Masyarakat suku-suku pedalaman di Jambi selamat dari ancaman penularan virus korona baru. Mereka bertahan dengan menerapkan tradisi jaga jarak yang disebut ”bersesandingon”.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Penyakit kulit dialami warga komunitas adat Orang Rimba di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021), menyusul masifnya aktivitas tambang batubara. Sebagian warga terpaksa mengungsi karena tak tahan oleh pekatnya debu yang beterbangan di udara dan kondisi air sungai yang tercemar.
Selama masa pandemi Covid-19, masyarakat suku-suku pedalaman di Jambi selamat dari ancaman penularan. Mereka bertahan dengan menerapkan tradisi jaga jarak yang disebut bersesandingon.
Sewaktu mengetahui informasi terjadinya pandemi, sejumlah pimpinan kelompok di komunitas Orang Rimba langsung mengambil langkah cepat. Mereka membawa warganya berlindung masuk ke dalam Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), menjauh dari ancaman penularan virus atau penyakit dari luar.
Kearifan lokal bersesandingon telah berlangsung turun-temurun. Hal itu juga diterapkan bila ada anggota komunitas yang baru kembali dari kota atau luar hutan yang jaraknya jauh, mereka tidak akan langsung berkumpul dengan keluarganya. Selang beberapa hari, kondisinya dianggap aman, barulah ia dapat berkumpul kembali.
Untuk menangkal penyakit dan meracik obat-obatan, Orang Rimba memanfaatkan tanaman tanaman, cendawan, maupun binatang dalam hutan. Mengelola obat tradisional itu telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Kebijakan pembukaan hutan selama 40 tahun terakhir telah mengabaikan keberadaan komunitas adat Oang Rimba, yang merupakan penghuni hutan penyangga Bukit Duabelas, Jambi. Untuk bertahan, sebagian warga membangun hunian darurat di perkebunan sawit swasta. Kehilangan sumber daya hutannya mengakibatkan banyak warga kelaparan dan rentan terserang penyakit. Salah satu kelompok Orang Rimba di Tabir Selatan, Merangin, Jambi, Senin (19/11/2018).
Pedalaman Jambi dihuni komunitas adat Orang Rimba, Batin IX, dan Talang Mamak. Mereka menyebar pada enam kabupaten di Provinsi Jambi.
Kabupaten Batanghari merupakan konsentrasi tertinggi warga pedalaman itu. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari dr Elfie Yenni mengatakan, ada 6.000 warga suku anak dalam di wilayahnya. Mereka dari komunitas Orang Rimba dan Batin IX. Sebagian besar dari mereka sudah hidup menetap.
”Tersisa 20 persen yang masih primitif. Menjalankan tradisi hidup berpindah,” ujarnya.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Musim buah menjadi saat-saat paling ditunggu komunitas pedalaman di Bukit Duabelas. Manis dan asam berpadu menciptakan kemewahan ragam rasa buah nan eksotik. Salah seorang warga komunitas Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, menunjukkan tanaman hasil semaiannya, Sabtu (22/5/2021).
Tantangan terberat mengasup layanan kesehatan bagi komunitas pedalaman itu adalah memberikan layanan bagi yang masih hidup nomaden. Selain itu, sebagian warga komunitas ini juga belum memiliki identitas kependudukan dan belum terdaftar sebagai penerima layanan BPJS.
Agar mereka tetap dapat dilayani, Dinkes Batanghari mengupayakan sejumlah strategi. Suku anak dalam dicatatkan sebagai penerima layanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan di wilayah Batanghari. ”Jadi, petugas di puskesmas manapun wajib melayani kalau ada suku anak dalam yang datang berobat,” kata Elfie.
Dinkes Batanghari juga memberi pelayanan rutin untuk ”jemput bola”. Minimal satu kali dalam sebulan, tim puskesmas akan mendatangi selter Orang Rimba untuk memberi pelayanan kesehatan dan juga imunisasi anak.
”Puskesmas keliling akan menjangkau komunitas di pedalaman untuk memberi pengobatan, posyandu, imunisasi, serta pemeriksaan ibu hamil dan status gizi anak,” tambahnya.
Pada wilayah yang lebih jauh ke dalam hutan, pihaknya memberangkatkan petugas khusus honorer. Dua kali dalam sepekan, petugas kesehatan tersebut menyisir di hunian komunitas yang sulit terjangkau. Seluruh layanan tersebut dialokasikan dari dana APBD Kabupaten Batanghari.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Seorang anak di komunitas Orang Rimba wilayah Sungai Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, Rabu (10/3/2021), di sela kunjungan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Selain mengalokasikan lahan kelola bagi komunitas itu, Risma juga menawarkan akses internet dan pendidikan bagi anak-anak rimba.
Namun, selama masa pandemi Covid-19 yang lalu, pelayanan sempat terkendala. Anggaran daerah mengalami refocusing untuk penanganan Covid-19. Akibatnya, layanan keliling dan kunjungan petugas sempat terhenti sementara. ”Baru pada tahun ini layanan keliling kami aktifkan kembali,” kata Elfie.
Meskipun belum ditemukan adanya warga pedalaman yang tertular virus korona baru, asupan vaksin Covid-19 tetap diberikan. Sejauh ini, sudah 300 warga suku anak dalam di Batanghari yang menerima vaksin Covid-19.
Layanan tanpa sekat
Ia mengusulkan, layanan kesehatan bagi komunitas pedalaman jangan tersekat batas wilayah. Tradisi Orang Rimba yang masih nomaden memungkinkan mereka berpindah melintasi wilayah administratif. ”Untuk itu perlu integrasi pelayanan kesehatan lintas wilayah sehingga di mana pun komunitas ini berada tetap bisa mengakses layanan kesehatan,” katanya.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Haidir mengatakan, layanan kesehatan bagi masyarakat di dalam kawasan taman nasional dilaksanakan kolaboratif dengan tim medis salah satu perusahaan sawit di sekitar wilayah itu. ”Petugas rutin keliling mendatangi anggota komunitas di bagian selatan TNBD untuk memberi layanan kesehatan,” katanya.
Sepanjang pekan lalu, imunisasi anak juga turut menyentuh suku-suku pedalaman di Jambi lewat program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Pada Sabtu lalu diberikan imunisasi Campak Rubella pada 32 anak di wilayah Terap, Batanghari. Sebelumnya, imunisasi juga menjangkau anak-anak Suku Batin IX di wilayah Bungku, Batanghari.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Kondisi Orang Rimba yang tinggal dalam hunian darurat di sekitar Jalan Linta SUmatera, Kabupaten Merangin, Jambi. Karena tak punya lahan lagi, mereka kini menumpang hidup di bawah kebun sawit atau karet swasta dan warga sekitar.
Maria Kristin, Fasilitator Kesehatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang mendampingi petugas kesehatan, mengatakan, pemberian imunisasi dilakukan setelah diupayakan pendekatan terlebih dahulu kepada komunitas. ”Awalnya tidak mudah untuk memberikan imunisasi kepada Orang Rimba maupun Batin. Setelah dilakukan sosialisasi tentang vaksin, mereka mau menerima,” kata Maria.
Petugas juga sudah diberi pemahaman tentang suku-suku ini sehingga ketika berada di lokasi, imunisasi berjalan lancar. Pelaksanaan imunisasi kali ini menyasar anak usia 9 bulan-12 tahun untuk mendapatkan imunisasi yang berguna untuk mencegah serangan virus campak dan rubela.Juga disediakan vaksin lain yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk mencapai lokasi, petugas dari puskesmas terdekat menempuh perjalanan dua jam berkendara dengan kendaraan gardan ganda. Selain imunisasi pada anak-anak, ada pula 35 warga yang mendapatkan pengobatan dengan keluhan gatal-gatal, batuk, dan demam.
”Menariknya, ada juga Orang Rimba yang membawa anaknya ke puskesmas untuk vaksin. Jadi, kita sebelumnya sudah sosialisasi ke kelompok akan datang untuk pemberian vaksin dan pengobatan, karena ada sebagian anggota kelompok yang tengah mencari damar jauh dari kelompoknya, tetapi lebih dekat dengan puskesmas, mereka memilih datang langsung ke puskesmas,” kata Maria.
Tidak hanya di Orang Rimba, imunisasi itu juga digalakkan di komunitas Batin IX di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Pada kegiatan ini dilakukan pemberian imunisasi BCG dan campak rubela. Juga dilakukan pengobatan gratis bagi komunitas ini.”Kegiatan ini masih akan terus berlanjut menuju kelompok-kelompok lainnya, baik Orang Rimba maupun Batin IX dan juga Talang Mamak,” kata Maria.
Pengobatan dasar dan pemberian vaksin ke suku pedalaman ini merupakan program puskesmas yang lokasinya berdekatan dengan suku-suku yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kurangnya pengetahuan suku-suku ini terhadap ancaman penyakit yang makin beragam dan juga kesulitan akses mengharuskan pusat layanan kesehatan yang mendekat ke mereka.