Penyebab Bencana di Pantai Amurang Belum Jelas, Korban Akan Direlokasi
Pemerintah belum bisa memastikan penyebab rubuhnya jalan, permukiman warga, serta bangunan lainnya di atas lahan reklamasi di bibir pantai Amurang, Minahasa Selatan. Ratusan warga yang kehilangan rumah akan direlokasI.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA SELATAN, KOMPAS — Pemerintah belum bisa memastikan penyebab rubuhnya jalan, permukiman warga, serta bangunan lainnya di atas lahan reklamasi di bibir pantai Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Ratusan warga yang kehilangan rumah akan direlokasi ke permukiman baru di atas lahan milik negara.
Hal ini diungkapkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Suharyanto ketika mengunjungi lokasi bencana serta pusat pengungsian, Jumat (17/6/2022). Dua hari sebelumnya, Rabu (15/6) antara 13.00 dan 14.00 Wita, jalan dan jembatan sepanjang kurang lebih 500 meter di bibir pantai tiba-tiba runtuh tanpa didahului gejala alam apa pun.
Sebanyak 41 rumah dan penginapan yang berjarak 50 meter dari air ikut runtuh dan terbenam ke dalam air. Bahkan, anjungan pantai dengan tulisan ”I Am Amurang” hilang tak menyisakan bekas. Kerugian material diperkirakan mencapai Rp 55,92 miliar. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
”Kami belum bisa menjawab apakah ini abrasi atau likuefaksi, karena kejadiannya tidak didahului oleh fenomena alam. Perlu kajian yang lebih mendalam. Mungkin abrasi, tetapi kalau likuefaksi tidak,” kata Suharyanto.
BNPB akan berkumpul bersama beberapa lembaga, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta para ahli ilmu terkait untuk menentukan penyebabnya, Selasa (21/6). Langkah ini akan dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Tim yang akan dibuat dari rapat tersebut juga akan menentukan langkah-langkah mitigasi untuk mencegah bencana serupa terjadi lagi. Suharyanto yang juga didampingi Bupati Minahasa Selatan Franky Wongkar pun tak bisa menjamin apakah daerah yang sudah hanyut dalam air laut itu tidak akan dibangun lagi dengan mereklamasi pantai.
”Jalan dan jembatan yang putus (runtuh) itu dibangun pada 2016. Sebelumnya memang tidak ada. Tetapi kita tidak bisa menyalahkan mengapa jembatan itu dibangun. Perlu studi mendalam. Sehabis rapat Selasa nanti, kami secepat mungkin harus sudah punya data yang dibutuhkan,” kata Suharyanto.
Hingga Jumat dini hari, sebanyak 353 orang yang terbagi ke dalam 101 keluarga dari Kelurahan Bitung dan Kelurahan Uwuran Satu kehilangan tempat tinggal. Mereka mengungsi di Balai Pertemuan Umum Kelurahan Lewet serta Aula Gereja Syalom Uwuran Dua. Pada sore hari, jumlah rumah tangga yang mengungsi Suharyanto sebut naik menjadi 133.
Saat ini, BNPB menetapkan masa tanggap darurat hingga dua pekan ke depan. Kepolisian, TNI, serta Satuan Polisi Pamong Praja telah memasang pembatas sekitar 100 meter dari lokasi jalan yang ambles dan melarang warga mendekat karena dinilai belum aman.
Suharyanto mengatakan, warga memang seharusnya tidak bermukim dalam radius 100 meter dari bibir pantai. Karena itu, para pengungsi yang kehilangan rumah nantinya akan direlokasi ke hunian tetap yang akan segera dibangun di atas lahan milik pemerintah.
Lokasi akan ditentukan pemkab dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan syarat nirsengketa. Suharyanto memperkirakan, rumah yang akan diberikan berukuran 18 meter persegi dengan nilai di atas Rp 100 juta. ”Dalam penanganan bencana selama ini, pemerintah pusat tidak membatasi anggaran,” katanya.
Bupati Franky pun menyatakan akan berkoordinasi dan menemukan lahan relokasi secepat mungkin. Pemerintah pun akan persuasif terhadap masyarakat agar mau direlokasi, salah satunya memaparkan risiko-risiko bencana yang mungkin terjadi lagi jika bertahan di rumah mereka yang lama.
Dalam kunjungan itu, Suharyanto juga menyerahkan dana siap pakai sebesar Rp 500 juta kepada pemkab Minahasa Selatan. Ia juga menyerahkan aneka logistik, antara lain 300 dus mi instan, 30 dus ikan sarden, serta matras dan selimut masing-masing 250 lembar.
Salah satu pengungsi dari Kelurahan Bitung, Ewin Ntobuo (41), mengatakan kebutuhan dasar sehari-hari selama di pengungsian memang telah terpenuhi. Namun, sebagai pedagang makanan jadi, ia dan suaminya belum bisa kembali berjualan di pasar. Anak-anaknya bahkan belum bisa kembali bersekolah.
Salah satu kebutuhan yang mendesak saat ini adalah seragam sekolah untuk anak-anaknya. ”Waktu kejadian, saya melarikan diri dan tiga anak saya dari rumah cuma dengan baju yang melekat di badan,” katanya.
Ewin tidak tahu keadaan rumahnya saat ini. Ketika akan melarikan diri, teras rumahnya sudah menjadi tubir karena jalan dan jembatan yang tadinya berada di depan rumah sudah hilang. ”Kata orang, sih, masih ada, belum rubuh. Tapi, saya takut ke sana,” ujarnya.
Sementara itu, Jantje Durandt (65), salah satu pemilik penginapan berbentuk di tepi jalan yang runtuh, harus merelakan enam cottage miliknya serta keluarganya. Sebab, bencana itu menyebabkan sebagian tanah keluarganya ambles dengan panjang sekitar 15 meter.
Jantje memperkirakan, kerugian mencapai Rp 1 miliar. Namun, ia berharap pemerintah segera mengambil tindakan pencegahan bencana lanjutan dengan membangun talut batu. Ia khawatir, tanah akan semakin dalam tererosi jika dihantam gelombang besar yang bisa terjadi kapan saja.
”Kalau tidak secepatnya dibuat, nanti rumah saya yang lebih jauh dari pantai juga bisa kena. Sekolah (SMP Negeri 1 Amurang) dan kantor pemerintahan (Dinas Pekerjaan Umum Minahasa Selatan) juga bisa runtuh. Jadi, hadapi dulu situasi tanggap darurat secepatnya,” katanya.