Potensi Besar Cendana NTT Terlalu Berharga untuk Dilupakan
Ekspedisi jalur rempah nusantara harus jadi cambuk budidaya cendana di NTT. Cendana NTT terancam punah karena kurang kepedulian semua pihak.
KUPANG, KOMPAS
—
Keberadaan cendana di Nusa Tenggara Timur rentan di ambang kepunahan. Selain bernilai ekonomi tinggi, cendana adalah saksi tumbuhnya peradaban manusia di sekitarnya.
Nama besar cendana (Santalum album linn) sudah dikenal sejak bangsa Portugis lalu Belanda bercokol di NTT. Komoditas ini menjadi rempah-rempah wangi rebutan dunia. Sentra cendana berada di Pulau Timor, Sumba, dan Pulau Solor.
Pada tahun 2019, harga kayu cendana dilaporkan menyentuh Rp 50.000-Rp 300.000 per kilogram. Sementara harga minyak kayu cendana Rp 10.000-Rp 20.000 per mililiter dan serbuk cendana Rp 75.000 per kg. Pemprov NTT memperkirakan cendana tumbuh dan berkembang dengan baik sekitar 5 juta pohon.
Akan tetapi, seiring waktu, cendana kehilangan pamornya. Salah satu kendalanya adalah masa tumbuh pohon yang relatif panjang sebelum bisa diambil hasilnya, sekitar 30 tahun. Berada di kawasan rawan kekeringan dan kebakaran, anakan cendana di hutan juga sulit didapatkan.
Baca juga : Jalur Rempah Nusantara, Jalur Kemakmuran Dunia
Yuvensius Stefanus Nonga, Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye Walhi NTT, di Kupang, Senin (20/6/2022), mengatakan, cendana terlalu berharga untuk dilupakan. Butuh gerakan besar dari pemerintah dan warga untuk mengangkat kembali pamornya. Pekarangan rumah warga, sekolah, kantor pemerintah, dan pekarangan kantor BUMN perlu ditanami anakan cendana.
Dia menyambut baik Ekspedisi Jalur Rempah Nusantara yang bakal tiba di NTT dengan KRI Dewaruci pada 24 Juni 2022. Di sana, anak muda pilihan dari 34 provinsi bakal menyusuri nama besar cendana. ”Ekspedisi akan menjadi cambuk pengingat bagi semua orang tentang potensi cendana. Cendana jangan sampai dilupakan,” katanya.
Baca juga : Melestarikan Cendana di NTT, 20.000 Anakan Dibagikan ke Masyarakat
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan mengadakan Muhibah Budaya Jalur Rempah. Program napak tilas jalur rempah itu akan dilaksanakan di enam daerah, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
Napak tilas akan dilakukan dengan berlayar menggunakan KRI Dewaruci milik TNI Angkatan Laut ke enam lokasi tersebut. Daerah-daerah itu merupakan beberapa simpul perdagangan rempah Nusantara di masa lampau. Muhibah Budaya Jalur Rempah direncanakan berlangsung pada 1 Juni-2 Juli 2022.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, jalur rempah tidak hanya ada di Nusantara, tetapi juga membentang sampai Afrika bagian timur. Menurut dia, Indonesia perlu melihat jalur rempah ”dari geladak kapal sendiri”. Hal ini untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
”Nusantara, khususnya bagian timur, merupakan hulu Jalur Rempah yang berperan dalam sejarah, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Selain itu, Jalur Rempah penting untuk melengkapi agenda poros maritim dunia dari sisi kultural, yaitu membangkitkan kesadaran maritim,” kata Hilmar melalui keterangan tertulis, Selasa (19/4/2022) (Kompas, 21/4/2022).
Baca juga : Cendana di NTT dalam Genggaman Gubernur
Direktur Eksekutif Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paringgi menyebutkan, cendana merupakan jenis tanaman penting di NTT karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan spesies endemik terbaik di dunia. Cendana juga memiliki keunggulan kadar minyak dan produksi kayu teras yang tinggi.
Keharuman cendana di bumi Flobamora ini mendorong bangsa Portugal menguasai wilayah kepulauan itu pada abad ke-15 dan dilanjutkan oleh Belanda pada abad ke-16 untuk mengambil hasil cendana sambil menyebarkan agama Katolik dan Protestan.
Cendana menghasilkan minyak asiri dengan aroma harum yang diminati sehingga memiliki nilai pasar yang cukup baik. Hasil perdagangan kayu cendana tahun 1991 memberikan kontribusi pendapatan asli daerah NTT hingga 47,67 persen. Cendana saat itu memiliki peran sentral dalam pembangunan di NTT.
Eksploitasi cendana pun semakin ditingkatkan sejak 1980 dengan puncak tahun 1996. Produksi cendana saat itu mencapai 2.458 ton. Dengan asumsi berat teras kayu cendana 50 kilogram per pohon, cendana yang ditebang pada 1996 sebanyak 12.804 pohon. Eksploitasi berlebihan seperti ini menyebabkan degradasi hutan cendana sejak saat itu sampai hari ini. Apalagi pemda tidak peduli terhadap cendana.
Meskipun Perda Nomor 16 Tahun 1986 tentang Penguasaan Cendana oleh Pemerintah telah dicabut pada 1997, peran serta masyarakat untuk melestarikan dan menanam cendana belum optimal. Tahun 1997, International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan cendana jenis Santalum album Linn ke dalam jenis Apendix II.
Baca juga : Warga NTT Diminta Gali Potensi Daerah Lewat Cendana dan Aren