Baciraro Recycle, Merintis Masa Depan ”Zero Waste”
Sebuah ”start up” didirikan di tepi hamparan sawah dataran tinggi Minahasa. Meski ukurannya masih kecil, perusahaan rintisan ini tengah mewujudkan mimpi besar: menjadi pusat ekosistem pengelolaan sampah di Sulut.
Sebuah perusahaan rintisian alias start up didirikan di tepi hamparan sawah dataran tinggi Minahasa, Sulawesi Utara. Ukuran dan valuasinya masih terlampau kecil dibandingkan dengan jajaran unicorn asal Ibu Kota. Namun, perusahaan ini tengah mewujudkan sebuah mimpi besar: menjadi pusat ekosistem pengelolaan sampah di Gerbang Pasifik Indonesia.
Start up tersebut bernama Baciraro Recycle. Pendirinya adalah Marlon Kamagi (48), seorang aktivis bank sampah. Idenya untuk menciptakan sistem manajemen sampah yang efektif kini telah berwujud perseroan terbatas (PT) setelah tim Baciraro menyabet peringkat satu dalam kompetisi Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital Regional Manado pada 2020.
Baciraro lahir dari keresahan Marlon soal 175.000 ton sampah di Indonesia yang terbuang percuma setiap hari sekalipun masih bernilai ekonomis. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2017, dua komponen terbesar sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) adalah sampah organik (60 persen) dan sampah plastik (14 persen).
”Padahal, kalau sudah dipilah, sampah yang selama ini hanya dibuang sehingga mencemari lingkungan bisa menjadi sumber daya yang tidak terbatas karena setiap orang dari lahir sampai mati pasti menghasilkan sampah. Makanya, Baciraro hadir untuk menyelesaikan permasalahan sampah dari hulu,” kata Marlon ketika ditemui pada Kamis (9/6/2022) sore.
Dalam budaya orang Minahasa, baciraro berarti kegiatan bersih-bersih rumah menjelang perayaan hari raya, seperti Natal. Dari kegiatan itu, warga akan mengumpulkan barang-barang yang tak terpakai lagi sekalipun masih bermanfaat.
Filosofi baciraro itulah yang menginspirasi Marlon dan rekan-rekannya menimbun ratusan karung sampah memadati sudut-sudut studio daur ulang Baciraro di Tondano Timur, Kabupaten Minahasa. Hampir semua berisi botol plastik sekali pakai berjenis polietilena tereftalat (PET) yang menurut rencana dijual lagi ke pabrik daur ulang di Jawa.
Baca juga : Kolaborasi Pemuda Sulut untuk Selamatkan Bumi
Namun, ratusan keping tutup botol plastik itu, yang tergolong polietilena berkerapatan tinggi (HDPE), akan tetap tinggal di studio daur ulang Baciraro untuk didaur ulang sendiri. Produk akhir yang dihasilkan adalah bahan bangunan berupa batako plastik dan tiang plastik (beam) berkonsep bongkar pasang.
Proses ini didukung oleh tiga mesin yang dihibahkan lembaga swadaya masyarakat Swiss, Trash Waste Solutions (TWS). Mula-mula, tutup botol plastik dihancurkan menjadi serpihan-serpihan kasar dengan mesin pencacah biasa, kemudian dihaluskan lagi dengan mesin cacah yang lebih canggih.
Serpihan-serpihan plastik ini ditampung sesuai warna dan merek kemudian dilelehkan dalam mesin ekstruder dengan suhu 180-230 derajat celsius. Akhirnya, lelehan plastik itu masuk ke pencetak baja sehingga menghasilkan produk yang diinginkan.
”Saat ini, kami fokus membuat 1.000 buah batako plastik yang dipesan TWS dengan harga yang sudah disepakati. Batako ini nantinya dipakai membangun satu rumah berkonsep zero waste di Pulau Siladen, Manado,” kata Marlon yang menjabat Chief Executive Officer (CEO) Baciraro.
Setiap hari, Baciraro mengolah tak kurang dari 100 kilogram plastik menjadi batako. Nantinya, batako plastik tinggal disusun menjadi tembok seperti bongkahan mainan Lego, sedangkan plastic beam akan menjadi tiang fondasi atau penyangga plafon.
Menurut Chief Operating Officer (COO) Baciraro, Clay Lalamentik (26), tiap batako memiliki berat 0,7-1,5 kg. Bahan ini sangat kokoh karena tingkat kerapatan material penyusunnya sangat tinggi. Terbukti, batako plastik itu baru pecah setelah berkali-kali dipukul keras-keras dengan palu, sedangkan tiang plastik tak patah meski dibengkokkan sekuat tenaga.
“Dia juga tidak lapuk, tahan rayap, dan tahan panas. Tetapi yang paling spesial, kalau memang rusak atau si pengguna ingin ganti warna, kami bisa tarik kembali untuk di-recycle di studio daur ulang kami. Jadi ini memang produk yang berkelanjutan, selalu bisa dimanfaatkan kembali,” ujar Clay.
Batako berbahan plastik HDPE—yang bisa dicampur dengan polipropilena (PP)—dengan konsep Lego ini Clay sebut belum umum di Indonesia. Karena itu, harga jualnya sangat tinggi, sekitar Rp 20.000.
Jadi, kita bisa mewujudkan konsep ekonomi sirkular.
Di samping bahan bangunan, tutup botol plastik juga dapat diolah menjadi filamen pencetak tiga dimensi (3D printer). Filamen dari Baciraro telah dibeli oleh beberapa pegiat kriya lokal untuk diolah menjadi cendera mata, seperti action figure penari kabasaran khas Minahasa, gantungan kunci, serta manik-manik gelang.
Marlon pun yakin, sampah bisa menjadi sumber daya untuk mendatangkan cuan jika dikawinkan dengan kreativitas. Di masa depan, produk-produk kriya akan menemukan pasar potensial di wilayah Destinasi Pariwisata Superprioritas (DSP) Likupang, Minahasa Utara. “Jadi, kita bisa mewujudkan konsep ekonomi sirkular,” ujarnya.
Pusat ekosistem
Nilai ekonomis dari sampah sebenarnya bukan pengetahuan baru. Bank sampah juga telah berdiri di banyak tempat dari Sabang sampai Merauke. Namun, nyatanya, sampah—terutama plastik—terus menjadi mencemari lingkungan, utamanya di laut.
Penelitian Jenna Jambeck, profesor Teknik Lingkungan Universitas Georgia, AS, pada 2015 membuktikan Indonesia adalah penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia, diapit China dan Filipina di peringkat satu dan tiga. Setidaknya 3,22 metrik ton sampah plastik tak terkelola dengan baik setiap tahun. Antara 0,48-1,29 metrik ton berakhir di lautan.
Baca juga: Enam Aksi Ubah Sampah Jadi Tuah
Menurut Marlon, warga Sulut seharusnya khawatir karena tinggal di sisi utara Indonesia yang langsung menghadap Filipina dan China. Celakanya, perairan Sulut masuk dalam Segitiga Koral, yaitu daerah yang menjadi rumah bagi 500 jenis terumbu karang.
Kekayaan bahari itu bisa hilang akibat pencemaran plastik. Potensi hasil perikanan sebesar 597.139 ton per tahun di Laut Sulawesi yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716 bisa hancur karena tercemar mikroplastik.
“Inilah isu-isu yang menjadi alasan bagi Baciraro untuk hadir. Program bank sampah tidak bisa jalan tanpa offtaker (pembeli). Kalau semua jenis sampah plastik dikirim ke Jawa untuk didaur ulang, terlalu mahal juga. Jadi, kalau sampah bisa dikelola secara lokal dan menghasilkan profit, itu harus jadi pilihan utama,” ujar Marlon.
Maka, Baciraro berupaya menjadi pusat dari ekosistem pengolahan sampah di Sulut, setidaknya di Manado dan kabupaten/kota sekitarnya. Startup ini pun berusaha menyerap sampah langsung dari sumbernya di hulu, yaitu rumah tangga, pengelola bank sampah, komunitas pecinta alam, serta kafe dan restoran.
Marlon menyebut pihak-pihak ini sebagai mitra yang bertugas memilah sampah plastik dari jenis lainnya, terutama organik. “Kemudian, sampah itu akan dijemput langsung oleh Baciraro lewat pemesanan di platform grup WhatsApp. Jadi, model bisnis kami juga sekaligus mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah,” kata dia.
Jadi warga bisa memahami bahwa sampah yang mereka hasilkan di rumah tangga bisa bernilai ekonomis.
Sebagian sampah diberikan sebagai donasi. Clay mengatakan, di Manado ada 20-an warga yang rutin memberikan sampah bagi Baciraro, sedangkan di Minahasa ada 19 unit usaha kecil. “Kalau di Bitung, kami bermitra dengan 40 kafe, sedangkan di Minahasa Utara lima kafe,” ujarnya.
Sebagian lagi sampah dibeli dari bank sampah binaan Baciraro, masing-masing satu di Bitung dan Minahasa Utara dan tiga di Minahasa. Sampah akan dibeli dengan kisaran harga yang lebih mahal daripada harga yang dibayarkan pengelola bank sampah kepada nasabahnya.
Di Minahasa Utara, total sampah sebulan bisa mencapai 400 kg, sedangkan di Bitung sekitar 1 ton. “Jadi warga bisa memahami bahwa sampah yang mereka hasilkan di rumah tangga bisa bernilai ekonomis. Kalau ada perputaran uang di dalam, bank sampah dan Baciraro akan bisa sustain (bertahan),” kata Clay.
Manfaat
Kehadiran Baciraro pun perlahan memantik gairah warga Desa Serawet di Likupang Timur, Minahasa Utara, untuk mengonversi sampah menjadi uang di Bank Sampah Induk Likupang. Bank sampah binaan Baciraro itu menjadi solusi bagi ketiadaan TPA di daerah Likupang yang terdiri dari tiga kecamatan.
Kini, sudah ada 20-an keluarga dari Kecamatan Likupang Timur, Barat, dan Selatan yang menjadi nasabah di sana. Yudith Rondonuwu, direktur bank sampah itu, mengatakan ada 60 kg sampah yang bisa dikumpulkan setiap pekan. Bahkan, ada dua orang ibu yang tak pernah absen menyetorkan 30 kg sampah plastik dari kios dagang mereka di pantai desa.
Baca juga: Daur Ulang Plastik di Era Ekonomi Sirkular
“Sampah yang sudah terpilah kami bayar Rp 2.000 per kg, kalau yang masih campur Rp 1.000 per kg. Warga bisa dapat uang tunai langsung, ditukar dengan pulsa atau sembako, atau ditabung untuk diambil setelah enam bulan atau setahun,” kata Yudith.
Bank sampah itu pun juga membuka lapangan pekerjaan bagi ibu rumah tangga yang terlibat dalam pemilahan sampah. Keberlanjutan Bank Sampah Induk Likupang semakin terjamin berkat suntikan modal Rp 5 juta dari Danone sebagai offtaker akhir botol PET yang dikumpulkan Baciraro.
Organisasi lain yang tak secara langsung berhubungan dengan bidang lingkungan pun ikut merasakan manfaat Baciraro. Contohnya Inblood, sebuah startup asal Bitung yang bergerak di bidang penyediaan stok darah untuk transfusi bagi pasien-pasien yang membutuhkan.
Inblood kini juga menjalankan fungsi bank sampah untuk mencetak untung dari sampah. Chris Lamangsiang, pendiri Inblood, mengatakan sampah yang dikumpulkannya dari kafe-kafe di Bitung akan dijual ke Baciraro. Program ini disebut Trash for Life.
”Sejak April, kami sudah mengumpulkan 114 kilogram limbah plastik. Setelah dijadikan uang (melalui penjualan ke Baciraro), nilainya kami konversikan jadi asuransi jiwa, lalu kami berikan secara gratis ke donor,” kata Chris.
Masa depan
Berkat kolaborasi dengan berbagai pihak dari hulu hingga hilir, Baciraro bisa mencetak untung dari penjualan batako dan beam plastik, benang filamen, serta botol PET. Namun, Marlon menyatakan Baciraro tak ingin berhenti di situ. Dalam waktu dekat, mereka akan meluncurkan aplikasi sendiri agar bisa lebih terintegrasi dengan mitra-mitranya.
Tak puas dengan pengolahan sampah plastik saja, Baciraro juga telah mendirikan peternakan maggot untuk menyerap sampah organik dalam skala besar. Harapannya, sisa makanan yang selama ini menggunung dan dibiarkan membusuk di TPA hingga melepaskan gas metana penyebab pemanasan global, bisa dikurangi.
Namun, proyek besar ini tak akan berhasil jika warga belum punya kesadaran untuk memilah sampah. Maka, Baciraro harus bekerja dengan masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk mewujudkannya sembari tetap menjadi pusat ekosistem pengolahan sampah di Sulut.
Marlon yakin, isu sampah selalu dapat menjadi pintu masuk untuk memahami berbagai masalah lingkungan. Semakin banyak warga yang mengerti soal pengelolaan sampah, semakin banyak pula orang yang bisa terlibat langsung menyelamatkan bumi. ”Karena bumi kita ini bukan warisan dari nenek moyang, melainkan titipan untuk anak cucu,” katanya.
Baca juga : Cukup Sekali Angka Nol di Kota Manado