Digitalisasi teknologi pertanian telah merambah hingga ke berbagai sudut Nusantara.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
Hanya dengan setuhan di layar telepon pintar, air langsung mengalir lewat saluran irigasi untuk mengairi aneka tanaman hortikultura yang tumbuh dalam Kebun Moeda Tani Farm di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Digitalisasi teknologi pertanian telah merambah hingga ke berbagai sudut Nusantara.
Perintah dari telepon pintar itu dibaca oleh sistem yang dipasang pada ruang kontrol. Keduanya sama-sama terhubung ke jaringan internet. Dari ruang kontrol, perintah itu disalurkan ke dalam aliran elektrik lewat kabel yang tersambung langsung ke keran air. Keran berfungsi membuka atau menutup aliran air.
”Jadi, dalam jarak berapa pun, bisa mengairi tanaman. Intinya ada jaringan internet, cukup dengan klik di telepon pintar. Cara kerja ini namanya smart farming drip irrigation system,” kata Yance Maring (31), pengelola Kebun Moeda Tani Farm sekaligus orang yang menciptakan sistem digital tersebut.
Saat didatangi pada Selasa (21/6/2022), kebun seluas 5 hektar itu lebih dari separuhnya ditanami berbagai macam tanaman hortikultura, seperti tomat, cabai, dan melon. Ada bedeng yang baru ditanam, sebagian sudah menghasilkan buah dan lainnya baru saja dipanen.
Ini ibaratnya seperti menyuntikkan obat ke dalam alat infus pasien. Jadi, tidak perlu harus jalan semprot ke tanaman.
Digitalisasi teknologi pertanian lewat telepon pintar itu melengkapi melengkapi sistem irigasi tetes yang diterapkan di sana. Dengan irigasi tetes, air mengalir lewat selang kemudian menetes di setiap tanaman. Satu tetes per detik. Satu tanaman membutuhkan sekitar 250 mililiter air setiap hari.
Yance menerapkan sistem ini setelah ia belajar dari industri pertanian di Israel. Selama 11 bulan lamanya ia ikut dalam program Arava International Center of Agriculture Training. Di negara dengan kondisi alam didominasi padang pasir itu pertanian bisa berkembang pesat. Penggunaan teknologi adalah kuncinya.
Kini, Yance bersama tim telah membantu memfasilitasi pembuatan irigasi tetes di puluhan titik di seluruh Indonesia. Irigasi tetes menjadi solusi pengolahan pertanian di daerah yang minim sumber air seperti NTT. Lewat sistem itu, pengairan lebih efektif dan efisien. Dibandingkan dengan pengairan konvensional, irigasi tetes ini bisa menghemat air hingga 40 persen.
Tak hanya air, lewat selang itu pula dialirkan nutrisi dan pestisida untuk mendukung pertumbuhan tanaman. ”Ini ibaratnya seperti menyuntikkan obat ke dalam alat infus pasien. Jadi, tidak perlu harus jalan semprot ke tanaman,” kata Hando Amando (31) yang menangani hama dan pemupukan. Hando juga pernah belajar pertanian di Israel.
Ia menambahkan, sistem irigasi tetes berbasis digital mengurangi biaya tenaga kerja. Untuk 1 hektar, mereka hanya membutuhkan dua buruh tanah yang bertugas mengontrol kondisi tanaman, seperti melakukan penyulaman atau mengganti tanaman yang mati.
Biaya yang dibutuhkan dalam sistem irigasi semacam itu sekitar Rp 130 juta, di luar pengadaan sumber air. Komponen terbesar biaya adalah pengadaan peralatan, seperti pipa, dan pembagian jalur air. Peralatan itu hanya pada awal pembangunan jaringan dan masih bisa digunakan selama bertahun-tahun.
Hasilnya maksimal
Chois Bhaga (27) yang bertugas di bagian pemasaran menuturkan, modal yang dikeluarkan untuk biaya pemasangan alat itu sudah bisa diperoleh kembali hanya dalam dua musim tanam. Selanjutnya, keuntungan akan terus datang mengingat hasil pengolahan dengan sistem itu maksimal.
Ia mencontohkan, jika dalam 1 hektar ditanam tomat, di dalam terdapat 25.000 pohon. Ini dengan jarak tanam setiap pohonnya 40 sentimeter. Jika dalam satu pohon paling sedikit menghasilkan 1 kilogram tomat, untuk satu kali panen hasilnya 25.000 kilogram tomat.
Dengan harga pasar 1 kilogram tomat Rp 5.000, total penghasilan yang diraup petani Rp 125 juta. ”Ini dengan hitungan paling minimal. Sementara hasil selama ini satu pohon tomat rata-rata 2 kilogram terus harga tomat di pasar bisa sampai Rp 15.000 per kilogram. Dalam satu tahun, musim tanam tomat sampai dua kali,” tutur Chois.
Digitalisasi pertanian di Maumere itu menarik perhatian banyak orang, termasuk pejabat dari Kementerian Pertanian yang silih berganti datang ke sana. Dengan sistem digital, pengelolaan pertanian berjalan lebih mudah dan minim biaya, tetapi hasilnya lebih maksimal dibandingkan dengan pertanian konvensional.