Minim Data dan Rentan Punah, Konservasi Kucing Merah Kalimantan Mendesak Dilakukan
Persebaran dan populasi kucing merah Kalimantan yang sangat langka tidak banyak diketahui. Konservasi mendesak dilakukan karena keberadaannya terancam akibat luasan habitat yang terus berkurang dan perburuan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Persebaran dan kepadatan populasi kucing merah (Catopuma badia), satwa endemik Kalimantan yang sangat langka, belum banyak diketahui. Konservasinya mendesak dilakukan karena keberadaan satwa ini terancam akibat luasan habitat yang terus berkurang dan perburuan.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah bersama Yayasan Borneo Nature Indonesia atau Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia mengadakan workshop tentang pengembangan strategi konservasi spesies kucing liar di Kalimantan Tengah, Kamis (23/6/2022), di Palangkaraya. Kegiatan itu mengangkat tema ”Kucing Merah Kalimantan dan Upaya Konservasinya di Provinsi Kalimantan Tengah”.
Kepala BKSDA Kalteng Nur Patria Kurniawan menyampaikan, kucing merah merupakan satwa endemik Kalimantan yang sudah sangat sulit ditemukan. Hingga saat ini belum banyak publikasi mendalam mengenai spesies kucing liar dilindungi tersebut, baik dari segi perilaku maupun persebaran dan kepadatan populasi.
”Kucing merah terbilang masih minim data karena area survei yang terbatas. Satwa ini kurang mendapat perhatian, tidak seperti orangutan,” kata Nur dalam jumpa pers secara daring yang diikuti dari Banjarmasin, Kamis.
Pulau Kalimantan merupakan salah satu habitat di dunia untuk lima jenis kucing liar. Namun, empat di antaranya terancam punah, yaitu kucing pesek (Prionailurus planiceps), kucing merah (Catopuma badia), kucing batu (Pardofelis marmorata), dan macan dahan (Neofelis diardi). Adapun kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) memiliki status konservasi least concern (LC) atau risiko rendah.
Untuk memantau keberadaan kucing liar, ujar Nur, sejak 10 tahun lalu dilakukan pemasangan kamera jebak di sejumlah lokasi di Kalteng, seperti di Taman Nasional Sebangau dan bentang alam Rungan, yang merupakan hutan mosaik (perpaduan hutan rawa gambut), hutan kerangas (rawan gangguan), dan hutan dipterokarpa (tanaman keras untuk komersial) dataran rendah.
Selanjutnya, 20 kamera jebak disebar di bentang alam hutan hujan dataran tinggi daerah Barito Hulu pada 2021. ”Jenis kucing merah Kalimantan terekam di bentang alam Rungan dan Barito Hulu. Kemudian, ada juga yang baru-baru ini ditemukan mati karena terperangkap jerat babi,” katanya.
Sebelumnya, kucing merah Kalimantan ditemukan mati terjebak jerat babi hutan di Murung Raya, Kalteng, pada Selasa (10/5/2022). Lokasi penemuannya berada di kawasan hutan sekitar Desa Joloi, Kecamatan Seribu Riam, Kabupaten Murung Raya. Tempat itu berjarak sekitar 79 kilometer dari Puruk Cahu, ibu kota Murung Raya, atau 403 km dari Palangkaraya (Kompas.id, 18/5/2022).
Kepala Subdirektorat Pengawetan Spesies dan Genetik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Badiah mengatakan, kucing merah hanya ditemukan di Kalimantan. Badan Konservasi Dunia (IUCN) mengklasifikasikan kucing merah ke dalam status terancam punah sehingga diperlukan upaya konservasi.
”Di Kalimantan, kucing merah merupakan top predator (pemangsa puncak). Keberadaannya sangat penting dalam rantai makanan secara ekologis, yakni penyeimbang ekosistem,” katanya.
Dalam berbagai referensi literasi, kucing merah diprediksi ada sejak 4 juta tahun lalu saat Kalimantan masih bergabung dengan daratan Asia. Kucing merah mempunyai tubuh ramping dengan panjang sekitar 55 sentimeter, ekor sepanjang sekitar 35 cm, dan berat tubuh berkisar 2,3-4,5 kilogram. Berbeda dengan kucing emas, kucing merah memiliki warna yang lebih gelap (Kompas.id, 18/5/2022).
Menurut Badiah, keberadaan kucing merah dan kucing-kucing liar di Kalimantan bisa jadi akan menarik minat para penghobi satwa untuk memeliharanya. Oleh karena itu, harus segera dilakukan upaya konservasi agar populasinya di Kalimantan bisa tetap terjaga.
Ada peluang
Nur mengatakan, kucing merah masuk Apendiks II Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora yang Terancam Punah (CITES). Itu berarti kucing merah sangat mungkin berkembang biak dan memungkinkan untuk dikembangbiakkan, lalu dikembalikan ke alam.
”Ada peluang untuk mengembangbiakkan kucing merah menjadi predator alami,” ujarnya.
Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan kucing merah dan kucing liar lain hidup di areal perkebunan sawit karena banyak tikus di kebun sawit. Tikus yang menjadi hama sawit adalah makanan kucing.
”Konsesi sawit yang ada, jika dikelola dengan baik sesuai kaidah-kaidah konservasi yang baik, berpotensi jadi habitat kucing liar dan menjaga populasinya,” ujarnya.
Chief Executive Officer (CEO) BNF Indonesia Juliarta Bramansa Ottay mengatakan, pembukaan lahan ataupun alih fungsi hutan sudah pasti berdampak pada spesies kucing merah dan kucing-kucing liar lain. Namun, alih fungsi lahan yang sudah telanjur dilakukan tetap bisa dioptimalkan dalam upaya konservasi kucing liar.
”Kami tentu tidak mendorong pembukaan lahan lagi. Namun, di lahan yang sudah beralih fungsi tetap mungkin dilakukan konservasi yang berdampak positif bagi populasi kucing liar,” ujarnya.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK Indra Exploitasia berharap workshop di Kalteng bisa mengumpulkan data dan informasi terkait kucing liar untuk bahan menyusun strategi konservasi kucing liar. ”Diharapkan terbentuk juga jejaring peneliti dan pemerhati kucing liar untuk menjadikan satwa ini sebagai satwa prioritas untuk dilestarikan,” katanya.