Habitat Terganggu, Anoa Berkeliaran di Lokasi Perusahaan Tambang di Konawe
Dua ekor anoa dataran rendah muncul di lokasi penambangan nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara. Kemunculan hewan ini telah berkali-kali, yang ditengarai akibat habitat yang terganggu.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Dua ekor anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) muncul dan berkeliaran di lokasi penambangan nikel sebuah perusahaan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kemunculan hewan langka ini telah terjadi berkali-kali, yang ditengarai akibat habitat yang terganggu. Perlindungan hewan dilindungi ini diharapkan lebih maksimal.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara Sakrianto Djawie menuturkan, sejak beberapa hari lalu memang beredar video kemunculan anoa di lokasi perusahaan tambang nikel di Kecamatan Routa, Konawe. BKSDA Sultra pun telah berkoordinasi dengan pihak perusahaan tersebut guna memastikan kebenaran informasi itu.
”Dari video yang kami terima dan koordinasi dengan perusahaan, ada dua ekor anoa yang muncul. Yang pertama adalah anoa berumur sekitar tujuh tahun dan satu lagi berumur sekitar tujuh bulan. Kemungkinan anaknya,” kata Sakrianto, di Kendari, Selasa (7/6/2022).
Dari keterangan pihak perusahaan, ia melanjutkan, kemunculan anoa di kawasan tersebut bukan yang pertama kali. Sejak perusahaan mulai beroperasi, anoa telah beberapa kali muncul di kawasan yang sama. Hal ini mengindikasikan lokasi itu adalah wilayah jelajah atau habitat dari satwa endemik Sulawesi tersebut.
Ke depannya, tambah Sakrianto, pihaknya akan turun ke lokasi perusahaan untuk melakukan identifikasi wilayah. Dari situ, akan dipelajari apakah kawasan pembukaan hutan oleh perusahaan memang habitat utama, daerah jelajah, atau lainnya. Setelahnya, sejumlah upaya proteksi akan dilakukan.
”Kawasan hutan tersebut memang hutan produksi yang berdampingan dengan konsesi perusahaan. Pihak perusahaan sebut telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Proteksinya nanti bisa dikoordinasikan agar daerah jelajah dan habitat tidak ada kegiatan dahulu, atau bentuk proteksi lainnya. Karena bagaimanapun ini adalah hewan yang dilindungi,” ucapnya.
Berdasarkan pengamatan BKSDA selama ini, wilayah Routa hingga Mekongga merupakan kawasan habitat anoa, baik itu spesies dataran rendah maupun dataran tinggi. Routa adalah salah satu wilayah di Kabupaten Konawe yang berbatasan dengan beberapa kabupaten hingga wilayah Provinsi Sulawesi Tengah.
Terisolasi cukup lama, kawasan ini digadang-gadang sebagai kawasan industri baru untuk pertambangan nikel, khususnya pengembangan baterai kendaraan listrik. Meski begitu, keberlangsungan hidup anoa terus terganggu seiring pembukaan kawasan atau di daratan lain di Sultra.
Pada pertengahan 2019, seekor anoa terluka akibat terjerat jebakan warga di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) ini terluka di kaki kiri depan karena jeratan tali. Hewan ini diperkirakan terus meronta untuk melepaskan diri selama lebih dari dua hari. Gesekan tali membuat kulit kaki terkelupas dan sebuah kukunya juga hampir tercabut. Anoa itu kini masih berada dalam penanganan BKSDA Sultra. Kaki kirinya telah cacat dan kesulitan untuk dilepasliarkan.
Dari data BKSDA Sultra, populasi anoa di wilayah monitoring bertambah meski dengan tingkat pertumbuhan sangat minim. Sejak 2013, pertambahan anoa di wilayah monitoring hanya sekitar 14 ekor. Basis data pemantauan anoa pada 2013 sejumlah 179 ekor, sementara pada 2018 sejumlah 193 ekor.
Ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup anoa memang terus tinggi.
Peningkatan jumlah ini hanya untuk di wilayah pemantauan, bukan untuk kondisi Sulawesi Tenggara secara umum. Lokasi pemantauan anoa sebanyak empat titik di dua kawasan, yakni dua lokasi di Taman Suaka Marga Satwa Tanjung Peropa dan selebihnya di Kabupaten Buton Utara. Total luas wilayah pemantauan ini 76 hektar.
Anoa merupakan hewan dilindungi dengan status rentan punah. Di Sulawesi, hewan ini terdiri atas dua spesies, yaitu anoa dataran tinggi dan anoa dataran rendah. Kelangsungan hidup hewan ini terus terusik akibat rusaknya habitat juga karena perburuan. Di Sultra, pembukaan kawasan hutan untuk industri dan perkebunan skala besar juga terus terjadi.
Anoa adalah salah satu satwa yang membuat Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris, kebingungan. Saat berkunjung ke Manado pada Juni-September 1859, ia menulis, ”Telah terjadi kontroversi apakah satwa ini digolongkan sebagai lembu, kerbau, atau antelop”. Di masa itu pula, Wallace mencatat, perburuan daging anoa telah mengancam populasi satwa unik tersebut (Kompas, 1/8/2018).
Sebelumnya, Rosek Nursahid, pendiri ProFauna Indonesia, menegaskan, ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup anoa memang terus tinggi. Selain perburuan, perambahan hutan juga menjadi pemicu utama. ”Dalam beberapa kasus, para perambah, penebang liar yang tinggal di hutan ikut memburu anoa untuk diperjualbelikan. Mereka sekalian melakukan perburuan hewan ketika berada di dalam hutan,” katanya.
Selain itu, dia menambahkan, pembukaan hutan dengan berbagai tujuan membuat hewan yang tinggal di dalamnya terusik, lalu mencari tempat lain di luar kawasan. Saat keluar, hewan itu menjadi sasaran empuk pemburu atau terjadi konflik dengan masyarakat.
Oleh karena itu, ujar Rosek, program pemantauan dan monitoring harus terus dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan endemik ini. Patroli rutin harus selalu dijalankan agar kasus perburuan semakin berkurang.