”Sudah jarang yang tahu (bikin gerabah). Anak perempuan saya saja tidak ada yang tahu bikin,” katanya. Padahal, Wa Aji (70) belajar otodidak dari orangtuanya yang diturunkan selama beberapa generasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Di balai dari papan bekas, Wa Aji (70) tekun membuat gerabah yang menjadi profesinya selama puluhan tahun, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
Menggenggam sebilah bambu dan sebuah batu kali, Wa Aji (70) khusyuk mengolah sebongkah tanah liat di pangkuannya. Geraknya lentur seiring puluhan tahun membuat gerabah. Nenek dengan cucu yang tak mampu ia hitung ini bertahan hidup dengan gerabah sekaligus menjadi segelintir pomanduno terakhir di tanah Buton.
Di siang yang terik, akhir Mei lalu, Wa Aji duduk berselonjor di sebuah balai dari papan bekas. Balai berukuran 2 x 2 meter ini berada tepat di belakang rumahnya, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara. Berbagai peralatan sederhana berada di sekelilingnya, menjadikan ibu empat anak ini serupa penampil yang mengorkestrasi pertunjukan seorang diri.
Tangan kanan Wa Aji lincah mengayun sebilah bambu. Bambu atau pabata ini menjadi alat untuk meratakan bagian luar gerabah buatannya. Pada bagian dalam, tangan kirinya menggenggam sebuah batu kali seukuran kepalan tangan anak remaja. Teknik dengan alat sederhana ini disebut proses tatap landas yang telah ada sejak zaman bahela.
Dua alat utama pembuatan gerabah ini bergerak seirama. Saat batu kali ia geser, lokasi tempat ia memukul dengan bilah bambu juga berpindah. Batu menekan dari dalam, sedangkan bambu memukul dari luar. Sesekali ia menyapukan beberapa tetes air. Bongkahan tanah liat dipangku, serupa seorang ibu yang menimang sang anak.
”Harus tepat dan bagus bikinnya. Kalau tidak bisa pecah nanti saat dibakar,” kata Wa Aji, dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu lancar. ”Anggap saja seperti membesarkan anak. Bagaimana kita bikinnya, seperti itu juga hasilnya nanti.”
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Menggunakan sebilah bambu dan sebuah batu kali, Wa Aji (70) membentuk tanah liat menjadi gerabah, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
Perlahan, tanah liat telah berbentuk serupa parabola mini. Gerabah ini disebut kabubu atau peralatan yang dipakai dalam membuat kue. Fungsinya serupa oven yang menyimpan panas.
Setelah memasang pegangan, kabubu telah tuntas. Dalam sehari, ia bisa membuat lima hingga sepuluh gerabah dalam berbagai bentuk. Kabubu ini dijual seharga Rp 20.000 per buah. Dalam seminggu, ia biasa mendapat Rp 100.000, tergantung kemampuannya membuat gerabah dan permintaan pelanggan.
“Tinggal dikeringkan, diwarnai lalu dibakar. Pewarnaan pakai warna merah dan putih. Warna merah dari tanah, kalau putih dari batu kapur yang dihaluskan,” tambahnya.
Ia mengambil gerabah lain yang telah dikeringkan. Sebuah palama atau kendari yang telah dibuat sejak beberapa hari lalu. Pewarna di wadah plastik bekas ditambahkan sedikit air. Ia mengambil sehelai bulu ayam yang menjadi kuas. Sejurus kemudian, ia membentuk pola dengan warna putih di sekeliling gerabah. Di dalam pola, ia menyapurkan garis-garis merah sehingga membentuk bentuk sederhana sebagai penghias gerabah.
”Bikinnya seperti ini saja, tapi sudah jarang yang tahu (bikin gerabah). Anak perempuan saya saja tidak ada yang tahu bikin,” katanya. Padahal, Wa Aji belajar dari orangtuanya, yang diajarkan turun temurun. Pembuatan gerabah ini menjadi penghasilan utamanya, terlebih setelah suaminya meninggal belasan tahun lalu. Pembuat gerabah dilakukan oleh para perempuan sejak dahulu.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Menggunakan sehelai bulu ayam serta pewarna dari tanah dan batu, Wa Aji (70) mewarnai gerabah yang baru dibuatnya, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
Selain tak ada generasi pelanjut, Wa Aji memang merasakan kesulitan dalam pembuatan gerabah. Tempat mengambil tanah liat berjarak sekitar 40 menit berkendara. Bersama rekan-rekannya sesama pembuat gerabah, mereka biasa menyewa kendaraan untuk mengambil tanah liat.
Wa Ana, pomanduno lainnya menuturkan hal serupa. Anak perempuannya kini tidak lagi mengetahui cara pembuatan gerabah. Padahal, ia bertahan hidup dan membesarkan empat orang anak melalui gerabah. Gerabah ini dijual di pasar di Baubau, atau memenuhi pesanan khusus.
Namun, semakin hari, pembuat gerabah atau pomanduno ini semakin berkurang.
Secara etimologi, pomanduno berasal bahasa Pancana dialek Lipu-Katobengke, yaitu pomandu yang berarti memukul-mukul. Berdasarkan Kamus Katobengke-Indonesia-Inggris yang disusun oleh La Umbu Zaadi S.Pd, M.Hum dkk, pomandu adalah kegiatan dalam membuat gerabah dari tanah liat. Pembuatnya disebut pomanduno.
Di Kelurahan Lipu tersisa segelintir pomanduno. Herlin (28), pemuda Lipu dan penggerak kerajinan gerabah menceritakan, di lingkungannya, kini hanya tersisa sepuluh orang pembuat gerabah yang masih bertahan. Dua orang di antaranya sakit-sakitan dan beristirahat beberapa waktu terakhir.
”Jadi, yang aktif itu sekitar delapan orang. Usia yang paling muda di kisaran 50, sementara yang paling tua 80 tahun, bahkan lebih. Karena orang sini jarang yang tahu umur aslinya, terutama mereka yang telah tua. Di Kelurahan Katobengke, wilayah sebelah, juga tersisa beberapa orang,” tuturnya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Pedagang di Pasar Wameo, Baubau, Sulawesi Tenggara, menjajakan gerabah kerajinan warga setempat, Sabtu (28/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
Padahal, saat ia kecil wilayah ini merupakan sentra pembuatan gerabah. Berbagai bentuk gerabah, dari kabubu, palama, nu’ua (periuk), kaecunu’a (dupa), bulusa (tempat menyimpan beras), dan jenis lainnya, dihasilkan masyarakat.
Saat ini pembuat gerabah adalah para lansia tanpa generasi pelanjut. ”Selain tempat mengambil bahan baku tanah liat yang semakin jauh, hampir satu jam dari Lipu, pembuatan gerabah dianggap bukan pekerjaan yang baik. Ditambah lagi orang sekarang jarang pakai peralatan gerabah. Untuk kami di sini, masih dipakai saat pemakaman, perkawinan, dan lainnya. Tidak bisa bayangkan kalau pomanduno sudah tidak ada lagi,” ucapnya.
Tanpa regenerasi
Riset Rustam Awat dan Devi Agustin dari Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, menyebutkan, sejarah pembuatan gerabah di Lipu dan Katobengke memiliki dua versi. Pertama, cikal bakal lahirnya pomanduno berawal dari datangnya Sultan Murhum beserta rombongannya dari daratan Muna pada abad ke-16. Salah satu rombongan menetap di Katobengke untuk membuat gerabah.
Versi lain tentang latar belakang pomanduno menyebutkan bahwa masyarakat Lipu-Katobengke tidak berguru pada orang Muna (Kampung Laboora). Leluhur mereka mengetahui sendiri cara membuat gerabah. Hal ini didasarkan pada hasil keterampilan keduanya yang berbeda dalam hal ketebalan dan pola hiasnya. Dari segi bentuk gerabah, buatan orang Katobengke lebih tipis dan memiliki pola hias, sedangkan gerabah buatan orang Laboora tebal dan tanpa pola hias.
”Yang pasti, pembuatan gerabah telah berlangsung selama berabad-abad di wilayah ini. Dulu bahkan dibawa sampai daratan dan pulau lain oleh orang Lipu,” kata Rustam yang juga pengajar di Unidayan ini. ”Sekarang, pembuatan gerabah di Buton hanya ada di daerah Lipu dan Katobengke.”
Sayangnya, ia menambahkan, pomanduno semakin kurang dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah pembuat gerabah di dua kelurahan sebanyak 26 orang. Saat ini, jumlah pembuat gerabah hanya tersisa belasan orang hingga saat ini. Kondisi ini diperparah tidak adanya regenerasi pomanduno. Padahal, gerabah hingga saat ini masih dipakai untuk ritual dan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Wa Aji (70) tekun membuat gerabah di balai sederhana miliknya, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
Pomanduno, terang Rustam, dianggap pekerjaan yang tidak menghasilkan karena penggunaan perkakas rumah tangga semakin modern. Belum lagi pekerjaannya yang membutuhkan keahlian khusus dan harus kotor karena bersentuhan dengan tanah. Para generasi muda yang telah mengenyam pendidikan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menghasilkan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Baubau M Salman Siradjuddin menyampaikan, kondisi pembuat gerabah di wilayahnya memang mengkhawatirkan. Sebab, para pembuat gerabah atau pomanduno semakin renta, tanpa adanya regenerasi.
Kondisi ini diperparah penjualan yang semakin sulit dari waktu ke waktu. Masyarakat lebih memilih peralatan modern dan semakin melupakan gerabah. ”Kami memang memberikan perhatian terhadap hal ini. Ke depannya, kami akan upayakan kerajinan ini bisa terus bertahan, baik dengan modifikasi untuk menarik minat anak muda maupun dengan wisata budaya. Hal ini sama dengan kerajinan lain, seperti kuningan atau tenun yang Kondisinya hampir serupa,” kata Salman.
Sementara itu, Rustam berharap, pemerintah melakukan aksi nyata terkait kondisi gerabah di wilayah ini. ”Kalau tidak, generasi pomanduno akan benar-benar berakhir dan anak cucu kita tidak akan tahu lagi seperti apa gerabah dari tanah ini,” ucapnya.