Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024 diharapkan menjadi arena pertarungan kader-kader politik terbaik sekaligus berkontribusi pada kepemimpinan nasional. Yang unggul di Jatim dalam pilpres selalu memenangi kontestasi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Suasana saat debat tahap kedua kontestan Pilgub Jatim di Dyandra Convention Center Surabaya.
SURABAYA, KOMPAS — Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2024 diharapkan menjadi ajang pertarungan politik dari kader-kader terbaik negeri. Sejumlah nama potensial yang muncul dianggap layak untuk bertarung merebut kursi gubernur-wakil gubernur, bahkan jabatan presiden-wakil presiden.
Demikian setidaknya kesimpulan dari survei Peta Elektoral Pilkada dan Pilpres 2024 di Jawa Timur oleh Poltracking Indonesia, Kamis (23/6/2022). Penelitian berlangsung dalam periode 16-22 Mei 2022. Cakupan sampel 1.000 responden dengan metode multistage random sampling.
Poltracking menilai Jatim menarik sebagai ”ladang” survei dalam konteks pilkada, terutama gubernur-wakil gubernur, dan pilpres. Sejumlah faktor pendukungnya, Jatim merupakan provinsi dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) terbesar kedua setelah Jawa Barat. Terkait pilpres, pasangan calon yang unggul di Jatim selalu memenangi kontestasi. Artinya, Jatim amat penting bagi siapa pun yang nantinya meneruskan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Di sisi lain, Jatim sebenarnya bukanlah basis suara dari kandidat yang nama-namanya jamak terdengar akhir-akhir ini, terutama Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Ketua DPR Puan Maharani. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa justru lumayan populer sebagai calon wakil presiden. Artinya, tidak ada kandidat pemimpin nasional yang menguasai Jatim secara struktural dan kultural. Padahal, Jatim berperan amat vital sebagai jalan seseorang menguasai jabatan presiden.
Tidak ada kandidat pemimpin nasional yang menguasai Jatim secara struktural dan kultural.
Selain itu, masih dalam penilaian Poltracking, secara sosiologis religius, Jatim amat erat dengan kultur organisasi massa Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama. Buktinya, banyak tokoh nasional, bahkan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, lahir dari budaya NU. Untuk itu, pengaruh NU masih akan kuat dalam mewarnai kontestasi Pilgub Jatim dan pilpres di Jatim. Kader yang merepresentasikan NU lebih berpeluang meraih kemenangan dalam kontestasi tersebut.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (kanan) dan Gubernur Jawa Timur terpilih Khofifah Indar Parawansa bertemu di sebuah rumah makan di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (10/2/2019).
Dalam simulasi kandidat gubernur, responden survei menempatkan Khofifah dengan elektabilitas 39,8 persen. Petahana sekaligus Ketua Umum Muslimat NU ini masih unggul jauh dibandingkan dengan Menteri Sosial dan mantan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dari PDI-P yang mendapat angka 19,5 persen. Yang cukup mengejutkan, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berada di urutan ketiga dengan 9,6 persen. Ini sedikit di atas Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak yang mendapat angka 9,2 persen, tetapi jauh di atas Wali Kota Pasuruan dan mantan Wagub Jatim Saifullah Yusuf (5,8 persen).
Pada simulasi calon wagub, Emil teratas dengan perolehan 28 persen. Berikutnya adalah Eri dengan 13,2 persen. Jauh di bawahnya adalah Sarmuji (Ketua Partai Golkar Jatim) dengan 3,4 persen. Dari dua simulasi tadi terlihat bahwa Emil dan Eri lebih diinginkan untuk digandeng atau tidak bertarung dalam perebutan kursi gubernur. Kontestasi gubernur kemungkinan diharapkan terjadi antara Khofifah, Risma, dan Saifullah. Hanya Risma yang bukan pengurus dalam struktur NU.
Khofifah dan Saifullah pernah bertarung dalam kontestasi 2018. Pada dua kontestasi sebelumnya, Khofifah kalah dari pasangan Soekarwo-Saifullah. Artinya, untuk pertarungan di arena Pilgub Jatim, Khofifah dan Saifullah sudah dianggap kenyang pengalaman pahit dan manis. Jika Risma masuk dalam gelanggang kontestasi, dapat diasumsikan membawa nuansa persaingan berbeda.
Bagaimana dengan simulasi pilpres? Direktur Riset Poltracking Arya Budi mengatakan, di Jatim, responden survei menempatkan Ganjar di urutan tertinggi dengan simulasi elektabilitas 28,2 persen. Berikutnya Prabowo (13,7 persen), Anies (7,8 persen), Khofifah (5 persen), dan Erick (4,2 persen). Pada simulasi calon wapres, Erick mendapat 14,2 persen. Berikutnya ialah Khofifah (13,7 persen), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (7,4 persen), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno (4,9 persen), Puan (4,3 persen), dan Risma (3,8 persen).
Jika dianalisis dari peluang itu, responden di Jatim ternyata menempatkan Khofifah sebagai kandidat potensial untuk jabatan wakil presiden. Jika peluang itu diambil, di sisi lain akan terbuka peluang bagi PDI-P untuk mendorong Risma maju dan memenangi Pilgub Jatim 2024.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo, Madura, Surokim Abdussalam mengatakan, Khofifah masih terlalu kuat jika dikaitkan dengan konteks pilgub. Perubahan akan terjadi jika Khofifah maju ke gelanggang nasional dengan sasaran potensial calon wakil presiden.
Di sisi lain, untuk pilpres, berbagai survei yang telah dirilis, lanjut Surokim, perlu menjadi permenungan partai politik dalam mendorong kadernya. ”Saya berpandangan, Pak Prabowo ditempatkan dalam posisi cawapres,” katanya.
Surokim melanjutkan, Prabowo berpengalaman sebagai ”king maker” dan keberadaannya dalam kabinet saat ini turut menjaga stabilitas politik negeri. Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengalahkan Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019. ”Kalau maju pilpres, sebaiknya mendampingi calon yang paling berpeluang untuk menang,” ujarnya. Dari sejumlah survei, calon dimaksud ialah Ganjar.
Jika kemudian Prabowo benar-benar memenangi pilpres dan menjabat wapres, akan memudahkan jalan bagi koalisi besar partai politik dan organisasi besar dalam mempertahankan stabilitas politik. Namun, Prabowo masih terkendala sebab bukan sebagai pilihan favorit karena kalah dalam tiga kontestasi. Prabowo pernah mendampingi Megawati Soekarnoputri, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Kontestasi berikutnya, Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, tetapi kalah dari Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebelum masuk dalam kabinet, Prabowo-Sandiaga terjungkal oleh Jokowi-Amin.