Saat Sampah Plastik Lebih Dekat Nelayan daripada Ikan
Nelayan semakin kesulitan melaut dan merasakan perubahan iklim yang nyata. Kini mereka melaut harus lebih jauh atau punya keterampilan lain demi keluarga. Dari tukang bangunan atau memulung sampah plastik di laut.

Kapal nelayan berlabuh di perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (5/1/2020). Potensi cuaca buruk di perairan Sultra meningkat seiring masuknya musim hujan.
Selama puluhan tahun, kondisi pesisir di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara, terus berubah. Nelayan semakin kesulitan melaut dan merasakan perubahan iklim yang nyata. Kini mereka melaut harus lebih jauh atau punya keterampilan lain demi menghidupi keluarga. Ada yang menjadi tukang bangunan. Ada pula yang memulung sampah plastik di laut karena ikan kian sulit ditangkap.
Menjelang petang, Senin (20/6/2022), di Petoaha, Kendari. Rusman (49) membersihkan bodi atau perahu kecil miliknya. Perahu dari fiber sepanjang empat meter ini menjadi tumpuan hidupnya belasan tahun terakhir.
Di atas bodi, di tepi Teluk Kendari yang tenang, ayah lima anak ini membersihkan mesin 13 PK yang menempel di buritan. Setiap pagi dia memakainya melaut untuk menangkap cumi, lebih dari 18 kilometer jauhnya.
”Tadi pagi dapat lima tusuk cumi dijual Rp 40.000 per tusuk. Dikurangi bensin Rp 100.000, masih ada kami bawa pulang,” katanya pelan. Satu tusuk biasanya berisi lima cumi yang satunya berukuran sekitar 20 cm.
Pada akhir Juni 2022, perubahan musim barat ke musim timur mulai terasa. Angin bertiup lebih kencang membuat gelombang menjadi lebih tinggi. Amuk cuaca sering terjadi membuat pelayaran menjadi riskan.

Kapal nelayan berlabuh di perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (5/1/2020).
Selama bertahun-tahun, Rusman menceritakan, perubahan cuaca makin terasa. Bertahun-tahun sebelumnya, musim timur biasanya terjadi awal Juni hingga September atau awal Oktober. Saat ini, musim angin timur baru mulai dirasakan. ”Jadi sekarang tidak berani melaut sampai siang. Kapal bisa terbalik digulung ombak. Kalau sudah pukul 11.00, harus pulang. Tadi saja masih merasakan sedikit kapal dihantam ombak,” tuturnya.
Baca juga: Jangan Melupakan Nelayan
La Rudi (43), nelayan lain, sedang menyusun batu fondasi rumahnya di Kelurahan Bungkutoko, Senin siang. Berbekal keterampilan bertukang, Rudi dibantu tetangga membangun rumahnya yang ludes terbakar sepekan lalu. Keahlian ini cukup membantu, terutama ketika tangkapan ikan terus berkurang seperti beberapa tahun terakhir.
Jika sepuluh tahun lalu ia bisa membawa uang hingga Rp 4 juta sekali melaut, sekarang tinggal kurang dari Rp 3 juta. Terakhir melaut lebih kurang satu bulan lamanya, ia bahkan hanya membawa Rp 650.000.
Kian tercemar
Selain cuaca yang tidak menentu, kondisi perairan juga semakin berubah. Saat hujan tiba, air di perairan keruh dan menguning hingga 37 km jauhnya. Kondisi ini ditengarai akibat maraknya pertambangan nikel di pesisir utara Sultra dan Sulawesi Tengah. Saat air keruh, mereka tak bisa memancing karena umpan mati dan rusak.
Namun, saat cuaca panas, tangkapan juga sulit karena ikan jenis cakalang akan berenang lebih dalam. Mereka menghindari panas di permukaan, yang kian hari kian bersuhu tinggi. ”Jadi, mau tidak mau cari ikan tambah susah. Cukup tidak cukup, harus dikasih cukup. Makanya, sering kerja di darat juga bisa bisa dapat tambahan,” ujar Rudi.

La Nina dan anomali cuaca memicu gelombang tinggi sehingga kalangan nelayan tidak pergi ke laut tetapi menunggu cuaca baik dengan memperbaiki kapal atau perahu seperti terlihat di pesisir selatan Pamekasan, Pulau Madura, Jawa Timur, Senin (20/6/2022). Kehidupan nelayan tradisional amat bergantung pada kondisi perairan dan cuaca yang memengaruhi hasil tangkapan.
Pengajar Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari, Safril Kasim, menerangkan, hasil riset mengonfirmasi terjadinya fluktuasi iklim yang cukup tajam di wilayah Kendari dan sekitarnya. Perubahan paling nyata terjadi pada pola hujan, intensitas, durasi, hingga kecepatan angin.
Salah satu yang paling mudah terlihat, ia mencontohkan, adalah periodisasi banjir besar di wilayah daratan Kendari. Saat banjir besar melanda wilayah ini pada 2013 terjadi pada akhir Maret. Namun, empat tahun setelahnya, banjir besar terjadi pada Juli. Kondisi ini ditengarai akibat perubahan iklim yang terus terjadi.
Baca juga: Sumber Penghidupan Nelayan Terancam
Sebagai wilayah pesisir, perubahan iklim berdampak nyata pada masyarakat. Salah satunya adalah penurunan jumlah tangkapan, yang berujung pada kesejahteraan nelayan. Akibatnya, masyarakat harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
Pemerintah harus mencari cara melindungi dan membantu nelayan gurem agar tetap bisa melaut. Tidak hanya itu, mitigasi perubahan iklim harus lebih berkesinambungan. Tanaman penyerap karbon, serupa mangrove, harus dipertahankan dan diperluas di banyak lokasi.
Namun, melihat mangrove di Teluk Kendari saja yang ada di depan mata, kondisinya semakin memprihatinkan. ”Pemerintah belum serius melihat hal ini secara lebih luas meski dampak nyata telah dirasakan masyarakat kecil,” ujarnya.
Di pesisir utara Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Selasa (21/6/2022), sudah sepekan kapal-kapal kayu sandar di bawah Jembatan Tamberu. Situasi serupa terlihat di pesisir selatan Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Nelayan tidak berlayar karena anomali cuaca terkait perubahan iklim dan La Nina. Gelombang tinggi membuat melaut jadi lebih berisiko. ”Kalau tidak melaut, saya perbaiki kapal atau jaring,” kata Zulkarnain, nelayan Pamekasan, Senin (20/6/2022) siang.

Deretan kapal milik nelayan yang menunda ke laut karena La Nina dan anomali cuaca yang memicu gelombang tinggi. Nelayan menunggu cuaca baik seperti terlihat di pesisir utara Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur, Selasa (20/6/2022). Kehidupan nelayan tradisional amat bergantung pada kondisi perairan dan cuaca yang memengaruhi hasil tangkapan.
Hasil tangkapan menurun juga dialami Musain, nelayan Bangkalan. Dengan perahu sederhana, Musain tetap melaut meski tidak terlalu jauh dari pesisir Kecamatan Tanjungbumi. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan.
Sampah di laut
Setali tiga uang. Kondisi serupa juga terjadi di pesisir timur Sumatera Utara. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim membuat ekonomi warga pesisir kian merosot. Usman (36) baru saja pulang melaut dan menambatkan kapalnya di Kelurahan Nelayan Indah, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Sumut, Rabu (22/6/2022).
Nelayan bermodal perahu sepanjang 5 meter bermesin tempel itu pun langsung mengantarkan udang tangkapannya ke tengkulak. Tengkulak menghargai 5 kilogram udang hasil melaut Usman dari pukul 05.00 sampai pukul 15.00 itu seharga Rp 150.000. Setelah dipotong utang untuk belanja biosolar Rp 100.000, Usman pun membawa pulang uang Rp 50.000 ke rumah.
Baca juga: Sampah Laut Menumpuk di Tanjung Pinang, Petugas Kebersihan Kewalahan
Usman tak lain gambaran kehidupan mayoritas nelayan pesisir timur Sumut, seperti Medan, Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Tanjungbalai. Usman berkisah, belasan tahun lalu, ia masih bisa mendapat 20 kilogram udang sekali melaut yang menghasilkan Rp 400.000-Rp 600.000. Saat itu, sampah yang bermuara ke laut tidak sebanyak sekarang. Hutan mangrove juga masih cukup baik.

Nelayan beraktivitas di Kelurahan Nelayan Indah, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/6/2022). Ekonomi masyarakat pesisir terpukul penurunan tangkapan ikan karena kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Hal serupa juga dialami nelayan lain di Kelurahan Nelayan Indah, Jamaluddin (70). ”Kalau hanya mengandalkan tangkapan ikan, saya hanya bisa mendapat Rp 30.000-Rp 70.000 sehari,” kata Jamaluddin, yang mempunyai perahu lebih kecil.
Pada saat-saat tertentu, perahu mereka pun kesulitan melayari muara sungai yang dipenuhi sampah. ”Kalau sampah sedang banyak, saya cari sampah botol plastik di laut,” kata Jamaluddin.
Ia bisa memulung hingga enam karung botol plastik di perahunya. Memulung sampah plastik pun kadang lebih menghasilkan ketimbang menangkap ikan. Jamaluddin melakoninya sebagai bagian dari adaptasi agar tetap bisa menghidupi keluarga.
Baca juga: Indonesia Mendorong Penguatan Pemantauan Sampah Laut Global
Manajer Penelitian dan Pemonitoran Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) Grace Yanti Pandjaitan mengatakan, ekonomi masyarakat di pesisir timur Sumut terus menurun belakangan ini karena kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan minimnya edukasi di pesisir. Pengeluaran mereka pun makin besar karena sumber air di permukiman jadi payau sehingga harus membeli air bersih di tengah penghasilan yang menurun.
Bagi keluarga nelayan perajin ikan asin di Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, digitalisasi adalah hal baru. Namun, mereka menerimanya sebagai bagian dari adaptasi untuk meningkatkan martabat ikan asin Leupung sekaligus mendekatkan nelayan di pesisir dengan pembeli di kota.
Memanfaatkan internet
Saat melintasi lapak-lapak ikan asin di tepi jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh, Leupung, terpampang poster-poster mempromosikan ikan asin dengan bahasa anak milenial yang mengundang senyum. Misalnya, ”Jangan lupa makan ikan karena menghalu juga butuh protein. Leupung pusat ikan asin”.

Pembeli melakukan pindai kode batang untuk membayar saat membeli produk UMKM di sentra penjualan ikan asin di Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, (21/6/2022). Pelaku usaha warga pesisir di Aceh Besar mulai menerapkan sistem digitalisasi agar memudahkan transaksi dan penjualan.
Mereka kini menjual produknya melalui media sosial dan toko daring dengan nama gerai Pasar Laut Aceh. Ada 38 usaha mikro yang bernaung dalam koperasi itu.
Suarni (41) berjualan ikan asin sejak tahun 2000. Dulu dia tidak pernah mencatat penjualan dan pengeluaran. Kini melalui aplikasi dia membuat pembukuan sederhana. Ketersediaan pembukuan memperlancar proses kredit di perbankan. ”Pembeli juga bisa bayar nontunai, pakai QRIS,” ujar Suarni saat ditemui, Selasa (21/6/2022).
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) adalah standardisasi pembayaran transfer bank menggunakan metode pindai kode batang Bank Indonesia. Digitalisasi produk ikan asin Leupung merupakan program Natural Aceh, lembaga swadaya masyarakat lokal yang fokus pada isu kelautan dan perikanan, sejak Desember 2021. Safaruddin (51), tetangga Suarni, menceritakan, ”Bulan lalu ada wisatawan Malaysia, uangnya tidak cukup, akhirnya dia bayar pakai QRIS. Lebih mudah.”
Baca juga: Jaga Populasi Rajungan di Alam, Nelayan dan Universitas di Langsa Lakukan Penangkaran
Direktur Natural Aceh Zainal Abidin menuturkan, meski belum setahun, mulai ada pesanan via toko daring. ”Beberapa hari lalu, seekor gurita asin terjual Rp 200.000 lewat Instagram. Kami yakin ke depan pasar mereka bakal lebih berkembang,” ujar Zainal.
Kehidupan nelayan di tengah perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang kian nyata sungguh semakin tidak mudah. Sudah sepatutnya pemerintah memikirkan langkah strategis untuk menyelamatkan masyarakat pesisir dari jurang kemiskinan.(NSA/AIN/BRO/ETA/XTI)