Secercah Keadilan dalam Perjuangan Kinipan Berdaulat di Tanah Adat
Vonis bebas terhadap Kepala Desa Kinipan Willem Hengki menjadi secercah keadilan bagi pejuang hak masyarakat adat. Upaya pelemahan melalui intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat adat tak boleh terjadi lagi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·6 menit baca
Setelah melalui 150 hari masa tahanan, dengan dua kali perpanjangan masa penahanan, Kepala Desa Kinipan Willem Hengki akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Vonis bebas murni itu jadi secercah keadilan bagi tokoh masyarakat yang gigih memperjuangkan hutan adat dan pengakuan masyarakat hukum adat.
Willem Hengki (40) langsung beranjak dari kursi dan bersujud syukur begitu Ketua Majelis Hakim Erhammudin mengetuk palu tiga kali pertanda sidang putusan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya sudah selesai, Rabu (15/6/2022), pukul 10.50. Suasana di dalam Ruang Sidang I dan di luar Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, langsung riuh.
Didampingi tim penasihat hukumnya, Willem keluar ruang sidang menuju massa berpakaian merah yang telah berdemonstrasi di depan Pengadilan Tipikor Palangkaraya, dua jam sebelum persidangan dimulai. Sejak pukul 07.00, massa dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan, mahasiswa, dan Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) atau Pasukan Merah menggelar aksi menuntut agar Willem dibebaskan.
Massa menyambut Willem dengan bersorak gembira serta mempersilakannya naik ke bak mobil pikap untuk menyapa massa yang mendukungnya. ”Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dan sekali lagi terima kasih kepada setiap orang yang membantu saya sampai saat ini. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan kalian,” kata Willem.
Willem menyampaikan bahwa ia terbukti tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan. ”Tetapi saudara-saudaraku, kita Dayak belum selesai, masih banyak perjuangan yang harus kita lakukan. Kita tidak antisejahtera, saudara-saudaraku. Justru kita ingin sejahtera di tanah kita sendiri, bukan jadi kuli. Kalau mau jadi kuli, saya mendingan ke negeri orang, ke Malaysia,” katanya dengan nada suara meninggi. Massa pun kembali bersorak.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Wilayah TBBR Kalteng Kimang Damai kemudian naik juga ke bak pikap. ”Semoga hari ini tetap berlanjut. Kita tetap solid, tetap kuat, dan tetap bersatu. Jangan hiraukan kerikil-kerikil yang ingin menghancurkan dan memisahkan kita. Kita tetap akan bersatu dan berjuang untuk orang-orang kita dan berjuang untuk keadilan di tanah kita sendiri,” katanya.
Menurut Kimang, aksi demonstrasi kali ini menjadi yang kesekian kalinya bagi masyarakat adat Dayak untuk memperjuangkan hak-haknya dan meminta keadilan. ”Tetapi ini belum selesai. Kita masih menunggu 14 hari lagi. Maka dari itu, saya mengharapkan kembali solidaritas, kebersamaan, dan persatuannya. Bilamana kasus ini berlanjut, kita akan tetap turun,” kata lelaki bergelar adat Panglima Naga itu.
Dalam sidang putusan kasus dugaan korupsi yang menjerat Willem, majelis hakim menyatakan, Willem tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Ia juga tidak terbukti memperkaya diri sendiri dan orang lain, menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan, serta merugikan keuangan negara.
Majelis hakim juga memerintahkan Willem dibebaskan dari tahanan serta hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabat dipulihkan. ”Putusan bebas ini murni berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Putusan ini sama sekali tidak terpengaruh faktor eksternal, seperti penekanan ataupun pemaksaan kehendak,” kata Juru Bicara Pengadilan Negeri/Tindak Pidana Korupsi/Hubungan Industrial Palangkaraya Kelas IA Yudi Eka Putra.
Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani sepanjang 1.300 meter dengan lebar jalan 8 meter di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalteng. Ia dinilai memperkaya orang lain, dirinya sendiri, atau kelompok karena membayar utang proyek jalan pada 2017 dengan menggunakan dana desa tahun anggaran 2019.
Tetapi saudara-saudaraku, kita Dayak belum selesai, masih banyak perjuangan yang harus kita lakukan. (Willem Hengki)
Jalan usaha tani itu dibangun sebelum Willem menjabat sebagai kepala desa. Ia dinilai merugikan keuangan negara Rp 261,35 juta. Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Lamandau kemudian menuntut Willem dengan hukuman penjara satu tahun enam bulan dan denda Rp 50 juta.
Parlin Bayu Hutabarat dari tim penasihat hukum Kades Kinipan mengatakan, perbuatan terdakwa bukanlah korupsi. ”Yang dilakukan terdakwa adalah murni untuk kepentingan Desa Kinipan karena jalan berfungsi dan berguna bagi masyarakat Kinipan. Kami berterima kasih, karena masih ada keadilan di zaman sekarang walaupun kita berjuang hampir lima bulan,” ujarnya.
Masih terancam
Nugroho Waluyo, juga dari tim penasihat hukum Kades Kinipan, menyampaikan, Koalisi Keadilan untuk Kinipan memberikan apresiasi yang tinggi kepada putusan majelis hakim dalam memutus bebas Willem Hengki. ”Kami menganggap bahwa putusan tersebut merupakan cerminan keadilan yang pantas diterima Willem Hengki,” katanya.
Sedari awal, lanjutnya, Koalisi Keadilan untuk Kinipan sangat yakin bahwa kasus yang menerpa Willem Hengki merupakan kasus ”pesanan” yang ingin mengamputasi, bahkan mematikan gerakan perlawanan masyarakat adat Laman Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya dari rongrongan oligarki.
”Willem Hengki telah bebas dari segala dakwaan yang diajukan oleh JPU, tetapi wilayah adatnya belum. Wilayah adat mereka masih dikuasai dua perusahaan besar milik oligarki,” ujarnya.
Menurut Nugroho, ancaman kriminalisasi lanjutan bagi masyarakat adat Kinipan dari oligarki sangat mungkin terjadi demi memuluskan keserakahan mereka. ”Wilayah adat Kinipan merupakan rimba terakhir di Kabupaten Lamandau sebagai penyangga kehidupan yang mesti dipertahankan,” katanya.
Ketua Badan Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto juga mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Palangkaraya terhadap Willem. Ia menilai aparat penegak hukum masih memiliki kredibilitas dan hati nurani dalam melihat dan memutuskan kasus dugaan korupsi yang menjerat Kades Kinipan.
”Hasil putusan sidang ini mencerminkan bahwa keadilan itu berlaku adil dan sama kepada siapa pun subyek hukumnya. Ini juga mencerminkan bahwa di negeri ini masih ada setitik harapan bahwa penegakan hukum mempertimbangkan fakta-fakta persidangan dan lainnya yang terkait dengan kebenaran meskipun itu mesti disertai seruan dan teriakan massa dari luar ruang sidang,” katanya.
Tetap solid
Menurut Ferdi, masyarakat adat di Kinipan dan Kalteng masih harus tetap solid dan bergandengan tangan dalam memperjuangkan dan mempertahankan apa yang memang menjadi haknya, baik itu hutan adat, wilayah adat, maupun ruang hidup. ”Pemerintah wajib menjalankan tugas dan wewenangnya untuk memberikan asa aman dan menyejahterakan rakyat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan mengungkapkan, pihaknya yakin kasus Willem Hengki merupakan bagian dari upaya pelemahan gerakan masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya.
”Walhi Kalteng sebagai bagian dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan yang ikut mengawal proses persidangan Kades Kinipan juga mengapresiasi keputusan majelis hakim yang membebaskan Willem Hengki,” katanya.
Menurut Bayu, hakim telah menjalankan tugasnya dengan obyektif dan independen terkait perkara hukum yang disangkakan kepada Kades Kinipan. Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh hakim dalam keputusannya dinilai sudah tepat karena berdasarkan kesaksian dan fakta persidangan yang disampaikan melalui saksi dan bukti-bukti oleh kuasa hukum Kades Kinipan.
”Keputusan sidang ini membuktikan bahwa Kades Kinipan itu murni dikriminalisasi atas upaya perjuangan masyarakat adat Kinipan melawan para penguasa yang ingin menguasai wilayah Kinipan,” ujarnya.
Masyarakat adat Kinipan memang sudah cukup lama berjuang mempertahankan wilayahnya. Pada 2016, mereka berkonflik dengan salah satu perusahaan perkebunan sawit di Lamandau. Saat perusahaan hendak membuka lahan, warga mencoba menghadang dan menghentikan aktivitas perusahaan, lalu berujung penangkapan beberapa warga Komunitas Adat Laman Kinipan, termasuk Ketua Adat Laman Kinipan Effendi Buhing (Kompas, 27 Agustus 2020).
”Ke depan, harapannya tidak ada lagi upaya pelemahan-pelemahan melalui intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat adat Kinipan dan masyarakat adat di seluruh Kalteng yang sedang berjuang mempertahankan dan memperjuangkan hak/wilayahnya dari ancaman kekuasaan dan oligarki,” kata Bayu.