Musim Semi Bisnis Pakaian Bekas
Musim semi pasar pakaian impor bekas memacu sumbu ekonomi baru di kalangan anak muda di Surakarta, Jawa Tengah. Dari hobi memakai baju bermerek, mereka memulai usaha yang menghasilkan.
Bak musim semi yang selalu disambut riang, ajang belanja pakaian bekas sedang gegap gempita di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Anak-anak muda menyerbu berbagai ajang belanja yang digelar hampir setiap pekan. Satu acara rampung, sudah disambung acara berikutnya. Kehadirannya memantik sumbu ekonomi baru.
Sedikitnya tiga karung plastik berisi pakaian impor bekas menumpuk di sudut ruang tamu Rhafly Yuono Adhi (22) di Kabupaten Sukoharjo, Selasa (7/6/2022). Pakaian itu terdiri dari crewneck, sweater, hoodie, hingga jaket. Sebagian merupakan produk bermerek internasional, seperti GAP dan Dickies. Lainnya ada yang bergambar karakter kartun seperti Mickey Mouse dan The Simpsons.
”Maaf masih berantakan. Belum sempat dirapikan. Soalnya, ini mau ada barang datang lagi. Jadi nanti sekalian saja dirapikannya setelah menyortir barang-barang yang baru datang,” kata Rhafly, yang menjadi pelapak pakaian bekas sejak akhir Desember 2020.
Pakaian impor bekas tersebut adalah sisa dagangan Rhafly dari ajang belanja bertajuk ”Nglapak Day” di Pagelaran Keraton Kasunanan Surakarta, Rabu hingga Minggu (1-5/6/2022). Penjualannya lumayan. Ia bisa menjual sedikitnya 20 potong jaket per hari. Dengan harga berkisar Rp 60.000-Rp 200.000, pendapatan Rhafly per hari sekitar Rp 2,6 juta jika rata-rata barang Rp 130.000 per item.
Pekerjaan itu bermula dari hobi Rhafly membeli pakaian bekas sejak 2019. Ternyata, ada nilai ekonomi dari koleksi pakaian miliknya. Bahkan, tak jarang pakaiannya dibeli dengan harga lebih tinggi. Dari situ, ia terpikir untuk memulai bisnis kecil-kecilan.
Rhafly lalu memajang pakaian impor seken koleksinya lewat media sosial Facebook. Tak dinyana, koleksinya laku keras. Ia pun memberanikan diri membuka lapak daring via Instagram dengan akun bernama @saeneke.thrift dan @chosen.drips.
Sambil berdagang daring, akhir Januari 2021, Rhafly menjajal peruntungan dengan mengikuti festival lapak pakaian bekas. Modalnya diperoleh dengan meminjam uang sebesar Rp 1 juta dari orangtuanya. Ternyata, lapak pertamanya sukses. Pendapatannya melebihi modal.
”Jadi, dari awalnya membeli model borongan, saya coba mulai beli yang bentuk bal. Dulu yang sortir dari pemasok, sekarang saya menyortir sendiri,” kata Rhafly.
Baca juga: Hik, Mari Seruput Kehangatan Surakarta
Hampir setiap bulan, Rhafly mendatangkan 1 bal pakaian bekas impor dari pemasok di Bandung, Jawa Barat. Satu bal beratnya sekitar 100 kilogram. Isinya bisa mencapai 200 potong crewneck atau sweater. Dari satu bal, nanti dipilah-pilah menjadi tiga bagian, yang diistilahkan kelompok kepala, badan, dan kaki. Barang-barang ini biasanya dari Korea Selatan atau Jepang.
Kelompok kepala adalah barang paling bagus dan mudah dijual kembali, sedangkan kelompok kaki menjadi yang kualitasnya paling jelek. Indikator baik atau buruknya barang dilihat dari modelnya yang apik atau merek pakaian tersebut.
Tak dimungkiri, banyaknya ajang lapak pakaian seken membuat Rafly terus-menerus kulakan. Dari ajang-ajang festival pakaian bekas dan penjualan daring, dia menjual 50-100 potong pakaian per bulan. ”Setahun belakangan ini memang ramai sekali. Sejauh ini, saya sudah pernah ikut sembilan acara thrifting. Paling ramai setelah kondisi Covid-19 mulai melandai,” kata Rhafly.
Luring dan daring
Besarnya minat warga mengikuti ajang lapak pakaian bekas setidaknya dirasakan dalam Solo Market Fest. Ajang belanja yang digelar empat kali setahun itu diinisiasi dua pegiat lapak barang seken bermerek, yakni Tetuko Bayu Aji (27) atau Bobby dan Lukmanul Hakim (32). Dalam setiap gelarannya, mereka rata-rata bisa mendatangkan 20.000 pengunjung. Adapun setiap gelaran diadakan satu pekan.
Bahkan, kata Lukmanul, pada ajang belanja yang diadakan Ramadhan 2021, pihaknya bisa mendatangkan hingga 45.000 pengunjung selama sepekan. Catatan itu meningkat dua kali lipat dibandingkan ajang-ajang serupa sebelumnya.
Menurut Bobby, musim semi pakaian impor bekas di Surakarta setidaknya terjadi dua tahun terakhir. Itu berawal dari ajang bertajuk ”Solo Second Market” pada 2020. Meski baru pertama digelar, peminatnya membeludak. Akhirnya digelarlah ajang belanja setiap pekan bernama Manahan Thrift Day. Antusiasme pelapak yang ingin terlibat semakin tinggi. Meski begitu, yang bisa ditampung maksimal hanya 20 pelapak dalam setiap acara.
”Jadi, komunitas thrift shop (pelapak pakaian bekas) itu sudah ada. Hanya mereka tidak ada rumahnya. Akhirnya, dibuat festival yang bisa merangkul semuanya. Setelah itu, semakin banyak festival-festival lain bermunculan,” ungkap Bobby.
Banyaknya ajang belanja pakaian bekas di Kota Surakarta juga turut menarik minat pelapak dari kota lain. Belakangan ini, pelapak dari sejumlah daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Malang mulai ikut serta berbagai festival lapak di Kota Bengawan.
Salah seorang di antaranya Elang Abdi (22), warga Tegal. Ia mengaku sudah tiga kali ikut membuka lapak dalam ajang belanja pakaian bekas di Surakarta. Akses mengikuti ajang didapat dari teman sesama pelapak. Menurut dia, pelapak daring seperti dirinya cukup penting ikut serta ke ajang belanja luring.
”Ikut-ikut festival penting banget. Ini jadi mengenalkan toko kami yang sebenarnya hanya ada di Instagram. Pengalaman bertemu peminat pakaian-pakaian bekas juga seru sekali. Interaksi dengan pembeli ini yang kami cari,” kata mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, tersebut.
Perkembangan konsumsi masyarakat berorientasi pada citra. Ini bentuk konsumsi simbolik. Nah, anak-anak muda ini termasuk kelompok yang juga membutuhkan pengakuan itu di lingkup sosialnya.
Kendati kebanyakan berawal dari toko daring, sejumlah pelapak akhirnya membuka toko luring. Salah satunya Ginanjar Wahyu Saputro (37) yang memiliki toko bernama Jaws Store. Toko itu sekaligus digunakan memperkuat komunitas pelapak pakaian bekas. Ia mempersilakan para pelapak yang belum punya toko daring menitipkan barang untuk dijual di sana.
Di toko tersebut, Ginanjar juga mengajak para pelapak sama-sama belajar mencari nilai tambah pakaian bekas. Ada cerita-cerita yang perlu ditelisik sehingga membuat pakaian bekas itu punya nilai lebih. Jadi, berjualan pakaian bekas itu sekaligus mencari sejarah barang tersebut.
”Tidak bisa sekadar berjualan barang bekas yang murah. Perlu ada riset mencari nilai tambah. Kalau sekadar jual murah, nanti festival-festival ini juga akan kehilangan peminat. Apalagi kalau orang sudah mulai bosan. Namun, jika bisa mencari cerita di balik pakaian bekas, peminatnya akan selalu ada,” kata Ginanjar.
"Awul-awul"
Selain festival, lapak pakaian bekas tradisional berkonsep awul atau obralan juga masih punya peminat. Disebut awul karena pakaian bekas itu ditumpuk acak tak beraturan. Pembeli dipersilakan mencari sendiri pakaian bekas yang diminati di tumpukan tersebut. Salah satunya dapat dijumpai di Pasar Klithikan Notoharjo.
”Yang awul seperti ini dijual seharga Rp 20.000–Rp 30.000 per potong. Masih laku juga. Lumayan banyak yang cari. Apalagi kalau pas hari pasaran pagi. Namun, saya juga masih menyediakan yang sortiran, yang sudah dipilah dan bermerek,” kata Remon Setiawan (37), salah seorang pelapak di Pasar Klithikan Notoharjo.
Kendati demikian, di tengah maraknya animo anak muda berburu pakaian bekas, muncul kekhawatiran pelaku usaha tekstil akan tergerusnya industri tekstil lokal. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia Riza Muhidin. Menurut dia, pasar yang tercipta akibat budaya mengonsumsi pakaian bekas mampu membuka keran baru perdagangan impor pakaian bekas. Kondisi itu membuat industri tekstil lokal terdesak karena harga pakaian impor bekas cenderung miring (Kompas, 9/6/2022).
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, sepanjang 2021, nilai impor barang tekstil sudah jadi lainnya, pakaian bekas dan barang tekstil bekas, serta gombal atau kain tua (HS 63) bernilai 328,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,7 triliun. Nilai impor juga selalu meningkat lima tahun terakhir. Pada 2017, nilai impor HS 63 tercatat sebesar Rp 114,9 juta dollar AS (Rp 1,6 triliun), sedangkan pada 2020 mencapai 308,7 juta dollar AS (Rp 4,4 triliun).
Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Drajad Tri Kartono, menyampaikan, maraknya fenomena belanja pakaian bekas terjadi akibat perubahan pola konsumsi masyarakat. Yang dikonsumsi tidak lagi fungsi pakaian, tetapi citra yang melekat pada pakaian tersebut. Sebab, salah satu yang diburu adalah merek-merek global.
”Perkembangan konsumsi masyarakat berorientasi pada citra. Ini bentuk konsumsi simbolik. Mereka yang memakai barang-barang bermerek dipandang sosok berselera tinggi. Nah, anak-anak muda ini termasuk kelompok yang juga membutuhkan pengakuan itu di lingkup sosialnya,” kata Drajad.
Baca juga: Riwayat Hik, Jejak Perjuangan ”Wong Cilik” dari Pelosok Bayat
Dengan pola konsumsi tersebut, persoalan berikutnya adalah ancaman tergerusnya produk tekstil lokal. Dalam kondisi ini, menurut Drajad, produk lokal hendaknya bisa bersaing pada tataran citra. Perlu ada citra kekinian yang dilekatkan agar produk lokal juga bisa dilirik anak-anak muda.
Tren thrifting semestinya menjadi tantangan bagi produsen mode lokal agar bisa bersaing. Jangan sampai, Indonesia kemudian hanya dinilai sebagai tempat sampah tekstil bekas produsen mancanegara. Pelaku industri perlu mendidik agar selera generasi muda bisa berorientasi pada produk dalam negeri.