Terdakwa Penjual Sisik Trenggiling Divonis 2,5 Tahun Penjara
Majelis hakim di Aceh menjatuhkan vonis terhadap pedagang sisik trenggiling 1,5-2,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jantho memvonis tiga terdakwa perdagangan satwa lindung sisik trenggiling (Pholidota)bersalah. Ketiganya adalah Firmansyah (37) dan Sandika (31) yang masing-masing divonis 2,5 tahun penjara serta Yani (48) divonis 1,5 tahun penjara. Putusan tersebut lebih rendah daripada tuntutan jaksa.
Sidang pembacaan putusan digelar pada Selasa (14/6/2022) di Pengadilan Negeri Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Putusan dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Faisal Mahdi. Terdakwa tidak dihadirkan ke ruang sidang karena alasan pandemi. Namun, kuasa hukum terdakwa hadir.
Sebelumnya, Firmansyah dan Sandika dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Keduanya dianggap berperan sebagai penampung. Sementara Yani dituntut 3 tahun penjara, denda Rp 100 juta.
Firmansyah dan Sandika merupakan pemilik sisik trenggiling sebanyak 22 kilogram. Sementara sisik trenggiling milik Yani 4 ons. Ketiganya ditangkap petugas pada Februari 2022 di terminal mobil barang di Desa Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, sedang membawa sisik trenggiling itu.
Akan tetapi, majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Firmansyah dan Sandika sebanyak 2,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Sementara Yani divonis 1,5 tahun penjara, denda Rp 50 juta.
Atas putusan itu, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Aceh Besar Wira Fadillah menuturkan, meski putusan di bawah yang mereka harapkan, pihaknya belum memutuskan akan mengajukan banding atau tidak. ”Saya harus berkonsultasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri, baru diputuskan banding atau terima,” ujar Wira.
Namun, kuasa hukum terdakwa Yulizar merasa keberatan dengan besaran vonis terhadap Yani. Menurut Yulizar, Yani tidak membunuh trenggiling, dia hanya mengambil sisik pada trenggiling yang mati di kebunnya. Selain itu, barang bukti milik Yani dianggap kecil, 4 ons.
”Kami ada waktu tujuh hari untuk mengkaji banding atau tidak,” ujar Yulizar.
Yani tidak membunuh trenggiling, dia hanya mengambil sisik pada trenggiling yang mati di kebunnya. (Yulizar)
Staf hukum Lembaga Suar Galang Keadilan (LSGK) Wahyu menilai putusan hakim harusnya dapat memberi efek jera dan contoh bagi publik agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Menurut Wahyu, Firmansyah dan Sandika yang berperan sebagai penampung seharusnya divonis lebih tinggi.
”Kami mendorong agar JPU melakukan banding. Perdagangan satwa lindung harus dilihat sebagai kriminal yang serius,” ujar Wahyu.
Dalam banyak kasus perdagangan satwa lindung, putusan hakim kebanyakan di bawah tuntutan jaksa. Adapun ancaman hukuman maksimal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah 5 tahun penjara.
Satwa lindung trenggiling termasuk paling banyak diburu. Sisik trenggiling dijadikan bahan baku untuk produksi narkotika sabu dan obat. Sebagian besar trenggiling dari Indonesia diselundupkan ke China atau Vietnam. Harga sisik trenggiling di pasar gelap Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per kilogram.
Pada Februari 2019, Bea dan Cukai Hong Kong bahkan merilis rekor penyitaan sisik trenggiling terbesar. Karung-karung berisi sisik trenggiling dalam jumlah yang banyak diperlihatkan di samping gading gajah sitaan dalam konferensi pers di Kompleks Bea dan Cukai Kwai Chung di Hong Kong, Jumat (1/2/2019). Saat ini, perdagangan satwa liar ilegal berkembang sangat pesat karena bisnis tersebut sangat menguntungkan.
Sisik trenggiling dijadikan bahan baku untuk produksi narkotika sabu dan obat.
Trenggiling termasuk satwa lindung. Satwa ini berperan sebagai predator terhadap serangga atau rayap. Keberadaan trenggiling dapat mengendalikan populasi serangga dan rayap.
Menurut Taing Lubis dari Tim Ahli Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, perburuan satwa lindung kian masif. Dalam dua tahun terakhir, kasus perburuan yang ditangani aparat penegak hukum cukup beragam, mulai dari gajah, harimau, rangkong, trenggiling, hingga orangutan.
Di wilayah yang konflik satwanya tinggi, potensi perburuan juga masif. Dalam beberapa kasus, pelaku perburuan memanfaatkan situasi konflik satwa. Satwa lindung dibunuh dengan dalih mengganggu aktivitas pertanian warga.
Sebelumnya, aktivis konservasi Yayasan Ekosistem Lestari, Teuku Muhammad Zulfikar, mengatakan, selama perdagangan satwa lindung belum dapat dihentikan, aktivitas perburuan tetap berpotensi terjadi. ”Permintaan di pasar gelap tinggi sehingga mendorong pelaku untuk berburu,” kata Zulfikar.
Meski demikian, Zulfikar menaruh harapan kepada aparat penegak hukum agar mengungkap jaringan perburuan dan perdagangan bagian tubuh satwa sampai tuntas agar ancaman terhadap satwa lindung menurun.
Catatan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh sepanjang 2020-2021, penegak hukum menangani 18 perkara kejahatan terhadap satwa lindung. Jumlah tersangka ada 42 orang, tetapi 9 orang masih buron. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan FJL, sebagian besar putusan hakim masih di bawah tuntutan jaksa.
Sebanyak lima kasus kematian satwa lindung di Aceh hingga kini proses hukumnya berjalan di tempat. Kelima kasus tersebut meliputi kematian orangutan di Aceh Selatan, dua kasus kematian harimau di Aceh Selatan, kematian gajah di Pidie, dan kematian anak gajah di Aceh Jaya.