Kolaborasi Pemuda Sulut untuk Selamatkan Bumi
Masalah lingkungan hidup di dunia masa kini tak banyak berubah meski setengah abad telah berlalu sejak Deklarasi Stockholm ditelurkan pada 1972. Untuk selamatkan Bumi, pemuda di Sulawesi Utara pun berkolaborasi.
Marlon Kamagi memulai dengan sebuah perumpamaan. ”Coba bayangkan kita memarkir mobil di tengah lapangan, tepat tengah hari yang terik sekali, pas matahari lagi ’lucu-lucunya’. Matikan AC mobil, tutup semua kaca jendela, lalu kita diam di dalam selama satu jam. Bagaimana rasanya? Jadi sama dengan sauna, kan?” tuturnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa kaca tersebut layaknya lapisan karbon yang menyelubungi bagian dalam atmosfer Bumi. Semakin banyak emisi karbon yang dilepas ke udara, akan semakin sulit panas dari radiasi matahari meninggalkan atmosfer kita. Alhasil, suhu Bumi akan terus meningkat.
Jika keadaan ini dibiarkan, es di dua kutub Bumi akan meleleh. Muka air laut pun akan terus meninggi. ”Maka akan banyak pulau yang tenggelam. Diprediksi, kita akan harus menggambar lagi peta Bumi kita,” ujar Marlon pada Minggu (5/6/2022) sore di hadapan audiens muda yang berkumpul di taman sebuah kafe di Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Sebagai seorang aktivis lingkungan, Marlon memang harus mampu menjelaskan pemanasan global dalam cara yang paling mudah dipahami publik. Kemampuannya telah terasah setelah bertahun-tahun menjadi pemimpin iklim (climate leader) Climate Reality Project, sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang didirikan mantan Wakil Presiden ke-45 Amerika Serikat, Albert Arnold Gore atau yang lebih dikenal dengan Al Gore.
Menurut Marlon, apa yang kita lakukan sehari-hari pun tak membantu dalam mencegah pemanasan global. Misalnya, menggunakan pendingin ruangan (AC) sehingga freon menjadi karbon dioksida. Sampah rumah tangga yang kita buang dan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) pun menyebabkan gas metana.
Pada skala yang lebih besar, aktivitas bermacam pabrik juga menghasilkan emisi karbon yang dilepas ke udara. Semuanya menjadi karbon yang menimbulkan efek rumah kaca. Ini belum memperhitungkan limbah yang dilepas ke sungai atau laut. Terumbu karang dan hutan bakau sebagai penyerap karbon pun ikut terancam.
Baca juga: 50 Tahun Pasca-Deklarasi Stockholm
Ternyata, ujar Marlon, masalah lingkungan hidup di dunia masa kini tak banyak berubah meski setengah abad telah berlalu sejak penyelenggaraan konferensi tentang kemanusiaan dan lingkungan hidup pada 1972 yang menelurkan Deklarasi Stockholm. Maka, pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022 yang jatuh pada Minggu, tema yang sama kembali diangkat.
”Kita cuma punya satu Bumi, only one Earth. Permasalahan lingkungan tidak berubah signifikan dan malahan akan terus berkembang. Dampaknya akan sangat luas dan mengancam eksistensi kita. Realitas iklim ini harus kita tangani secara bersama-sama,” ujar Marlon.
Karena itulah, aksi nyata sekecil apa pun, seperti mengurangi timbulan sampah, sangat dibutuhkan. Marlon percaya, anak muda memegang peranan penting dalam upaya ini. Ia sendiri telah merangkul anak-anak muda melalui usaha rintisannya, Baciraro, yang bertekad mengelola limbah plastik melalui bank sampah.
Kini, di Manado saja, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Sumompo diperkirakan 650 ton setiap hari. Jumlahnya bisa jauh lebih tinggi dari itu jika menghitung sampah yang berakhir di laut.
Salah satu keunggulan bahan alternatif ini adalah ketahanannya terhadap panas dan rayap.
Clay Lalamentik, Chief Operation Officer (COO) Baciraro, mengatakan, start up itu telah bergerak aktif enam bulan terakhir. Sudah ada enam bank sampah di empat daerah, yaitu tiga di Minahasa, satu di Bitung, satu di Minahasa Utara, serta satu lagi di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
”Di Likupang, Minahasa Utara, kami kerja sama dengan Danone untuk menyerap 36 ton sampah. Ini juga untuk mendukung program DSP (Destinasi Pariwisata Superprioritas) pemerintah di Likupang. Sementara di Minahasa, Bitung, dan Lombok Utara, kami sudah menyerap 15-20 ton sampah plastik dari masyarakat,” ujar Clay.
Khusus di Lombok Utara, bank sampah Baciraro memiliki 40-50 keluarga yang menjadi nasabah, sementara di daerah lain mereka bermitra dengan sejumlah kafe dan restoran. Ada pula organisasi dan komunitas lokal, seperti Sea Soldier Sulut dan kelompok pencinta alam lainnya.
Clay melanjutkan, sampah-sampah plastik yang dikumpulkan akan dipilah. Kemudian, tutup-tutup botol diolah dengan mesin ekstruder menjadi beam, yaitu semacam material yang menyerupai batang kayu untuk bahan alternatif perabotan atau tiang-tiang bangunan. Ada juga yang diolah menjadi bata plastik (plastic brick) untuk bahan bangunan.
Baca juga: Enam Aksi Ubah Sampah Jadi Tuah
Salah satu keunggulan bahan alternatif ini adalah ketahanannya terhadap panas dan rayap. ”Ini satu-satunya di Indonesia. Kami kerja sama dengan NGO (LSM) dari Swiss dan Jerman untuk mendapatkan alatnya,” ujar Clay.
Di samping itu, tutup-tutup botol itu diolah menjadi benang-benang filamen yang dapat diolah menjadi kerajinan tangan. Baciraro bekerja sama dengan Bengkel Ide di Manado sehingga filamen itu dapat diolah menjadi, misalnya, action figure penari kabasaran Minahasa dan hiasan meja lainnya menggunakan pencetak tiga dimensi (3D printer).
Menurut Clay, ini adalah salah satu peran Baciraro dalam mengatasi masalah sampah. Buktinya, sampah masih memiliki manfaat dan nilai ekonomis. Namun, semua hanya akan terwujud jika dilakukan dalam kolaborasi dengan mitra-mitra lokal.
Sea Soldier Sulut, yang beranggotakan anak-anak muda pencinta selam, juga turut melestarikan Bumi dengan cara mereka sendiri. Beberapa adalah memungut sampah di sejumlah titik selam di Sulut serta mengajak warga berhenti membuang sampah ke laut.
Ardi Sehangunaung, salah satu pengurus komunitas itu, mengatakan, mereka kini juga telah bermitra dengan warga Desa Tiwoho, Wori, Minahasa Utara. ”Sampah plastik dari warga setempat kita kumpulkan di satu lokasi. Setiap empat bulan sekali, kami mengantarkannya ke bank sampah Baciraro atau Baciraro yang mengambil,” katanya.
Kalau mau cepat, berjalanlah sendiri. Tetapi, kalau mau sampai jauh, mari berjalan sama-sama.
Di samping itu, mereka juga kerap menanam bakau dan melaksanakan transplantasi terumbu karang. Sebab, terumbu karang memiliki daya serap karbon dioksida tiga kali lebih besar ketimbang pohon di daratan. ”Salah satu tempat yang kami pernah tuju adalah Desa Pulisan di Likupang. Setiap dua bulan, kami selalu mengawasi pertumbuhannya,” katanya.
Organisasi yang tak secara langsung beraktivitas di bidang lingkungan pun tak ingin ketinggalan dalam pelestarian Bumi. Contohnya adalah perusahaan rintisan asal Bitung, Infinity Blood alias Inblood.
Chris Lamangsiang, salah satu pendiri Inblood, mengatakan, perusahaan itu sebenarnya bergerak di bidang penyediaan stok darah untuk transfusi bagi pasien-pasien yang membutuhkan. Namun, melalui kerja sama dengan Baciraro, Inblood menyediakan asuransi jiwa bagi para pendonornya. Dananya berasal dari monetisasi sampah plastik.
Program ini disebut Trash for Life. Sampah-sampah plastik tak harus berasal dari pendonor, melainkan juga dari kafe atau restoran. ”Sejak April, kami sudah mengumpulkan 114 kilogram limbah plastik. Setelah dijadikan uang (melalui penjualan ke Baciraro), nilainya kami konversikan jadi asuransi, kami berikan secara gratis ke donor,” kata Chris.
Kini, Chris menjajaki kerja sama penyerapan sampah plastik dengan kelurahan-kelurahan di Bitung dan Minahasa Selatan. Ia juga sangat terbuka pada kolaborasi dengan beragam komunitas yang peduli lingkungan.
Semua yang dilakukan Baciraro, Sea Soldier, dan Inblood semata-mata untuk keselamatan Bumi. Marlon pun mengingatkan, keadaan Bumi yang lebih baik, setidaknya pada 2050, hanya akan terwujud melalui kolaborasi. ”Kalau kita sudah tahu di mana irisan visi kita, marilah berkolaborasi. Kalau mau cepat, berjalanlah sendiri. Tetapi, kalau mau sampai jauh, mari berjalan sama-sama,” katanya.
Baca juga: Indonesia Angkat Tiga Isu Prioritas tentang Lingkungan pada G20