Beban Berat Peti Kemas Kosong dari Pelabuhan Kendari
Jumlah peti kemas tanpa muatan yang terkirim dari Kendari New Port mencapai 37.914 Teus, atau dua kali lipat dari peti kemas dengan muatan. Hal ini terjadi karena barang dari wilayah ini tidak terkonsolidasi baik.
Dibangun dengan anggaran Rp 1,1 triliun, Kendari New Port berjuang untuk bisa menjadi lokomotif pengiriman barang dari Sulawesi Tenggara. Namun, pasar yang masih sangat minim, dengan biaya logistik tinggi, berujung puluhan ribu peti kemas terpaksa dikirim tanpa muatan dari pelabuhan ini. Upaya jangka panjang diperlukan untuk mengungkit arus barang dari sudut tenggara Pulau Sulawesi ini.
Tiga layar komputer berada di hadapan Muhtamar, Kamis (9/6/2022), di menara kontrol Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara. Gambaran terminal dengan jejeran ribuan peti kemas hingga rencana kapal yang akan bongkar-muat terpampang di layar. Petugas menara kontrol ini sedang mengawasi bongkar-muat peti kemas di pelabuhan ini.
Di ujung pelabuhan, dua buah crane membongkar peti kemas dari kapal yang bersandar. Dua kapal tersebut adalah KM Donggala VII dan KM Bintang Permai. Peti kemas lalu dibawa dengan truk ke terminal untuk ditempatkan sesuai urutan. Penyeranta di dekatnya berbunyi. Petugas lapangan meminta untuk lokasi peti kemas baru karena telah penuh. ”Masuk, Pak. Di A1 slot 3,” kata Muhtamar sembari melihat tempat kosong di layar.
Siang itu, dari kapasitas 3.000-an peti kemas, lebih dari 2.000 peti kemas telah terisi. Sebentar lagi akan ada lima kapal yang datang. Sebagian untuk membongkar muatan, sebagian lagi untuk mengangkut peti kemas. ”Sistemnya telah terdata secara langsung dan juga terhubung ke sistem pusat. Jadi, data yang ada telah tekoneksi semua,” ucapnya.
Dengan teknologi dan peralatan yang ada di terminal peti kemas seluas 5 hektar ini, alur bongkar-muat barang semakin cepat dan mudah. Bongkar-muat peti kemas bisa mencapai 25 kontainer dalam satu jam. Pengaturan dan pemuatan peti kemas juga jauh lebih mudah dari pembongkaran. Sebab, sebagian besar peti kemas tidak berisi muatan.
Data Pelindo Regional IV Kendari New Port menunjukkan, jumlah peti kemas tanpa muatan pada 2021 sebanyak 37.914 Teus (peti kemas dengan panjang setara 20 kaki/6,1 meter). Jumlah ini meningkat dari 31.469 Teus pada 2020 dan 32.027 Teus pada 2019. Sementara itu, jumlah peti kemas dengan muatan berturut-turut 14.262 Teus pada 2021, 15.329 Teus pada 2020, dan 16.022 Teus pada 2019. Hal ini berarti peti kemas yang yang dikirim balik tanpa muatan dari Kendari New Port masih sangat dominan dari tahun ke tahun. Pada 2021, jumlahnya bahkan mencapai 2,6 kali lipat dari peti kemas dengan muatan.
Baca juga: Puluhan Ribu Peti Kemas Dikirim Tanpa Muatan dari Pelabuhan Kendari
General Manager (GM) Pelindo Regional IV Kendari New Port Suparman menyebutkan, hal ini terjadi karena barang dan hasil bumi dari wilayah ini tidak terkonsolidasi dengan baik. Akibatnya, berbagai hasil pertanian, kelautan, dan komoditas lainnya tidak bisa dimaksimalkan. Peti kemas yang dikirim dari ibu kota Sultra itu pun kembali tanpa muatan.
”Dengan kondisi seperti ini, pengusaha pengiriman tentu membebankan biaya yang cukup tinggi untuk sekali pengiriman. Jika arus balik juga terisi, harga pengiriman bisa jauh lebih minim. Hal ini berdampak jauh pada harga barang yang ikut tertekan sehingga masyarakat bisa membeli dengan harga yang lebih murah,” ucapnya.
Sejauh ini, sejumlah upaya telah dilakukan pihak pelabuhan untuk mempermudah pengangkutan barang. Selain adanya gudang yang disediakan, juga ada kontainer dengan pendingin yang bisa digunakan para pengusaha.
Selain jumlah peti kemas dengan muatan yang minim, jumlah kontainer ekspor juga sangat rendah. Sebagian besar barang dari wilayah Kendari dan sekitarnya dikirim untuk pasar domestik, baik dikemas ulang maupun untuk tujuan khusus di wilayah.
”Kontainer ekspor itu jumlahnya hanya sekitar 2 persen dari total muatan, sangat kecil. Dalam sebulan, kurang dari 20 kontainer, di mana sebagian besar adalah hasil laut dan hasil bumi. Jadi, kita upayakan dulu untuk peningkatan produktivitas, lalu kita usahakan untuk ekspor langsung,” ucap Suparman.
Di Kendari sudah bisa seharusnya. Namun, diperlukan konsolidasi barang yang akan dibawa dahulu.
Division Head Pelayanan SDM dan Umum PT Pelindo Regional IV Basri Alam mengungkapkan, ekspor langsung dengan metode direct call selama ini belum terjadi di Kendari. Proses ekspor dilakukan dengan mengirim kontainer ekspor ke Surabaya atau Makassar, dan dipindahkan ke kapal kargo untuk dikirim ke negara tujuan.
Metode ini, ia menyampaikan, tidak efisien secara waktu, biaya, hingga kualitas. Oleh karena itu, diperlukan metode direct call di mana kapal kargo langsung membawa muatan ke negara tujuan tanpa pemindahan lagi.
”Di Kendari sudah bisa seharusnya. Namun, diperlukan konsolidasi barang yang akan dibawa dahulu, di mana ini merupakan kerja bersama. Mulai dari hulu hingga hilir. Di Makassar, kita sudah melakukan sejak beberapa tahun lalu, dan kontinyu hingga saat ini,” katanya.
Beban berat
Wilayah Kendari, dengan pelabuhan yang diproyeksikan berskala internasional, memiliki fasilitas yang cukup untuk mengirim barang ke sejumlah negara. Pelabuhan ini ditujukan mengakomodasi hasil perkebunan serupa kakao, mete, kelapa, kopi, cengkeh, dan lada. Belum terhitung hasil laut yang bisa ditujukan untuk pasar dalam negeri maupun internasional.
Dalam perencanaannya, pelabuhan ini akan terus dikembangkan, baik jangka menengah maupun panjang. Untuk jangka menengah, pelabuhan yang saat ini mampu menangani hingga 250.000 Teus per tahun, akan ditingkatkan hingga 1,5 juta Teus per tahun. Wilayah dermaga juga akan diperluas 25 hektar dengan reklamasi lahan. Sementara itu, untuk jangka panjang akan mencapai luasan 69 hektar dengan kemampuan menangani hingga 3,5 juta Teus per tahun.
Baca juga: Ekspor Hasil Pertanian Sultra Terpuruk di Tengah Dominannya Ekspor Besi dan Baja
Namun, rencana ini belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Menurut Suparman, pihaknya masih fokus untuk meningkatkan arus bongkar-muat yang masih kurang dari 50 persen dari kemampuan penuh. Ke depan, pelabuhan ini direncanakan menjadi penghubung pelabuhan di Ternate, Baubau, dan Banggai sehingga menjadi lokomotif pengiriman barang secara regional.
”Saat ini (Kendari New Port) baru menangani 106.888 Teus per tahun, sedangkan kapasitas maksimal 250.000 Teus per tahun. Kalau di atas 70 persen, akan diusulkan untuk pengembangan lagi. Penerimaan kami memang terus meningkat, di mana tahun lalu mencapai Rp 9 miliar. Namun, kami berupaya agar terus membaik di tahun-tahun ke depannya,” ujar Suparman.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Sultra La Ode Fitrah Arsyad menjelaskan, kapasitas untuk mengirim barang melalui kontainer dari wilayah Sultra memang belum cukup. Sebab, biaya pengiriman dengan kontainer tidak sebanding dengan jumlah barang yang dikirim.
Selama ini, sebagian besar para pedagang atau distributor memilih jalur lain yang lebih murah, baik lewat kapal Pelni maupun pelabuhan rakyat. Beberapa di antaranya menggunakan jalur darat untuk pengiriman antarwilayah di Pulau Sulawesi. Hanya sebagian kecil dari pedagang ini yang menggunakan pelabuhan peti kemas, khususnya mereka yang telah memiliki pasar di Surabaya, Makassar, atau Jakarta.
Kami punya dua gudang yang bisa dimanfaatkan, tapi sampai sekarang baru sekali dipakai.
”Seandainya para pengepul mau mengumpulkan barang dahulu, lalu mengirim untuk pasar yang lebih luas, itu bisa dilakukan. Kami punya dua gudang yang bisa dimanfaatkan, tapi sampai sekarang baru sekali dipakai. Mana sekarang kami tidak punya kewenangan lagi untuk mengatur distributor atau pedagang karena semuanya telah ditarik ke pusat,” katanya.
Persoalan lain, Fitrah melanjutkan, adalah jumlah produksi dan kualitas barang. Pada tahun lalu, pihaknya menggandeng perusahaan dari Belanda untuk melakukan ekspor kacang mete. Namun, saat masa panen tiba, para petani mengalami gagal panen sehingga ekspor batal.
Oleh sebab itu, ia berharap ada upaya terintegrasi dari hulu ke hilir agar hasil dari masyarakat bisa dibawa untuk pasar yang lebih luas. Fasilitas yang ada bisa dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah bagi masyarakat maupun daerah.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjabarkan, biaya logistik di Sultra masih sangat tinggi untuk masyarakat. Sebagian besar pedagang kecil dan menengah menggunakan pelabuhan rakyat atau jalur darat untuk mengirim barang.
Baca juga: Berkah Ekspor Masih Dibayangi Sejumlah Tantangan Global
Pengiriman dengan peti kemas pun tidak menjadi opsi akibat beban biaya yang tinggi dan kuantitas barang yang kurang. Masyarakat lebih banyak mengirim barang ke Makassar atau Surabaya dengan opsi pengiriman yang lebih murah.
Hal ini terjadi karena barang di wilayah ini terbatas dan belum ada upaya ekstra untuk meningkatkan produktivitas. Tidak hanya itu, barang hasil bumi atau sumber daya alam juga belum diolah menjadi barang turunan yang bisa bernilai ekspor.
”Di sisi lain, sektor pertanian dan perikanan tempat petani dan nelayan menggantungkan hidup terus tertekan akibat industri pengolahan skala besar. Ekspor produk pertanian yang terus turun berpeluang membuat turunnya penerimaan petani dan nelayan yang akhirnya berkonsekuensi pada kesejahteraan mereka,” kata Syamsu.
Oleh karena itu, ia menambahkan, upaya ekstra yang terintegrasi dari hulu ke hilir dibutuhkan untuk mengungkit produksi di wilayah ini. Ekspor hasil pertanian, kelautan, dan sumber daya alam yang begitu beragam menjadi hal yang didambakan.
Baca juga: Hati-hati Kisah Klasik Ekspor