Beda Data dengan Pemda, Karhutla di Nagan Raya Versi Yayasan HAkA Capai 180 Hektar
Ada perbedaan data kebakaran lahan antara Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) dan BPBD setempat. Yayasan HAkA mendapati sebagian titik lokasi kebakaran berada dalam lahan HGU.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SUKA MAKMUE, KOMPAS — Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), lembaga swadaya masyarakat di bidang konservasi lingkungan, menyebutkan, luas lahan terbakar di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, saat ini sudah mencapai 180 hektar. Luasan ini jauh lebih luas ketimbang yang diklaim pemerintah setempat, yakni 26 hektar. HAkA menyatakan, pendataan dilakukan melalui citra satelit dan pemantauan langsung di lapangan dengan kamera nirawak.
Manajer Geographic Information System (GIS) HAkA Lukmanul Hakim, Sabtu (11/6/2022), mengatakan, hasil pemantauan lapangan dan melalui citra satelit Planetscope, luas lahan yang terbakar di Nagan Raya pada 24-31 Mei 2022 seluas 180 hektar. ”Melalui satelit ini, kita dapat memantau perubahan hutan secara berkala,” katanya.
Selain melakukan kajian melalui citra satelit, HAkA menurunkan tim ke lokasi kebakaran untuk mengecek dan memotret melalui udara menggunakan kamera drone. HAkA menemukan sebagian titik lokasi kebakaran berada dalam kawasan konsesi perusahaan perkebunan sawit.
Menurut Lukmanul, titik api pertama kali terdeteksi sensor visible infrared imaging radiometer suite (VIIRS) pada 24 Mei 2022 di Kecamatan Darul Makmur. Dalam sepekan, titik api terus bertambah hingga berakhir pada 31 Mei 2022. ”Dalam rentang waktu tersebut, kami mendeteksi luas lahan yang terbakar mencapai 180 hektar,” kata Lukmanul.
Pada 1 Juni hingga 7 Juni 2022, lewat citra satelit tidak terdeteksi titik api. Namun, tim HAkA di lapangan masih menemukan titik asap di lokasi yang terbakar. Pada 8 Juni 2022, citra satelit kembali mendeteksi titik api baru.
Lukmanul menjelaskan, jika dicocokkan dengan peta yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, SK.296/Menlhk/Setjen/KUM.1/4/2019, area yang terbakar tersebut berada di kawasan dengan fungsi ekosistem gambut lindung dengan kedalaman gambut lebih dari lima meter. Lahan yang terbakar itu sebagian telah ditanami sawit.
Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nagan Raya Irfanda Rinaldi membantah data yang disebut HAkA. Menurut pencatatan BPBD Nagan Raya, luas lahan yang terbakar hanya 26 hektar. ”Kami hanya mengukur yang terbakar. Tim kami berada di lapangan,” kata Irfanda.
Irfanda mengatakan, timnya berada di lapangan sejak pertama kali titik api terpantau. Selain memadamkan api, timnya melakukan pendataan dan menghitung luas lahan yang terbakar. Irfanda berharap para pihak tidak mengeluarkan data jika tidak ada sumber yang akurat.
Irfanda menambahkan, tim gabungan telah bekerja keras untuk memadamkan api. Selain karena kondisi lahan yang kering, kekurangan air membuat tim kesulitan memadamkan api. Butuh waktu sepekan untuk memastikan api benar-benar padam.
Nagan Raya termasuk daerah paling sering dilanda kebakaran lahan sebab di daerah itu terdapat lahan gambut terbesar di Aceh, yakni Rawa Tripa. Awalnya, di Rawa Tripa terdapat hutan gambut, tetapi kini telah beralih menjadi perkebunan sawit. Pada 2012, terjadi kebakaran lahan besar-besaran di Rawa Tripa. Perusahaan pembakar lahan divonis bersalah dan harus membayar ganti rugi kepada negara.
Kebakaran lahan dan hutan selalu berulang di Aceh. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh, kebakaran lahan menjadi salah satu bencana yang paling sering terjadi.
Pada 2018 terjadi 33 kali kebakaran lahan dengan nilai kerugian mencapai Rp 51 miliar. Pada 2019, kebakaran hutan dan lahan terjadi 220 kali dengan kerugian Rp 2,7 miliar. Dampaknya belum termasuk gangguan kesehatan dan aktivitas perekonomian warga.