Jago di Kebun, Petani di Jabar Kini Piawai Manfaatkan Teknologi
Beragam tantangan zaman mulai dihadapi petani di Jabar dengan percaya diri. Jago di kebun, kini mereka piawai berselancar bersama kemajuan teknologi.
Oleh
CORNELIUS HELMY HERLAMBANG, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·8 menit baca
Kehidupan serba terbatas selama pandemi menuntut sebagian petani di Jabar mulai melek teknologi. Komunikasi dengan media sosial dibuka. Ragam aplikasi dicoba membuat petani lebih terkoneksi memperluas pasar tanpa batas.
Ratusan paket sayur tertata rapi di pekarangan rumah Taufik (26), penyuplai sayuran dari Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (22/6/2022) semenjak siang. Sayur berkualitas tinggi ini siap dikirim untuk konsumen Segari, aplikasi pemesanan sayuran yang telah diunduh ratusan ribu kali.Muhammad Rafli (20), petugas kontrol kualitas (quality control) dari Segari mengamati satu per satu paket yang telah dibungkus. Dia memastikan ratusan sayur dari Taufik ini memenuhi kualitas sehingga tidak bermasalah saat dibeli konsumen.Dari tempat Taufik ini, sebanyak 200 pak sawi putih dan brokoli sebanyak 150 pak siap dikirim. Total dari dua komoditas tersebut mencapai 175 kilogram.“Biasanya saya ambil dari Kang Taufik ada empat jenis sayur. Selain sawi dan brokoli, ada juga kubis dan baby buncis. Semuanya harus diperiksa karena dari sini barangnya sudah dsiap diedarkan,” ujarnya.Selain Taufik, Rafli juga memantau lima penyuplai sayur lainnya. Keenam petani ini menampung sayuran dari banyak petani lainnya dengan kualitas yang serupa hingga 2,5 ton sehari.Tidak hanya sawi dan brokoli, Rafli berujar, setidaknya ada 25 jenis sayuran yang didapatkan dari petani di sekitaran Lembang. Sayuran tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen Segari yang tersebar di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).Sebagai petani dan penyuplai sayuran, Taufik bersyukur dengan adanya teknologi informasi yang menghubungkan mereka dengan pembeli yang berjarak hingga ratusan kilometer. Tidak hanya menambah potensi konsumen, penjualan sayur dari aplikasi juga memiliki harga yang menjanjikan.
Kemudahan tersebut yang membuat Taufik beserta istrinya, Febby Deviyan Fadhlillah (25) tetap bertahan. Selama dua tahun, mereka menjadikan pemenuhan suplai untuk aplikasi penyedia sayuran ini sebagai prioritas.“Selain Segari, Kami juga menyuplai sayuran untuk Sayurbox. Adanya aplikasi ini membuat kami bersemangat untuk menjual sayur karena lebih pasti dibandingkan pasar. Namun, semua harus sesuai dengan kualitas yang diminta, yaitu setara dengan supermarket. Sudah dua tahun kami menjadi penyuplai sayuran, tepatnya awal pandemi Covid-19. Kehadiran dua perusahaan rintisan itu sangat membantu para petani memperluas pasar,” ujar Febby.
Sayurbox dan segari.id adalah perusahaan rintisan jual beli komoditas pertanian. Dengan mengandalkan aplikasi atau hingga pemesanan daring dari marketplace, sayuran dari petani di pelosok desa bisa dengan mudah didatangkan ke tengah kota sesuai pesanan.
Febby bercerita, awalnya aplikasi ini dikelola sejak tahun 2020 oleh ayahnya, Ulus Pirmawan (48), salah satu petani berprestasi versi Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO). Namun, Ulus memutuskan lebih fokus produksi dan menyerahkan pengelolaannya pada Febby.
“Bapak ingin lebih fokus untuk produksi saja. Bekalnya pernah mengurus pergudangan dan ikut berbagai pelatihan jadi bisa lebih cepat beradaptasi,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Febby semakin paham alur bisnisnya. Banyak petani ikut mengirim hasil kebunnya ke Febby. Dalam sehari, Febby bisa menyuplai lebih dari 1 ton sayuran beraneka macam. Untuk sayurbox, dia mengirim hingga 5 kuintal. Sedangkan untuk segari.id bisa mencapai 1 ton per hari.
Sayuran ini berasal dari enam petani besar. Petani besar itu menyerap sayuran dari belasan petani lainnya agar bisa memenuhi kuota kebutuhan dari perusahaan.
“Yang rutin memenuhi suplai itu sekitar enam petani, tapi setiap petani juga menampung hasil dari petani lain. Mungkin yang ikut memenuhi kebutuhan ada belasan petani atau lebih. Jadi, semua bisa merasakan keuntungan,” ujarnya.
Selain konsumen yang jelas, para petani juga tidak perlu waswas karena harga yang berubah tiba-tiba. Menurut Febby, jika berjualan langsung di pasar, petani hanya bisa menerima kenyataan harga yang ada sewaktu tiba di pasar.
Jadi, mau tidak mau dia menjual dengan harga pasar tersebut. Namun, jika menggunakan aplikasi, petani sudah mengetahui tren harga komoditas yang akan dijual.
Dengan informasi tersebut, mereka bisa mempersiapkan sayuran mana yang akan diprioritaskan sehingga keuntungan bisa maksimal. “Jadi di aplikasi kami tidak berjudi. Waktu harga naik-turun, kita bisa kontrol dulu, bisa menyiapkan lebih baik,” ujar Febby.
Ulus Pirmawan, mengatakan, ratusan kilogram sayuran dari hasil kebunnya dijual daring melalui dua perusahaan rintisan tersebut. Selain itu, Ulus juga kerap menerima pemesanan dari media sosial lainnya.
Umumnya, konsumen menggunakan jasa pengiriman daring. Hal itu membuat dia cukup menyediakan barang sesuai permintaan dari kebunnya dan akan dijemput oleh kurir.
“Dua hari sekali saya panen 7 kuintal. Setengahnya untuk memenuhi permintaan daring, mulai dari aplikasi sampai permintaan dari pesan WhatsApp. Setengah lagi baru dijual ke pasar dan supermarket. Kualitasnya sesuai standar,” ujarnya.
Teknologi informasi ini semakin kerap digunakan selama pandemi Covid-19. Saat itu, pasar begitu lesu karena adanya aturan pembatasan mobilisasi masyarakat untuk mengurangi persebaran Covid-19.
“Waktu awal pandemi, harga sayur hancur-hancuran. Semua anjlok, waktu panen kami merugi. Pasar-pasar sepi. Tapi aplikasi ini sangat membantu saya karena masih ada pembeli,” ujarnya.
Bantuan ini, lanjut Ulus, tidak hanya dari pasar dan permintaan yang jelas. Harga pun lebih bersaing dan tidak terlalu jatuh seperti di pasar karena konsumen telah terkoneksi secara daring.
“Kalau dulu kita yang mencari pembeli. Sekarang, semua sudah terkoneksi dengan ponsel. Tinggal berikan foto dan video, calon pembeli sudah tahu bentuk barang yang akan dibeli. Besoknya, barangnya tinggal dijemput kurir,” ujar Ulus.
Ujang Margana (28), petani anggota Kelompok Tani Tri Cipta, mengatakan sudah merasakan keunggulan teknologi saat mengelola 50 hektar lahan bawang merah. Lewat aplikasi tanam Habibi Garden, petani bisa mengukur kebutuhan tanaman. Mulai dari distribusi air, kebutuhan nutrisi, prediksi curah hujan, hingga kecepatan angin. Semuanya bisa dikendalikan melalui telepon genggam.
”Jadi, sekarang saya bisa tahu tanaman mana yang butuh nutrisi. Dengan begitu, kami bisa menjaga dan meningkatkan kualitas produksi. Bila sebelumnya butuh lima hari menyiram satu hektar lahan. Sekarang hanya bui sampe lima hari sekarang lima sampai delapan jam untuk satu hektar,” kata Ujang.
Pilihan itu terbukti berbuah manis. Panen meningkat dari hanya 10 ton per hektar menjadi 15-16 ton per hektar. Pendapatan Ujang tidak berkurang. Dia kini bahkan mendapat Rp 30 juta per bulan dari hasil penjualan bawang yang stabil.
Fakta pendapatan yang menjanjikan itu, kata dia, berhasil menarik banyak petani muda untuk kembali ke kebun. “Saat ini, ada 32 petani yang terlibat. Hasil panen bawang kami bahkan sampai dikirim ke Jakarta hingga Medan,” kata Ujang, yang menjadi penjamin bagi 300 petani binaan yang mengelola lebih dari 200 hektar lahan bawang.
Acep budiman, petani bawang Cimenyan lainnya, mengatakan kendala kesulitan ari saat kemarau sudah dipecahkan oleh aplikasi teknologi. Petani bisa mengontrol persediaan air hingga memantau pertumbuhan bawang.
“Dulu hanya mengandalkan kebaikan alam. Sekarang, kami bisa lebih menata rencana tanam dengan lebih baik,” katanya.
Tahun 2020, pertanian tangguh bertahan. Data Badan Pusat Statistik Jabar menyebutkan, geliatnya melejit saat komoditas unggulan lain cenderung negatif.
Produk domestik regional bruto sektor pertanian pada triwulan II-2020 tumbuh 7,6 persen dibanding triwulan II-2019. Penghasilannya mencapai Rp 60,83 triliun. Bahkan, jika dibandingkan triwulan I-2020, peningkatannya mencapai 45,8 persen.
Hal ini berbanding terbalik dengan industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran yang membukukan kinerja negatif. Industri pengolahan minus 8,00 persen. Sedangkan perdagangan besar dan eceran minus 11,15 persen.
Nilai ekspor sektor pertanian di Jabar juga menunjukkan tren positif. Peningkatannya pada Juni 2020 mencapai 9,7 juta dollar AS, jauh lebih tinggi dibanding Juni 2019 sebesar 3,6 juta dollar AS.
Akan tetapi, semua bukan tanpa rintangan.Banyak petani, termasuk di Jabar, berusia tidak muda. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018 yang dilakukan BPS, jumlah petani di Jabar mencapai 3.250.825 orang. Akan tetapi, hanya 945.574 orang (29 persen) berusia 25-44 tahun. Kondisi ini mengisyaratkan tidak hanya produk akhirnya yang butuh perbaikan, regenerasi petani jelas membutuhkan perhatian.
Petani masih sulit hidup sejahtera. Data BPS Jabar 2020, persentase penduduk miskin tinggi ada di Indramayu dengan 12,70 persen, Cirebon (11,24 persen), Cianjur (10,36 persen), Tasikmalaya (10,34 persen), dan Garut (9,98 persen).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil, biasa disapa Emil, mengatakan, tantangan pertanian mesti terus dihadapi. Salah satunya memenuhi kebutuhan petani muda usia yang terbiasa dengan perkembangan teknologi lewat program Petani Milenial.
Petani Milenial adalah program pendampingan petani usia muda di Jabar. Sejak Maret 2021, sebanyak 8.996 orang dalam rentang usia 19-39 tahun mendaftarkan diri. Sebanyak 2.240 orang diterima pada gelombang pertama. Mereka didampingi Pemerintah Provinsi Jabar hingga Bank bjb. Banyak transfer ilmu dilakukan lewat pendekatan teknologi kekinian. Tahun ini, 1.249 orang di antaranya diwisuda Gubernur Jabar.
Gubernur yang kerap disapa Emil ini mengatakan, Petani Milenial tidak hanya bakal meningkatkan produktivitas, tetapi juga meminimalkan laju urbanisasi. Alasannya, tanpa diimbangi bekal yang cukup, urbanisasi yang dulu menjadi harapan anak muda untuk sejahtera hanya memicu kemiskinan dan ragam masalah baru. Apalagi, lebih dari setengah petani Jabar yang total mencapai 3,9 juta orang sudah berusia 40 tahun ke atas.
Digitalisasi mengubah perspektif itu. Faktor geografis kini hanya pilihan, bukan yang utama. Warga di desa, terutama anak muda, bisa punya pendapatan seperti di kota selama ada internet.
”Tinggal di desa, rezeki kota, bisnis mendunia,” katanya.
Saat bertemu Emil di Roma, pertengahan Mei 2022, Deputy Director FAO Maria Helena Semedo mengapresiasi program Petani Milenial. Program itu potensial menjadi contoh baik di berbagai negara. Banyak hal terlibat di dalamnya, antara lain pemerintah, anak muda, dan tentu teknologi.
”Dengan lahan yang tidak terlalu luas, peran anak muda memanfaatkan teknologi membuat produktivitas meningkat dengan cara yang tepat,” kata Semedo.
Dengan menggunakan aplikasi, sayuran segar dari berbagai penjuru sentra sayuran Jaba rbisa langsung mencapai ibukota. Koneksi dari jagad maya bisa mendekatkan petani dengan para konsumen dengan sekali sentuhan di layar ponsel pintar mereka.