Masalah air bersih menjadi hal krusial di Nusa Tenggara Timur. Desa Falas di Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi salah satu potret betapa warga belum merdeka dari kebutuhan air bersih ini.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·4 menit baca
Esra Notunis (14) bersama dua adiknya, Ferni (12) dan Miki Nitboho (7), berjongkok di atas aliran air jernih di Sungai Noefatu, Senin (30/5/2022). Mereka tengah mencuci tikar dan beberapa potong pakaian di tengah sungai yang mengering itu.
Sungai selebar 15 meter itu menyisakan selokan kecil selebar 1 meter yang basah oleh air. Memasuki musim kemarau, sungai yang menjadi andalan warga Desa Falas, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, seperti kian pelit air.
Setiap hari, selepas pulang sekolah, kakak beradik itu dan anak-anak belia lain di Desa Falas, membantu orangtuanya mencuci pakaian, lalu mengambil air untuk keperluan mandi hingga minum. Jarak rumah Esra dari sungai sekitar 500 meter dan harus melewati jalan menanjak dengan kemiringan hingga 35 derajat. Ada juga yang jarak rumahnya hingga 3 kilometer. Mereka pulang sambil membawa air bersih dalam jeriken. Berat.
Selain tadah hujan, sudah puluhan tahun warga desa mengandalkan air sungai ini untuk segala keperluan. Ketika sungai benar-benar kering, mereka terpaksa membeli air bersih dari mobil tangki yang keliling ke desa.
”Sehari bisa sampai habis Rp 50.000 untuk (beli) air saja,” kata Hebelisu (49), ayah Ersa, yang seorang petani jagung ini.
Sore itu, Ersa dan dua adiknya membawa pulang tiga jeriken air. Sang ayah, Habelisu, turut membawa dua jeriken lain. Namun, air bersih itu tidak mereka ambil dari sungai karena higienitasnya meragukan. Mereka menampung air dari salah satu pipa dari mata air yang muncul di tanah milik Soleman Nenohai, sekitar 150 meter dari tepi sungai.
Tahun 2013, mereka mencoba mengebor tanah untuk mencari sumber air. Mata bor menghujam tanah berbatu kapur itu selama tiga bulan hingga kedalaman 40 meter, tetapi tak kunjung ada tanda-tanda air mengalir.
Di desa ini terdapat mata air di salah satu lembahnya tak jauh dari bibir Sungai Noefatu. Jaraknya bisa sampai 3 kilometer dari rumah warga. Warga memanfaatkan air, yang tak pernah kering meski musim kemarau ini, untuk keperluan sehari-hari. Beruntung Soleman berbaik hati dan merelakan mata air berikut sebagian lahannya seluas 1000 meter persegi untuk dimanfaatkan warga.
”Demi kebaikan bersama,” kata Maria Taek (54), istri Soleman.
Lembah dan bukit
Desa Falas berada di lembah dan perbukitan kapur yang sulit sumber air. Tak jauh berbeda dengan Desa Enonapi yang masih satu kecamatan dengan Falas. Tahun 2013, mereka mencoba mengebor tanah untuk mencari sumber air. Mata bor menghujam tanah berbatu kapur itu selama tiga bulan hingga kedalaman 40 meter, tetapi tak kunjung ada tanda-tanda air mengalir.
Ketika mata bor menghantam batu cadas, warga menyerah. Di Falas, pernah juga warga mengebor tanah untuk tujuan yang sama, tapi hasilnya juga nihil sehingga mereka berkesimpulan, ”Tak ada air di tanah kami.”
Oleh karena itu, Kepala Desa Falas Jonathan Asbanu menjelaskan, penemuan mata air itu berkah tersendiri di tengah tanah tandus Falas. Untuk menghindari konflik perebutan mata air, perwakilan lima suku, yakni Nenohai, Taek, Nesimnasi, Taekela, dan Asbanu, menandatangani perjanjian untuk berbagi air secara merata. Dibantu Plan Indonesia, warga membuat reservoar lalu memompanya ke atas bukit yang berjarak sekitar 1,4 kilometer dari sumber mata air dengan dua mesin pompa air.
Dari ketinggian itu, air dialirkan ke rumah-rumah warga. Akan tetapi, baru sekitar 50 persen dari 658 keluarga di desa ini yang dapat menikmati air tersebut. Itu pun di musim kemarau, terutama Juli dan Agustus, air kerap mengering.
Sore itu, kami mencoba membuka keran di salah satu pertigaan yang biasa digunakan warga mengambil air bersih. Setelah beberapa menit, tak setetes pun air mengalir. Kata mereka, rata-rata hanya dua kali dalam seminggu air mengalir. Itu pun sudah mereka syukuri daripada harus mengambil air ke sumber mata air yang jaraknya berkilo-kilo meter itu.
Tahun ini, kata Jonathan, pihaknya menganggarkan dana hingga 250 juta rupiah untuk memperluas jaringan pipa dan memperbesar ukuran pipa sehingga seluruh warga dapat menikmati air bersih setiap hari. Ketika para elite politik mulai meraba-raba jalur untuk merebut kekuasaan, warga Falas meraba-raba pipa, barang kali ada sisa air menetes.
Air bersih menjadi masalah menahun di NTT. Salah satu daerah dengan masalah air bersih terburuk adalah Timor Tengah Selatan seperti di Desa Falas ini. ”Kami belum merdeka dari kebutuhan air bersih,” kata Jonathan.