Harga Solar hingga Pajak Produksi Memberatkan Nelayan Indramayu
Sekitar 300 nelayan yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (9/6/2022). Nelayan mendesak pemerintah merevisi harga solar hingga pajak nelayan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Nelayan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mendesak pemerintah merevisi kebijakan harga solar hingga besaran tarif pajak pascaproduksi. Kebijakan tersebut dinilai memberatkan nelayan karena terancam tak bisa melaut lagi.
Sekitar 300 nelayan Indramayu yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) menyerukan hal tersebut saat berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Indramayu, Kamis (9/6/2022). Setelah berorasi, massa aksi pulang karena kecewa tidak ditemui anggota DPRD setempat.
Koordinator Umum FNB Kajidin mengatakan, harga bahan bakar minyak jenis solar industri untuk nelayan berkisar Rp 16.500 per liter. Jumlah tersebut melonjak dibandingkam akhir tahun lalu, yakni Rp 9.5000 per liter. ”Harga solar itu tidak sebanding dengan harga ikan yang sekitar Rp 15.000 per kilogram,” ujarnya.
Harga solar industri, katanya, bahkan menyebabkan sekitar 10 kapal tidak bisa melaut beberapa bulan terakhir karena terbebani ongkos bahan bakar. ”Yang aneh, kendaraan di darat bisa dapat solar subsidi, kami nelayan tidak bisa. Pada akhirnya, kami susah mencari nafkah di laut,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal FNB Robani mencontohkan, kapal ukuran 60 gros ton membutuhkan sekitar 60.000 liter untuk melaut berbulan-bulan. Dengan harga solar Rp 16.500, kapal itu membutuhkan Rp 990 juta, sedangkan dengan harga Rp 9.500 per liter, kebutuhannya sekitar Rp 570 juta.
”Itu baru harga BBM, belum biaya lainnya. Sekitar 70 persen ongkos operasional itu untuk solar. Kalau harganya dipaksakan Rp 16.500 per liter, itu memberatkan. Nelayan enggak dapat apa-apa,” ujarnya.
Yang aneh, kendaraan di darat bisa dapat solar subsidi, kami nelayan tidak bisa. Pada akhirnya, kami susah mencari nafkah di laut. (Kajidin)
Menurut Robani, jika harga solar industri Rp 16.500 per liter, sekitar 100 kapal ukuran 60 GT di Karangsong, Indramayu, kesulitan berangkat. Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah merevisi harga solar industri sekitar Rp 9.500 per liter agar nelayan bisa leluasa melaut.
FNB juga mendorong pemerintah agar merevisi kontrak penangkapan ikan yang diuji coba tahun ini di wilayah pengelolaan perikanan (WPP). ”Setiap kapal hanya satu WPP, tetapi ini bermasalah. Sering kali nelayan ke laut tidak dapat ikan. Makanya, kami meminta pemerintah memberi izin kapal untuk dua WPP yang berdampingan,” ujarnya.
Menurut dia, nelayan dengan kapal yang berukuran besar di Indramayu membutuhkan wilayah melaut di WPP 717 dan WPP 718. WPP 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur merupakan wilayah produktif ikan, sedangkan WPP 717 di Laut Natuna dan Laut China Selatan.
Adapun kapal dengan ukuran 30 GT di Indramayu, katanya, kerap berlayar di Laut Jawa atau WPP 712. Robani mengusulkan wilayah penangkapan diperluas ke WPP 711 di sekitar Karimata. Pihaknya juga menolak kehadiran kapal asing dan eks asing ke wilayah penangkapan Indonesia karena dinilai dapat mengancam nelayan kecil.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indramayu Dedi Aryanto menambahkan, nelayan juga mendesak pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tarif PNBP pascaproduksi kepada nelayan itu berkisar 5-10 persen.
”Kapal 60 GT ke atas kenanya 10 persen (PNBP) dari produksi, sementara yang kami sanggup itu paling besar setengahnya. Di bawah 60 GT itu kami minta (PNBP) 2 persen saja. Apalagi, penghasilan nelayan juga terbatas dan banyak persoalan, seperti harga solar,” ujar Dedi.
Kajidin berharap, pemerintah pusat dapat mendengar aspirasi nelayan Indramayu. ”Kalau tidak ada respons dari pemerintah pusat, kami akan ke Jakarta bersama nelayan dari Jawa Tengah sampai Kalimantan. Bukan ribuan nelayan lagi, bahkan puluhan ribu nelayan akan datang,” katanya.