Warga Sangihe Tuntut PT TMS Angkut Keluar Alat Tambang Sesuai Putusan PTUN
Save Sangihe Island menuntut PT Tambang Mas Sangihe mengangkut alat-alat berat pertambangan keluar dari Pulau Sangihe. Itu didasarkan putusan provisional PTUN Manado tentang penundaan izin lingkungan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Masyarakat Kepulauan Sangihe di bawah gerakan koalisi Save Sangihe Island menuntut PT Tambang Mas Sangihe untuk mengangkut alat-alat berat pertambangan keluar dari Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Tuntutan itu didasarkan putusan provisional Pengadilan Tata Usaha Negara Manado tentang penundaan pemberlakuan izin lingkungan perusahaan. Kepolisian meminta semua pihak menahan diri agar tidak terjadi konflik.
Tuntutan warga disuarakan menyusul ketegangan yang terjadi di Kampung Salurang dan Kampung Bowone di wilayah tenggara Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Senin-Kamis (13-16/6/2022). Penyebabnya, PT Tambang Mas Sangihe (TMS) terus membawa masuk alat berat, seperti kendaraan pengebor (drilling rig) serta mata bor ke Kampung Salurang sebelum digunakan untuk membuka lubang tambang di Kampung Bowone.
”Warga kasih waktu 2 x 24 jam sejak Kamis (16/6/2022). Malam ini batas waktunya. Kalau tidak dituruti, ya, bisa jadi masalah. Sebab, ini menyangkut kepentingan warga di 80 desa di tujuh kecamatan,” kata Ketua Tim Hukum Save Sangihe Island (SSI) Revoldi Koleangan, Sabtu (18/6/2022), dihubungi dari Manado.
Pada 2 Juni PTUN Manado telah mengabulkan tuntutan 56 ibu-ibu dari Kampung Bowone dan Binebas selaku penggugat. Izin lingkungan sebagai izin dasar operasionalisasi PT TMS pun harus dicabut. Namun, Pemerintah Provinsi Sulut sebagai Tergugat I dan PT TMS sebagai Tergugat II Intervensi berhak mengajukan banding hingga 21 Juni.
Oleh karena itu, majelis hakim PTUN Manado menerbitkan putusan provisional penundaan izin lingkungan PT TMS. Putusan ini berlaku sementara sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
”Putusan provisional itu diambil pengadilan untuk melindungi kepentingan penggugat agar tidak terjadi kerusakan yang lebih jauh lagi di lokasi tambang. Tambang, kan, bisa mengubah bentang alam yang tidak bisa dipulihkan, dan itu merugikan penggugat. Jadi, ada putusan provisional,” ujar Revoldi.
Putusan provisional diambil pengadilan untuk melindungi kepentingan penggugat agar tidak terjadi kerusakan yang lebih jauh lagi di lokasi tambang.
Masih adanya pengangkutan alat berat dinilai Revoldi sebagai pembangkangan Pemprov Sulut dan PT TMS terhadap putusan pengadilan. Ia juga menyebut kepolisian terlibat karena mengawal pengangkutan alat berat tersebut.
”Putusan provisional itu perintah terhadap tergugat untuk menunda pemberlakuan obyek sengketa (izin lingkungan PT TMS). Berarti, perintah pengadilan dilecehkan pemerintah dan perusahaan. Maka, wajarlah kalau rakyat marah,” kata Revoldi.
Aktivis SSI, Jull Takaliuang, sebelumnya mengatakan, masyarakat Sangihe kali ini kecolongan karena sudah ada dua unit alat berat yang berada di Kampung Salurang. Oleh karena itu, Kamis (16/6/2022), warga memblokade jalan lingkar di Pulau Sangihe yang menghubungkan Pelabuhan Pananaru di sisi barat daya pulau sebagai lokasi akses alat berat tersebut dengan Kampung Salurang dan Bowone di tenggara.
Selain memasang palang kayu, warga juga duduk, bahkan tidur di atas aspal demi menghalangi masuknya rig drilling machine ketiga. Kepolisian sempat berupaya membubarkan mereka dengan alasan menjaga kelancaran lalu lintas.
Kendati begitu, situasi semakin memanas. Warga yang marah sempat mengancam akan membakar truk tronton yang mengangkut alat-alat berat tersebut. Akhirnya, ketiga mesin tersebut diangkut kembali ke Pelabuhan Pananaru.
Saat ini, lanjut Revoldi, masyarakat penolak tambang tetap berjaga sampai alat-alat berat tersebut diangkut meninggalkan Pulau Sangihe. ”Hormatilah perintah pengadilan. Tidak boleh ada kegiatan tambang apa pun di sini sampai ada putusan inkracht,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Satuan Pelayanan Pelabuhan Penyeberangan Pananaru, Demsy Giroth, memerintahkan PT TMS untuk mengangkut tiga alat berat tersebut keluar dari area pelabuhan. Salah satu alasannya demi menghindari konflik dan kerusakan di area pelabuhan.
Bisa beroperasi
Di sisi lain, Kepala Biro Hukum Pemprov Sulut Flora Krisen, sebagai kuasa hukum Pemprov Sulut, mengaku menghormati putusan majelis hakim PTUN Manado. Namun, ia menyatakan PT TMS masih tetap beroperasi karena memiliki izin operasional dari pemerintah pusat berupa kontrak karya operasi.
”Izin lingkungan adalah salah satu dokumen yang dibutuhkan dalam penerbitan izin tambang. Artinya, itu bukan satu-satunya persyaratan untuk terbitnya izin operasional tambang. Karena itu, untuk menutup pertambangan tersebut, harus ada pengujian izin tambang sebagai obyek TUN (tata usaha negara) yang final,” kata Flora.
Flora sebelumnya telah menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. ”Kami sedang pelajari dan masih diberi waktu untuk upaya lanjut (banding),” ujarnya.
Adapun Kepala Polres Kepulauan Sangihe Ajun Komisaris Besar Denny Tompunuh mengatakan, kepolisian tidak memihak dalam konflik antara warga dan PT TMS. Polres Sangihe pun tidak akan menjaga alat-alat berat di Pelabuhan Pananaru karena tidak ada permintaan dari perusahaan.
Ia menyebut, saat ini situasi keamanan di Sangihe sudah kondusif. ”Kami sudah koordinasi dengan SSI, PT TMS, dan masyarakat untuk menahan diri. Sudah ada putusan PTUN. Jangan sampai ada bentrokan karena masyarakat yang akan merugi,” kata Denny.
Pengangkutan alat berat ini adalah kali keempat, tetapi selalu berujung gagal karena ditolak masyarakat. Terkait situasi ini, Juru Bicara PT TMS Cesyl Saroinsong tidak merespons ketika dimintai tanggapan perusahaan. Permintaan konfirmasi yang disampaikan Kompas melalui pesan singkat sejak Sabtu sore, hingga pukul 21.40 Wita tidak dijawab.