Pelajar 12 Tahun Dieksploitasi Seksual melalui Aplikasi Pesan
Seorang anak berusia 12 tahun menjadi korban eksploitasi seksual di Konawe. Korban dijual melalui aplikasi pesan dengan sejumlah bayaran. Kejadian ini hanya puncak gunung es dari darurat kekerasan seksual di Sultra.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang pelajar berusia 12 tahun menjadi korban eksploitasi seksual dan perdagangan anak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Korban dijual kepada sejumlah pria melalui aplikasi pesan. Tiga pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka, dua di antaranya bahkan juga masih di bawah umur. Kejadian ini hanya puncak gunung es dari situasi darurat kekerasan seksual anak di Sulawesi Tenggara.
Korban diketahui masih duduk di bangku kelas I SMP di Kendari. Sementara itu, dari tiga tersangka, dua orang masih berusia 16 tahun atau masih di bawah umur. Kepala Urusan Pembinaan Operasional Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Konawe Inspektur Dua La Ode Anti menjabarkan, peristiwa ini diketahui berdasarkan laporan orangtua korban sejak awal Mei lalu. Orangtua korban melaporkan kejadian yang menimpa sang anak setelah menghilang selama beberapa waktu.
”Korban diketahui datang di Konawe dari Kendari pada akhir April lalu. Di situ, korban bertemu dengan tiga orang, yaitu SR (22), FA (16), dan IM (16). Korban lalu dibawa ke sebuah wisma untuk menginap. Menurut pengakuan tersangka, korban kabur dari rumah. Tapi, kami masih cek, apakah tersangka yang mengiming-imingi korban untuk datang dan mendapatkan uang,” kata Anti saat dihubungi dari Kendari, Senin (13/6/2022).
Setelah tiba di Unaaha, ibu kota Konawe, salah satu tersangka, yaitu SR, lalu mencari pria melalui aplikasi pesan instan. Seusai mendapatkan orang yang berminat, korban dimasukkan ke sebuah kamar untuk bertemu dengan seorang pria. Korban mendapatkan bayaran Rp 1 juta selepas berhubungan. Dari bayaran tersebut, tersangka SR mengambil potongan Rp 100.000.
Hal tersebut terus berulang selama sekitar satu minggu. Korban melayani lima pria dengan bayaran beragam. Dalam setiap transaksi, sejumlah tersangka mengambil potongan jasa. ”Setelah mendapat laporan orangtua korban, tim lalu bergerak melakukan penyelidikan. Proses sempat terkendala karena dua tersangka kabur ke Sidrap, Sulawesi Selatan. Atas bantuan Polres Sidrap, para tersangka ini ditangkap, lalu dibawa ke Konawe,” tutur Anti.
Dari hasil penyelidikan, lanjutnya, bukan kali ini saja pelaku memfasilitasi pertemuan gadis dengan para pria. Sebelumnya, para tersangka telah beberapa kali melakukan aksi dengan modus yang sama. Atas perbuatannya, para tersangka dikenai Pasal 88 juncto Pasal 761 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku diancam hukuman pidana hingga 15 tahun penjara.
”Kami hanya menahan satu tersangka karena dua orang lainnya masih di bawah umur. Sementara itu, kami juga masih menyelidiki para pria yang terlibat kejadian ini. Kami masih telusuri identitas mereka karena menurut pengakuan tersangka, ia tidak kenal dengan para pria yang berhubungan dengan korban,” kata Anti.
Kasus kekerasan seksual hingga perdagangan anak berulang kali terjadi di Konawe dan Sultra secara luas. Pada 20 Maret 2022 lalu, AR (75), pria asal Desa Kukuluri, Kecamatan Anggotoa, Konawe, ditangkap polisi. Kakek yang tinggal seorang diri ini diketahui melakukan pencabulan terhadap anak berumur dua tahun saat persiapan pesta pernikahan di rumah tetangganya.
Sementara itu, pada April lalu, polisi menangkap TA (19), warga Wolio, Kota Baubau, atas tindakan pencabulan terhadap seorang anak berusia 11 tahun yang masih duduk di bangku SD. Di daerah lain, kasus kekerasan seksual juga terus terjadi dengan intensitas yang meningkat. Di Kabupaten Konawe Selatan, angka kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 hampir dua kali lipat dibandingkan dengan 2019.
Laxmi dari Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Halu Oleo menjabarkan, apa yang terjadi di Konawe ini hanya puncak gunung es dari kasus yang terjadi selama ini. Anak-anak dan perempuan secara luas begitu rentan menjadi korban kekerasan seksual, fisik, ataupun emosional. ”Sejak dulu, Sultra ini masuk dalam situasi darurat kekerasan seksual anak. Beberapa hal mulai dilakukan pemerintah, tetapi tidak dengan upaya menyeluruh. Akibatnya, kasus terus terjadi tanpa menyelesaikan akar masalahnya,” ucapnya.
Persoalan utama dari peristiwa kekerasan seksual anak dan perempuan adalah kurangnya perlindungan dari keluarga dan lingkungan. Pemahaman akan pubertas, isu seksualitas, masih sangat minim. Persoalan itu juga dianggap tabu untuk dibicarakan. Hal ini terus berujung timbulnya kasus-kasus baru kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Oleh sebab itu, Laxmi menambahkan, selain perlindungan dan pemahaman keluarga, pemerintah penting untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Penyebarluasan pemahaman akan pentingnya isu seksualitas serta perlindungan anak dan perempuan menjadi hal yang perlu dilakukan secara kontinu kepada masyarakat luas.