Prestasi Madrasah di Kotamobagu yang Tercoreng Tragedi
Madrasah itu bukan sekadar sekolah dengan basis pendidikan agama Islam yang kuat, melainkan juga madrasah dengan segudang prestasi. Namun, dugaan penganiayaan terhadap salah satu siswa membuatnya jadi sorotan publik.
Bukan tanpa alasan Zulfadhli Binol (53) mengirim putranya bersekolah di Madrasah Tsanawiyah atau MTs Negeri 1 Kotamobagu. Madrasah itu bukan sekadar sekolah dengan basis pendidikan agama Islam yang kuat, melainkan juga madrasah dengan segudang prestasi. Namun, sebuah tragedi mengguncang reputasi tersebut.
Meski terletak di sebuah kota kecil berusia 15 tahun, tepat di tengah-tengah daratan Sulawesi Utara, yaitu Kotamobagu, reputasi madrasah tingkat menengah pertama ini sudah harum di level nasional karena segudang prestasi siswanya. Pada Maret 2022, misalnya, sekolah ini memborong 265 medali emas, perak, dan perunggu dalam Kompetisi Agama Islam Pemuda Nusantara.
MTsN 1 Kotamobagu juga telah menyandang akreditasi A. Tak mengherankan jika para lulusannya begitu membanggakan. Maret lalu pula, madrasah itu mengumumkan 12 alumnusnya berhasil lulus tes masuk ke madrasah tingkat menengah atas unggulan, yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia di Gorontalo dan Palu, Sulawesi Tengah.
”Sekolah itu memang berpredikat sangat bagus, bahkan secara nasional. Para pengajarnya juga sangat profesional. Saya semakin percaya karena paman saya pernah menjadi kepala sekolah di sana. Itulah mengapa saya menyekolahkan anak saya di situ,” ujar Zulfadhli ketika dihubungi dari Kotamobagu, Kamis (16/6/2022).
Karena itulah, ia setengah tak percaya ketika mendengar kematian BT (13), seorang siswa kelas 7 yang seangkatan dengan putranya, Minggu (12/6/2022). Bocah malang itu diduga dihajar beramai-ramai oleh kawan-kawannya di area sekolah, Rabu (8/6/2022), pada siang bolong selepas ujian.
Pemeriksaan ultrasonografi dan rontgen abdomen mengungkap BT mengalami obstruksi atau sumbatan usus sepanjang 30 sentimeter. Ditemukan pula indikasi trauma pukulan benda tumpul di perutnya. Bocah malang itu menjalani operasi, tetapi nyawanya tak tertolong.
Baca juga : Perundungan yang Merenggut Nyawa
Kepolisian Resor Kotamobagu menanggapi laporan kasus ini pada hari yang sama tanpa menunda-nunda. Malam hari setelah kematian BT, sembilan siswa yang diduga berada di tempat saat penganiayaan itu berlangsung dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast menyatakan, penyidikan masih berlangsung. Kepolisian belum bisa menetapkan tersangka penganiaya BT. ”Tetapi, di tahap ini, kami sudah bisa menduga beberapa pelakunya. Ada lebih dari satu,” ujarnya, Kamis (16/6/2022).
Hingga kini, kepolisian belum dapat mengonfirmasi penyebab kematian BT. Beberapa sampel tubuhnya sudah diambil dan dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk diuji di laboratorium forensik. Hanya, jika tanda-tanda fatal akibat kekerasan sudah terkonfirmasi, para tersangka akan segera ditetapkan sehingga proses hukum bisa berlanjut.
Kendati begitu, kasus ini telah membangkitkan kemarahan, bukan hanya publik Kotamobagu, melainkan juga publik seantero Tanah Air. Warganet di beragam platform mengecam madrasah itu, menuduh para gurunya permisif terhadap perundungan (bullying) di lingkungan sekolah.
Sebagai seorang wali murid di MTsN 1 Kotamobagu, Zulfadhli cukup bersyukur anaknya tak pernah menderita karena jadi korban perundungan. Dari pengamatan dan interaksinya sehari-hari dengan putranya, tak ada tanda-tanda psikologis yang janggal.
Namun, ia tetap merasa sedih dan prihatin. ”Saya turut berbelasungkawa (untuk keluarga korban). Mudah-mudahan ini yang pertama dan terakhir. Kami tidak pernah menginginkan ini terjadi, apalagi karena anak-anak kami masih belia,” ujarnya.
Sebaliknya, FM (34), ibunda BT, menyatakan, anak pertamanya itu juga tak pernah menunjukkan gejala psikologis korban perundungan. Namun, ia tak ragu menyebut BT tak hanya sekali mendapatkan perlakuan sedemikian rupa. Sebab, sehari sebelum meninggal, ketika berbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, BT menceritakan beberapa pengalamannya diganggu sesama siswa.
”Ada yang sengaja taburkan kotoran di makanan yang dia beli. Pernah juga ada kakak kelas yang pukul kepalanya waktu anak saya lewat di depan mereka. Setelah kejadian ini, banyak teman-teman saya yang menyekolahkan anaknya di sana (MTsN 1 Kotamobagu) yang bilang kejadian seperti itu sudah biasa,” kata FM.
Terlepas dari semua kata dan kabar yang menyebar setelah kepergian BT, tak ada yang bisa mengonfirmasi marak atau tidaknya perundungan di sekolah itu. Dalam kasus BT pun, kepolisian tak bisa serta-merta menyebut kasus ini sebagai perundungan sehingga dalam keterangan yang diberikan kepada wartawan, kata ”penganiayan” lebih sering digunakan.
Saya harap MTs ini lebih meningkatkan pengawasannya terhadap para murid.
”Namun, yang terpenting, kami mengacu pada sistem peradilan pidana anak dalam proses hukum ini. Mereka juga mendapatkan pendampingan dari Badan Pemasyarakatan Manado serta UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak) Kotamobagu. Kondisi psikologis anak jadi prioritas kami saat ini,” kata Jules.
Dalam keadaan ini, Zulfadhli sebagai orangtua murid berharap penyidikan kepolisian bisa segera membawa titik terang penyelesaian hukum bagi tragedi ini. Namun, hal yang menurut dia tak kalah penting adalah penguatan institusional di sekolah agar hal-hal serupa bisa dicegah atau, jika terbukti, tidak akan terjadi lagi.
”Saya harap MTs ini lebih meningkatkan pengawasannya terhadap para murid karena setiap hari sejak pukul 07.00 pagi kami ’menyerahkan’ (mereka) ke sekolah untuk menimba ilmu. Jadi, kami harap anak-anak kami ini bisa mendapat pembelajaran, lalu keluar dengan manfaat bagi pribadinya,” kata Zulfadhli.
Melalui siaran pers, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Utara Anwar Abubakar menyatakan, Kepala MTsN 1 Kotamobagu Intan Safitri Mokodompit telah dipindahtugaskan untuk sementara ke madrasah lain hingga proses hukum kepolisian berakhir. Tugasnya kini diemban seorang pelaksana tugas.
Tantangan kota
Kendati sorotan publik kini lebih tertuju pada MTsN 1 Kotamobagu, Pemerintah Kota Kotamobagu pun juga bertekad mencegah kasus seperti ini terjadi lagi. Apalagi, kota berpenduduk sekitar 123.000 jiwa itu dianugerahi gelar Kota Layak Anak tiga kali dalam enam tahun, yaitu 2018, 2019, dan 2021.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kotamobagu Virgina Olii mengatakan, kasus penganiayaan di sekolah dengan korban dan pelaku yang diduga anak-anak ini adalah yang pertama di kota itu. Namun, ini menjadi peringatan baginya untuk lebih intensif menyebarkan pemahaman bagi anak-anak untuk menjauhi kekerasan.
”Duka keluarga korban menjadi duka kita semua. Makanya, kami akan lebih giat lagi menyosialisasikan ini ke sekolah-sekolah. Tentu ini perlu kerja sama dengan orangtua, guru-guru, dan kepala sekolah untuk mengawasi anak-anak mereka, apalagi saat jam sekolah,” kata Virgina.
Ia yakin, keadaan ini tak serta-merta mendelegitimasi predikat Kotamobagu sebagai kota layak anak. Sebab, ada banyak faktor penentu, seperti keberadaan gugus tugas perlindungan anak, sekolah ramah anak, serta beragam peraturan dan keputusan pemkot.
”Kemampuan dan kecepatan kami dalam menanggapi kasus ini juga termasuk dalam penilaian. Tidak sampai satu jam sejak kasus dilaporkan, kami langsung memberikan pendampingan bagi korban dan anak-anak saksi yang diperiksa,” ujar Virgina.
Baca juga : Anak Muda dan Kekerasan, Sebuah Isu Kesehatan Masyarakat Global
Kepala UPTD PPA Kotamobagu Susilawaty Gilalom membenarkan hal tersebut. Hanya 30 menit sejak laporan keluarga diterima Polres Kotamobagu, Minggu (12/6/2022) lalu, pihaknya segera menemui keluarga korban untuk membantu proses autopsi dan menugaskan agamawan untuk mendampingi mereka. Sementara itu, pekerja sosial dan psikolog klinis juga dikirim untuk mendampingi para anak yang diperiksa kepolisian.
”Kami juga menyediakan rumah aman agar identitas anak-anak ini tidak tersebar ke publik. Semua dasar tindakan kami adalah keadaan terbaik bagi anak-anak karena mereka masih punya masa depan,” kata Susilawaty.
Kasus BT adalah kasus kekerasan kedua yang menyebabkan kematian anak. Beberapa bulan sebelumnya, seorang anak juga meninggal di tangan orangtua kandung dan orangtua angkatnya. Meski kekerasan tersebut terjadi di Gorontalo, korban adalah warga Kotamobagu sehingga Susilawaty tetap turun tangan.
Data pun tak bisa menyangkal, anak berada dalam posisi yang sangat rentan di Kotamobagu. Sepanjang 2022, sebanyak 62 laporan kekerasan terhadap anak telah diterima UPTD PPA Kotamobagu. Sebanyak 44 di antaranya melibatkan anak-anak, baik sebagai korban maupun sebagai saksi.
Baca juga : Kasus Perundungan di Bekasi, Pelaku yang Masih Anak-anak Berulang Kali Beraksi
”Kasusnya bermacam-macam. Ada penelantaran, kekerasan seksual, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, sampai perebutan hak asuh anak. Ada juga anak-anak yang menjadi saksi dalam proses hukum, seperti dalam kasus BT,” ujarnya.
Saat ini UPTD PPA memiliki akses komunikasi dan koordinasi yang lebih baik dengan berbagai pihak, terutama kepolisian. Pendampingan dan perlindungan anak pun bisa lebih terjamin. Namun, kekerasan terhadap anak tak akan berhenti tanpa peran masyarakat luas. ”Kita tidak bisa menyalahkan anak-anak. Kematian BT adalah kesalahan kita semua,” kata Susilawaty.