Sentuhan Teknologi Memoles Wajah Desa
Sentuhan teknologi menjadikan kualitas hidup di desa lebih baik. Meski begitu, pemberdayaan masyarakat tetap menjadi kunci. Sebab, secanggih apa pun teknologi tidak akan bertahan lama jika manusianya tidak siap.

Kepala Desa Pleret Taufiq Kamal memantau stafnya melalui kamera pengawas di Kantor Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (21/6/2022).
Teknologi digital menjadikan kualitas hidup warga Kalurahan Pleret di Bantul, DI Yogyakarta, lebih baik. Angka Indeks Desa Membangun atau IDM melejit. Angka IDM tersebut naik dari 0,8694 pada tahun 2020 menjadi 0,8916 pada tahun 2021 dan 0,9 pada tahun 2022. Hal itu menjadi tolok ukur bahwa ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi di sana terus meningkat.
Teknologi digital di Pleret mulai digunakan akhir tahun 2020. ”Kalurahan Pleret memiliki masterplan sendiri untuk menyejahterakan warganya. Kami memetakan potensi kami, lalu berinovasi berdasarkan potensi itu,” kata Lurah Pleret Taufiq Kamal, Senin (20/6/2022).
Salah satu hal yang dilakukan di Pleret adalah membuat pemerintahan elektronik. Di sini, pemerintahan desa beroperasi dan dikontrol dalam satu sistem TI terpadu, yaitu pleret.id, atau juga bisa diunduh dalam bentuk aplikasi digital di Playstore dengan nama Kalurahan Pleret.
Baca juga : Internet Retas Kesenjangan di Pedesaan

Kepala Desa Pleret Taufiq Kamal memantau proyek pembangunan Gerbang Pleret di dekat Kantor Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (21/6/2022).
Dalam sistem TI Pleret, perangkat desa melakukan presensi elektronik dengan alat deteksi wajah, tanda tangan lurah dibuat digital, standar layanan surat-menyurat bisa diakses dari mana saja, perencanaan dan penggunaan APBDes dipampang secara real time di situs web, dan pembaruan data warga desa dilakukan dengan QR Code per rumah.
”Kami memampang rencana pembangunan dan penyerapan anggaran secara realtime di website. Warga bisa memantau anggaran desa di sana. Kami juga punya inovasi tutup buku rutin sebulan sekali bagi bendahara. Jadi, bendahara akan melaporkan kas keuangan per bulan. Tujuannya untuk mencegah penyimpangan. Jadi, tidak ada uang dipinjam dahulu. Bagi saya, tertib keuangan akan tertib di semua hal,” kata lurah lulusan S-2 Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada tersebut.
Dengan transparansi pemerintahan, hal itu akan menimbulkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. ”Harapannya, dengan kepercayaan itu, swadaya masyarakat tumbuh. Itu akan memicu rasa memiliki dan mau ikut membangun desa bersama kami,” kata pria yang sebelum menjadi lurah adalah seorang dosen itu.
Baca juga : Ketika Desa Berpraktik dengan Baik

Pekerja menggarap proyek Gerbang Pleret di dekat Kantor Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (21/6/2022).
Situs web desa yang ditinggali 14.000-an orang tersebut terhubung dengan WA getaway realtime. Dengan demikian, jika ada perubahan, situs web akan berubah otomatis. ”Tim pelaksana kegiatan pembangunan di desa juga terkoneksi dengan sistem TI. Jadi, mereka bisa meng-input sendiri pembangunan yang dilakukan, sudah sampai berapa persen kemajuannya, dan itu langsung muncul di website,” kata Taufiq.
Dengan teknologi, Taufiq mengatakan, ia selaku penguasa anggaran bisa dengan mudah memantau pembangunan di tiap pedukuhan.
Kini, mereka sedang melakukan pendataan realtime per rumah, dengan memasang QR Code per rumah. Penghuni rumah bisa memperbarui data setiap anggota keluarga dengan QR Code itu. Tujuannya, data penduduk akan terus terbarukan.

Pelintas menikmati bentangan sawah di Desa Detusoko Timur, Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/6/2022). Desa tersebut terkenal dengan program ekowisata.
Di Maumere, dengan bantuan teknologi, air bisa dialirkan lewat sentuhan pada layar ponsel. Hanya dengan menyentuh ponsel, air langsung mengalir lewat saluran irigasi untuk mengairi tanaman hortikultura di Kebun Moeda Tani Farm di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Perintah dari telepon pintar dibaca oleh sistem yang dipasang pada ruang kontrol. Perintah akan diterjemahkan oleh sistem hingga akhirnya keran air bisa membuka tutup sendiri.
”Jadi, dalam jarak berapa pun, bisa mengairi tanaman. Intinya ada jaringan internet. Cukup dengan klik di telepon pintar. Cara kerja ini namanya smart farming drip irrigation system,” kata Yance Maring (31), pengelola Kebun Moeda Tani Farm sekaligus orang yang menciptakan sistem digital tersebut.
Baca juga : Dana Desa Belum Dioptimalkan untuk Pemberdayaan

Lokasi pertanian dengan irigasi tetes di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (20/6/2022). Sistem irigasi tetes cocok untuk daerah yang minim sumber air.
Inovasi ini melengkapi sistem irigasi tetes. Irigasi tetes adalah mengalirkan air lewat selang, lalu air menetes di setiap tanaman. Satu tetes per detik. Satu tanaman membutuhkan sekitar 250 mililiter air setiap hari. Dibandingkan pengairan konvensional, irigasi tetes ini menghemat air hingga 40 persen. Irigasi tetes menjadi solusi pengolahan pertanian di daerah minim air seperti NTT.
Tak hanya air, selang juga bisa mengalirkan nutrisi dan pestisida. ”Ini ibaratnya menyuntikkan obat ke dalam infus pasien. Jadi tidak perlu harus jalan semprot ke tanaman,” kata Hando Amando (31) yang menangani hama dan pemupukan.
Sistem irigasi tetes berbasis digital mengurangi biaya untuk tenaga kerja. Untuk 1 hektar, mereka hanya membutuhkan dua buruh, yang bertugas mengontrol kondisi tanaman seperti menyulam atau mengganti tanaman mati.
Di Desa Kalikajar, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, teknologi media sosial juga menjadikan usaha Pandi (37), pemilik industri rumah tangga pembuatan miniatur truk oleng di Desa Kalikajar, serta Ahmad Habib Musyafa (29), peternak kelinci di Desa Bendogarap, Kebumen, bisa memasarkan produknya lebih luas.
Hal senada dirasakan oleh petani di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Dengan teknologi digital, melalui perusahaan rintisan sayurbox dan segari.id, sayur produk petani bisa dijual ke mana-mana.
Febby Deviyan Fadhillah (25) dan Ulus Pirmawan (48) mengelola aplikasi tersebut dan mampu menyuplai lebih dari 1 ton sayuran per hari ke berbagai tempat. Penggunaan aplikasi ini kerap digunakan selama pandemi Covid-19 dan menjadi solusi bagi petani dan pembeli untuk tetap bertransaksi serta mendapatkan sayur yang dibutuhkan dengan aman dan nyaman.
Baca juga : Digitalisasi Dorong Generasi Muda Terjun ke Sektor Pertanian

Suasana kawasan perkotaan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/2/2012).
Pemanfaatan teknologi juga digunakan petani untuk mengukur kebutuhan tanaman. Melalui aplikasi Habibi Garden, Ujang Margana (28), petani anggota Kelompok Tani Tri Cipta, bisa mengukur kebutuhan tanaman bawang merahnya di lahan seluas 50 hektar. Kebutuhan tanam itu misalnya distribusi air, kebutuhan nutrisi, prediksi curah hujan, dan kecepatan angin. Semuanya bisa dikendalikan melalui telepon genggam.
”Jadi, sekarang saya bisa tahu tanaman mana yang butuh nutrisi. Dengan begitu, kami bisa menjaga dan meningkatkan kualitas produksi. Jika sebelumnya butuh lima hari menyiram 1 hektar lahan, sekarang hanya perlu lima sampai delapan jam untuk 1 hektar,” kata Ujang.
Pilihan itu berbuah manis. Panen meningkat dari hanya 10 ton per hektar menjadi 15-16 ton per hektar. Pendapatan Ujang tidak berkurang. Dia kini bahkan mendapat Rp 30 juta per bulan dari hasil penjualan bawang yang stabil. Fakta pendapatan yang menjanjikan akhirnya menarik banyak petani muda untuk kembali ke kebun.
Pemberdayaan
Namun, secanggih-canggihnya teknologi, sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta, mengingatkan bahwa janganlah pembangunan manusianya dilupakan. Menurut dia, teknologi hanya alat yang membantu manusia, bukan tujuan utama.
”Poin penting teknologi agar sustain (bertahan) adalah man power atau sumber daya manusia (SDM). SDM ini akan menjamin teknologi bertahan atau tidak sehingga yang harus dikuatkan adalah kapabilitas, kemampuan, dan pemikiran (the way of thinking). Itulah pentingnya pendidikan. Kompatibilitas teknologi yang pertama tetap man power. Dan, hal itu harus didukung oleh kewenangan pemerintah (pusat hingga desa),” kata AB Widyanta.
Baca juga : Beli Rokok dan Pulsa Pun Ketahuan

Di Magelang, Rayndra mendirikan Sekolah Tani Milenial untuk menarik minat anak muda menjadi petani.
Jika manusianya tidak dibangun, tidak mustahil inovasi teknologi di desa pada akhirnya akan terhenti atau mangkrak. Ujung-ujungnya, teknologi hanya sekadar serapan dana atau proyek.
”Misalnya kasus di NTB dahulu, saat internet masuk kecamatan, pada akhirnya untuk servis saja, kecamatan harus konsultasi dengan konsultan di Jakarta. Artinya, teknologinya tidak ditanam di lokal dan menyebabkan daerah terus tergantung,” katanya.
Contoh lain tidak konsistennya inovasi teknologi misalnya di Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Sebuah desa di sana sejak tahun 2017 sudah membuat sistem informasi desa (SID) berisi peta geografis dan peta sosial warganya. Harapannya, dengan sistem itu, akan diketahui data kebutuhan dan pendapatan warga per rumah per bulan. Sayang, inovasi itu sekarang mandek.
Maka, menurut AB Widyanta, sebagaimana menutip Ernest F Schumacher dengan konsepsi ”Teknologi Berwajah Manusia”, yang dibutuhkan di Indonesia adalah teknologi tepat guna sesuai kebutuhan setempat. ”Teknologi harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Tidak bisa dipaksakan teknologi dari Jakarta untuk diterapkan di seluruh wilayah Nusantara,” katanya.
Itu sebabnya, menurut dia, pemberdayaan SDM tidak boleh dilupakan. SDM tersebut nanti yang akan mengukur kebutuhan teknologi di wilayahnya.
Baca juga : Kepala Desa dan Pengurus BUMDes Akan Disekolahkan Lagi

BUMDes Au Wula, salah satu dari dua BUMDes di NTT yang dinilai sukses mengelola dana desa dan BUMDes setempat. BUMDes ini menjual produk pertanian dan peternakan serta destinasi wisata desa secara daring. Dokumen BUMDes Au Wula.
Contoh pembinaan SDM desa, misalnya, ada di Desa Pahola, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Pendampingan dilakukan oleh perusahaan swasta yang tergabung dalam skema closed loop (sistem jaringan tertutup).
Pola yang dikembangkan oleh Kementerian Perekonomian tersebut menekankan pada kemitraan petani dengan off taker, mulai dari proses produksi hingga akses pada pasar. Off taker (perusahaan penerima produk petani) bertugas menyediakan bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga pendamping selama proses produksi jagung, serta membeli hasil panen.
Sementara petani menyediakan lahan, pengolahan lahan, proses produksi, dan panen. Hasilnya, petani akan mendapat hasil panen 40 persen, sedangkan perusahaan 60 persen.
Baca juga : Petani Milenial, Wajah Segar Pertanian Jabar
Perusahaan membangun sistem kemitraan melalui BUMDes atau kelompok tani. Oleh karena saat itu belum ada BUMDes, perusahaan mendampingi berdirinya BUMDes. BUMDes menjadi satu-satunya pengepul produk hortikultura petani di sana.
”Kami mendampingi mulai budidaya hingga akses pasar. Yang terpenting, kami juga menyiapkan SDM-nya. Kalau mau membangun Sumba, itu semua harus dilakukan, bahkan oleh perusahaan swasta seperti kami. Tidak bisa hanya mengharapkan hasil, tanpa mau mendampingi,” kata Dewi Chaniago, Direktur Utama PT Berlian Internasional Indonesia sebagai off taker produk jagung di Sumba.
Dengan pendampingan, pada tahun ketiga ini, pendapatan petani jagung di sana naik tiga kali lipat. Sebab, petani tak lagi bertani secara konvensional.

Perajin truk menyelesaikan produksinya di Desa Kalikajar, Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021).
Pendampingan serupa dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program Petani Milenial. Petani Milenial adalah program pendampingan petani usia muda di Jabar. Sejak Maret 2021, sebanyak 8.996 orang dalam rentang usia 19-39 tahun mendaftarkan diri. Sebanyak 2.240 orang diterima pada gelombang pertama. Mereka didampingi Pemprov Jabar hingga Bank BJB. Tahun ini, 1.249 orang diwisuda.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menilai, Petani Milenial tidak hanya meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga meminimalkan urbanisasi.
Staf Ahli Menteri Desa Bidang Hubungan Antarlembaga Samsul Widodo mengatakan, pada akhirnya, tujuan segala inovasi dan teknologi adalah untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dan, kemiskinan tidak bisa didekati hanya dengan meringankan beban, dengan memberikan bantuan seperti bantuan langsung tunai dan bantuan sosial, tetapi juga dibutuhkan upaya meningkatkan pendapatan masyarakat dengan pendampingan dan teknologi.
Baca juga : Desa Setengah Jalan