Jawa Timur perlu menjadikan polemik rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobodur untuk perbaikan pengelolaan demi kelestarian bangunan purbakala sekaligus memelihara keingintahuan publik terhadap peninggalan bersejarah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Jawa Timur sebaiknya menjadikan polemik rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur di Jawa Tengah untuk memperbaiki sistem dan manajemen pengelolaan candi dan percandian. Perlindungan dapat diterapkan dengan penutupan sementara untuk pemugaran atau perbaikan, pembatasan jumlah pengunjung, dan penetapan skala prioritas terhadap pengunjung.
Demikian diutarakan Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim Zakaria Kasimin dan Purnawan Basundoro, Guru Besar Ilmu Sejarah dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, secara terpisah, Rabu (8/6/2022).
Di Jatim, sebaran candi terdapat di setidaknya 25 kabupaten/kota dari 38 daerah tingkat dua tersebut. Candi dan pundek berundak tersebar dari Banyuwangi di timur sampai ke Trenggalek di barat, bahkan Pulau Madura.
Kompleks utama candi berada di aliran Sungai Brantas, Bengawan Solo, Gunung Penanggungan, Gunung Arjuna, dan bekas peradaban Singhasari di Malang dan Majapahit di Mojokerto. Lebih dari 200 lokasi candi dan situs prasejarah sudah diidentifikasi dan diketahui.
Namun, secara umum, pengelolaan candi dan situs prasejarah di Jatim bergantung pada instansi pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota. Zakaria mengatakan, sejumlah candi dijaga oleh juru pelihara atau pegawai BPCB di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
”Juga ada candi-candi yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, tetapi BPCB menempatkan seorang staf sebagai pemandu dan pengawas,” ujarnya.
Dari situasi itu, memasuki candi-candi di Jatim amat mungkin tak berbiaya, murah sesuai penetapan retribusi di suatu desa, kecamatan, atau kabupaten/kota, atau setidaknya seikhlas pengunjung menyumbang. Jumlah pengunjung belum masif, tetapi pada akhir pekan beberapa candi dengan akses yang mudah dijangkau, misalnya di Trowulan (Mojokerto) dan Singosari (Malang), ramai orang.
Zakaria mengatakan, rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobodur belum akan berdampak terhadap situasi serupa di Jatim. ”Belum ada pembahasan soal itu,” katanya.
Jatim, lanjut Zakaria, kemungkinan besar menghindari rencana yang berpotensi memicu polemik seperti diusulkan terhadap Candi Borobudur. Namun, semangat perlindungan, pelestarian, dan pendidikan masyarakat akan lebih digemakan. Pemanfaatan candi untuk pengetahuan, pendidikan, dan literasi dirasa belum optimal. Kalangan warga Jatim diyakini belum semua memiliki pengetahuan, apalagi memori kolektif terhadap peninggalan purbakala dan narasinya untuk pemajuan kebudayaan.
Belum ada pembahasan soal itu. (Zakaria Kasimin)
Selaras dengan pandangan itu, menurut Purnawan, kenaikan tarif tiket seperti diusulkan oleh pemerintah di Candi Borobudur jangan sampai terjadi di Jatim. Perlindungan terhadap bangunan cagar budaya bukan dengan perspektif ekonomi yang dianggap tidak sejalan dengan semangat pemajuan perabadan masyarakat dalam memahami narasi sejarah.
Purnawan melanjutkan, pelestarian candi dan percandian dihadapkan pada dua faktor, yakni alam dan manusia. Yang bisa diantisipasi dan ditekan cuma gangguan oleh manusia. Caranya, membatasi kunjungan, penutupan sementara jika ada program pemugaran atau perbaikan, dan menerapkan skala prioritas terhadap pengunjung.
Aplikasi dalam jaringan
”Amat disarankan, kunjungan ke candi-candi dengan aplikasi online (dalam jaringan) sekaligus alasan sehingga nantinya dapat diterapkan pembatasan oleh petugas di candi,” kata Purnawan. Skala prioritas yang dimaksud ialah mendahulukan umat Hindu atau Buddha yang akan beribadah di candi sekaligus pembatasan jumlah kunjungan. Untuk pembatasan, perlu dengan kajian dan sosialisasi.
Jika candi belum ditetapkan sebagai tempat ibadah keagamaan, kelompok masyarakat yang didahulukan ialah peneliti. Berikutnya, pelajar, dan mahasiswa yang mendapat penugasan untuk menyusun laporan atau karya ilmiah tentang narasi candi dan percandian.
Urutan berikutnya ialah komunitas masyarakat pemerhati, pelestari, atau pegiat kesejarahan. ”Mereka itulah yang bisa diberi skala prioritas untuk datang ke candi, tetapi tetap dengan pembatasan. Pengunjung yang sekadar ingin berfoto atau menikmati suasana sebaiknya tidak diperkenankan naik atau berada di bangunan candi,” ujar Purnawan.
Pembatasan lalu lintas pengunjung ke candi dan percandian sebenarnya telah berlangsung dalam masa penanganan pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) sejak Maret 2020 sampai dua tahun kemudian.
Dalam masa itu, obyek wisata termasuk candi-candi ditutup atau dalam waktu tertentu dibuka dengan menerapkan pembatasan pengunjung untuk memastikan penerapan protokol kesehatan guna pencegahan penularan penyakit. Praktik senada, terutama pembatasan, dapat kembali diterapkan untuk memastikan perlindungan dan pelestarian candi.