hal itu juga diterapkan apabila ada anggota komunitas yang baru kembali dari kota atau luar hutan yang jaraknya jauh, mereka tidak akan langsung berkumpul dengan keluarga. Selang beberapa hari menjalani ”karantina” dan kondisinya dianggap aman, barulah ia dapat berkumpul kembali.
Untuk menangkal penyakit dan meracik obat-obatan, Orang Rimba memanfaatkan tanaman, cendawan, ataupun binatang di dalam hutan. Mengelola obat tradisional itu telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Lihat juga: Nasib Orang Rimba yang Tak Lagi Hidup di Rimba

Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Salah seorang warga komunitas Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, menunjukkan tanaman hasil semaiannya, Sabtu (22/5/2021).
Pedalaman Jambi dihuni komunitas adat Orang Rimba, Batin IX, dan Talang Mamak. Mereka menyebar pada enam kabupaten di Provinsi Jambi.
Untuk menangkal penyakit dan meracik obat-obatan, Orang Rimba memanfaatkan tanaman, cendawan, ataupun binatang di dalam hutan. Mengelola obat tradisional itu telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Kabupaten Batanghari menjadi konsentrasi tertinggi warga pedalaman itu. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfie Yenni mengatakan, ada 6.000 warga Suku Anak Dalam di wilayahnya. Mereka dari komunitas Orang Rimba dan Batin IX. Sebagian besar dari mereka sudah hidup menetap. ”Tersisa 20 persen yang masih menjalankan tradisi hidup berpindah,” ujarnya.
Tantangan terberat tak lain memberikan layanan bagi yang masih hidup nomaden. Selain itu, sebagian warga komunitas ini belum memiliki identitas kependudukan dan belum terdaftar sebagai penerima layanan BPJS. Agar mereka tetap dapat dilayani, Dinas Kesehatan Batanghari mengupayakan sejumlah strategi. Suku Anak Dalam dicatatkan sebagai penerima layanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan di wilayah Batanghari.
Kepala Balai TNBD Haidir menuturkan, layanan kesehatan bagi masyarakat di dalam kawasan taman nasional itu dilaksanakan kolaboratif dengan tim medis salah satu perusahaan sawit di sekitar wilayah itu. ”Petugas rutin keliling mendatangi anggota komunitas di bagian selatan TNBD untuk memberikan layanan kesehatan,” katanya.
Baca juga: Orang Rimba di Tengah Lautan Batubara

Menteri Sosial Tri Rismaharini menemui komunitas Orang Rimba di wilayah Bukit Duabelas, Kabupaten Batanghari. Jambi, Rabu (10/3/2021). Selain membari sejumlah bantuan ekonomi dan sosial, Risma menawarkan bantuan lahan kelola untuk pangan serta layanan internet untuk mendukung pendidikan bagi anak-anak rimba.
Kendala keamanan
Di Papua, penanganan pandemi di wilayah pedalaman tidak hanya terkendala akses jalan dan layanan kesehatan. Tantangan berat di sejumlah wilayah justru gangguan keamanan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Tanggal 22 Mei 2020 menjadi salah satu hari kelam bagi dunia kesehatan di Tanah Papua. Dua tenaga kesehatan di pedalaman Kabupaten Intan Jaya, Alemanek Bagau dan Heniko Somau, dibunuh kelompok kriminal bersenjata. Saat itu mereka hendak memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Insiden di Intan Jaya terulang setahun kemudian. Anggota KKB pimpinan Lamek Taplo menyerang tenaga kesehatan di Puskesmas Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, 13 September 2021. Seorang dokter dan tiga paramedis luka berat, sedangkan seorang perawat bernama Gabriela Meilani gugur dalam insiden ini.
Faktor keamanan menjadi salah satu penghambat penanganan kasus Covid-19 di daerah pedalaman yang rawan teror KKB, seperti Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga, dan Puncak. Upaya sosialisasi protokol kesehatan, penelusuran, dan pemeriksaan warga yang terpapar hingga pemberian vaksin Covid-19 juga terhenti.
Lihat juga: Ketika Pejuang Kesehatan yang Jadi Korban Aksi KKB di Pegunungan Bintang Diselamatkan

Anak-anak warga Distrik Oklip, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, tengah menyaksikan pesawat perintis milik AMA, Selasa (13/12/2011). Pesawat-pesawat perintis seperti itulah yang menjadi penghubung wilayah pedalaman Papua. Hingga saat ini, ketergantungan pada armada udara perintis itu di Papua masih tinggi karena kondisi geografis yang berat dan infrastruktur darat yang belum memadai.
Banyak tenaga kesehatan yang terpaksa meninggalkan tempat tugas untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Padahal, sudah ditemukan kasus Covid-19 di daerah-daerah tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Puncak Demus Wonda mengungkapkan, konflik yang terjadi selama beberapa tahun terakhir menyebabkan pelayanan kesehatan seperti penanganan Covid-19 di delapan puskesmas terhambat.
Faktor keamanan menjadi salah satu penghambat penanganan kasus Covid-19 di daerah pedalaman yang rawan teror KKB, seperti Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga, dan Puncak. Upaya sosialisasi protokol kesehatan, penelusuran, dan pemeriksaan warga yang terpapar hingga pemberian vaksin Covid-19 juga terhenti.
Ketua Ikatan Dokter (IDI) Provinsi Papua Donald Aronggear mendesak pemerintah melindungi tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman Papua.
Minimnya fasilitas kesehatan, telekomunikasi, dan akses transportasi udara serta laut turut menjadi kisah klasik yang menghambat sistem layanan kesehatan di daerah pedalaman Papua. Tenaga kesehatan di puskesmas tidak tersedia dalam jumlah memadai.
Baca juga: Kasus Covid-19 Terus Meluas di Pedalaman Papua

Peneliti Litbang Kesehatan Papua dibantu Dinas Kesehatan Asmat tengah mengambil sampel jaringan kulit di belakang telinga untuk identifikasi kusta di Kampung Jomnak, Distrik Joutu, Asmat, Kamis (15/8). Kampung-kampung di pedalaman Papua masih menjadi kantung kusta.
Sementara dari sisi akses transportasi, mayoritas pelayanan kesehatan di daerah pedalaman menggunakan moda transportasi udara dan laut karena fasilitas jalan belum tersedia. Biaya penyewaan pesawat ke daerah pedalaman di wilayah pegunungan bisa mencapai Rp 30 juta untuk beberapa jam saja.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, Samarinda, Ike Anggraeni, berharap pandemi menjadi momentum evaluasi bagi pemerintah untuk melihat daerah mana saja yang perlu peningkatan tenaga dan fasilitas kesehatan. Layanan kesehatan di pedalaman mesti dibenahi seiring perbaikan akses menuju wilayah tersebut.