Sulitnya Air Bersih di Kota Sungai
Walau berjuluk ”Venesia dari Timur” karena dilintasi Sungai Musi yang memiliki 112 anak sungai, Palembang masih kesulitan mendapatkan air bersih. Sumber bahan baku air itu bahkan kian terancam pencemaran.
Walau berjuluk ”Venesia dari Timur” yang erat hubungannya dengan sungai, warga Palembang di Sumatera Selatan masih kesulitan mendapatkan air bersih. Bahkan, andalan sumber air, yakni Sungai Musi, kian terancam pencemaran. Langkah cepat pemerintah diperlukan agar kelangkaan air bersih tidak meluas.
Toriq Abdullah (25), warga Kecamatan Kalidoni, Palembang, tidak merasakan air bersih dalam 6 tahun terakhir. Setiap hari, dia harus menggunakan air rawa yang kuning dan berbau untuk mandi. Air tersebut diambil dari kanal yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya. Puluhan pipa beragam ukuran sambung-menyambung digunakan untuk mengalirkan air dari kanal ke rumah warga yang disedot menggunakan pompa.
Air dari kanal yang banyak ditumbuhi ilalang tersebut tampak keruh dan menguning. Toriq harus menggunakan dua saringan air agar kekeruhan air berkurang. Namun, saringan itu tak mampu membuat air lebih jernih. Air tetap keruh dan baunya seperti karat yang sangat menyengat.
”Kulit dan rambut pun terasa lengket,” ujar Toriq, Rabu (22/6/2022). Meski begitu, Toriq hanya bisa pasrah karena jaringan air bersih belum masuk ke lingkungan tempat tinggalnya.
Untuk kepentingan memasak, mencuci, dan minum dia harus membeli air. ”Saya harus membeli air setidaknya Rp 300.000 per bulan,” kata karyawan di sebuah perusahaan swasta ini.
Upaya warga mendapatkan jaringan air bersih sudah dilakukan berkali-kali ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi Palembang, tetapi tidak ada hasil. ”Kami hanya mendapatkan nomor antrean tanpa ada kejelasan lanjutan,” ucapnya.
Jati Purwanti (29), Warga Tanjung Barangan, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang, juga mengalami hal serupa. Air yang didapatkan dari sumur dengan kedalaman 5 meter di belakang rumahnya juga keruh dan menguning. ”Walau sudah menggunakan penyaring air, tetap saja air masih berbau,” katanya.
Ketika musim kemarau, kondisi air akan semakin buruk. Jangankan untuk minum, untuk mandi pun sudah tidak layak. ”Terkadang saya harus menumpang mandi di kantor atau di rumah teman yang sudah teraliri air bersih,” ucapnya.
Tak heran, Jati harus membeli air sekitar 1.400 liter per minggu dengan harga mencapai Rp 70.000. ”Saya pun harus berebut air bersih dengan tetangga karena mereka juga mengalami permasalahan yang sama,” ungkapnya.
Dia tidak menyangka mendapatkan air bersih di Ibu Kota Sumsel jauh lebih sulit dibandingkan dengan tempat kelahirannya di Kabupaten Muara Enim. Bahkan, biaya air lebih mahal dibandingkan dengan biaya listrik.
”Di Muara Enim, kami tidak kesulitan air bersih. Sebaliknya, di Palembang, yang katanya kota Metropolitan, masih sulit dapat air,” ujarnya kesal.
Ketika membeli rumah di kawasan tersebut, pihak pengembang mengatakan aliran air bersih tidak akan lama masuk ke permukiman karena di dekat perumahan tempat ia tinggal sudah terpasang instalasi air bersih. ”Namun, sudah satu tahun berjalan, jaringan air bersih tak kunjung datang,” ucapnya.
Baca Juga: Langkah Awal Merevitalisasi Julukan ”Venesia dari Timur”
Jati menilai, warga yang tinggal di pinggiran Kota Palembang memang sulit mendapatkan air. Berbeda dengan mereka yang tinggal di tengah kota. ”Sepertinya ada diskriminasi dalam penyaluran air bersih. Kami yang tinggal di pinggiran seakan dikesampingkan,” ucapnya.
Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Musi Palembang Andi Wijaya Adani menyangkal ada diskriminasi dalam penyaluran air bersih. ”Kapasitas pengelolaan air minum di PDAM memang belum memadai untuk mengaliri seluruh daerah di Palembang,” ucapnya.
Saat ini kapasitas asupan air baku (intake) PDAM Tirta Musi Palembang sekitar 4.500 liter per detik. Dengan kekuatan itu, PDAM Tirta Musi baru bisa mengaliri 82 persen dari total kebutuhan warga dengan jumlah pelanggan sekitar 312.000 (data tahun 2021).
Akibat keterbatasan infrastruktur ini, ketersediaan air bersih di Palembang juga belum 24 jam. Berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sumsel, rata-rata ketersediaan air bersih di wilayah Palembang sekitar 13 jam per hari. ”Bahkan, masih ada wilayah yang hanya teraliri air bersih dari PDAM sekitar 3 jam per hari,” ujar Andi.
Dari hasil analisis jaringan, hingga kini, kawasan yang belum teraliri air bersih didominasi kawasan Palembang timur, yakni Kecamatan Sematang Borang, Kalidoni, dan Sako. Ke depan, pembangunan instalasi air minum akan terus ditingkatkan sehingga kapasitas asupan air baku bisa bertambah menjadi 5.500 liter per detik.
”Harapannya pada tahun 2024 bisa beroperasi,” ucapnya. Dengan begitu, jumlah pelanggan dapat ditingkatkan menjadi 1.000 pelanggan per tahun. Meski demikian, peningkatan kapasitas itu belum sebanding dengan kebutuhan air bersih yang terus bertambah. ”Itulah sebabnya, setiap tahun pasti ada antrean pemasangan jaringan karena hadirnya perumahan baru,” kata Andi.
Ancaman pencemaran
Selain kurang memadainya infrastruktur air bersih, Palembang juga dihadapkan pada risiko keterbatasan air baku. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,6 juta, Palembang hanya mengandalkan air baku dari Sungai Musi. ”Penggunaan air tanah sangat terbatas karena kualitasnya buruk,” ucapnya.
Namun, Sungai Musi pun tersandera dengan ancaman pencemaran. Hal ini terbukti dari semakin tingginya penggunaan obat air berupa alumunium sulfat yang meningkat pada musim tertentu. Obat air ini berfungsi untuk mengurangi kekeruhan dan tingkat keasaman air. ”Sampai saat ini kadar kekeruhan air Sungai Musi masih dalam kadar normal,” ucap Andi. Hanya saja, ancaman pencemaran harus diantisipasi.
Untuk menjernihkan 1.000-2.000 liter air Sungai Musi, dibutuhkan sekitar 1 kilogram (kg) tawas. Namun, pada siang hari kebutuhannya meningkat menjadi 10 kg, pada sore hari naik lagi menjadi 20 kg.
Dalam sidang paripurna DPRD Palembang memperingati hari ulang tahun ke-1.339 Palembang pada 17 Juni lalu, Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan, untuk menjernihkan 1.000-2.000 liter air Sungai Musi dibutuhkan sekitar 1 kilogram (kg) tawas. Namun, pada siang hari kebutuhannya meningkat menjadi 10 kg, pada sore hari naik lagi menjadi 20 kg. ”Pada siang hari penggunaan tawas meningkat karena Sungai Musi sangat keruh,” ucapnya.
Keruhnya Sungai Musi disebabkan oleh pencemaran, seperti limbah rumah tangga, sampah, ataupun tumpahan batubara dari tongkang yang melintas di atas Sungai Musi. ”Belum lagi adanya intrusi (perembesan) air laut ke dalam sungai,” ucapnya.
Dia menyebut setiap harinya ada sekitar 1.200 ton sampah yang dihasilkan di Palembang. Dari jumlah tersebut hanya 800 ton yang bisa diangkat, sisanya dibuang ke sembarang tempat, termasuk di antaranya di sungai. ”Kondisi inilah yang membuat sungai semakin keruh dan sangat berbahaya untuk dijadikan air baku,” paparnya.
Baca Juga: Kebudayaan Sungai yang Menghidupi Sumatera Selatan
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori mengatakan, tercemarnya Sungai Musi juga disebabkan oleh kerusakan daerah aliran sungai, terutama yang ada di hulu. Karena kurangnya daerah resapan membuat air hujan turun langsung ke hilir. Turunnya air membawa material endapan, seperti sampah, kayu, bahkan lumpur. ”Sepanjang daerah hulu Sungai Musi tidak diperbaiki, tentu risiko pencemaran akan terus terjadi,” ucap Ansori.
Jaringan IPAL
Untuk mengantisipasi kian keruhnya air baku. Pemkot bersama dengan pemerintah pusat membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) agar limbah rumah tangga tidak langsung dibuang di sungai, tetapi diolah terlebih dahulu sehingga tidak mencemari sungai.
Direktur Sanitasi Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat Tanozisochi Lase dalam kunjungannya ke Palembang, Kamis (23/6/2022), menjelaskan, saat ini, pihaknya tengah fokus membangun instalasi bagi 1.000 rumah tangga yang dikonsentrasikan di kawasan daerah aliran Sungai Sekanak. Sambungan itu akan menyalurkan limbah rumah tangga ke stasiun induk yang terletak di Kelurahan Sei Selincah, Kecamatan Kalidoni, Palembang.
”Limbah kotor diperlukan untuk uji coba infrastruktur IPAL apakah sudah berjalan secara efektif atau belum,” ucapnya.
Teknologi IPAL berfungsi untuk mengolah limbah rumah tangga, baik berupa black water (air hitam) berupa kotoran dan grey water (air abu-abu), yakni air bekas cuci, mandi, dan kakus. Limbah diproses dengan teknologi anaerobic baffled reactor (ABR) dan sistem penyaringan dan pengelolaan air.
Dengan teknologi itu, limbah kemudian dipisahkan menjadi limbah padat dan cair. Limbah padat akan dijadikan kompos, sedangkan limbah cair akan diolah lagi hingga mencapai baku mutu air (setara dengan kualitas air baku) sebelum dialirkan ke Sungai Musi.
Baca Juga: Kurangi Pencemaran Sungai Musi, Jaringan IPAL Palembang Bakal Beroperasi Awal 2023
Namun, yang tak kalah penting, menurut Tanozisochi, adalah memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat penerima manfaat mengenai nilai penting dari sarana IPAL ini sehingga proses pembangunan akan lebih lancar tanpa ada penolakan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang Ahmad Bastari menyebut target pemasangan saluran itu mencapai 22.000 saluran untuk mencapai angka keekonomian. Ketika teknologi ini sudah terpasang, diharapkan limbah rumah tangga yang menjadi salah satu penyebab pencemaran Sungai Musi dapat dikurangi. Dengan begitu, Sungai Musi yang menjadi satu-satunya air baku di Palembang dapat kembali bersih.
Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tri Dewi Virgiyanti menuturkan, sebagai kota metropolitan, air bersih menjadi salah satu komponen yang harus tersedia. ”Dengan air dan lingkungan yang bersih, tentu kehidupan masyarakat akan lebih sehat,” ucapnya.
Risiko merebaknya penyakit, seperti diare dan stunting, juga dapat ditekan. ”Apabila warganya sehat, ekonomi daerah tersebut juga akan membaik,” ucap Tri.