Usut Tuntas Kematian Berulang Gajah Sumatera di Lahan Konsesi
Sebanyak 44 gajah sumatera tewas selama 2,5 tahun terakhir karena sengaja dibunuh, keracunan, hingga terluka karena jerat. Enam kasus kematian terjadi dalam areal korporasi tanaman industri dan sawit.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Pemerintah dan aparat penegak hukum didorong tegas menindaklanjuti temuan berulang kematian gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dalam hutan berkonsesi dan kebun korporasi. Ancaman kepunahan semakin terbuka tanpa intervensi khusus.
Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mendata, sebanyak 44 gajah sumatera tewas dalam kurun 2,5 tahun terakhir. Penyebab kematian sengaja dibunuh, keracunan, hingga terluka karena jerat. Dari jumlah tersebut, enam kasus kematian terjadi dalam areal korporasi tanaman industri dan perkebunan sawit.
Kasus terbaru adalah kematian seekor gajah betina hamil tua di areal konsesi perusahaan pemasok bahan kertas di Bengkalis, Riau, 25 Mei 2021. ”Kami mendorong aparat penegak hukum berupaya maksimal agar pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai hukum yang berlaku,” kata Donny Gunaryadi, Ketua FKGI, Jumat (3/6/2022).
Selain itu, pihaknya juga meminta pemegang konsesi hutan dan HGU bertanggung jawab. Banyak kasus kematian gajah dan juga harimau akhir-akhir ini terjadi di areal HGU dan HTI. Pemerintah semestinya mendorong perusahaan untuk lebih serius melindungi satwa liar dalam areal kerjanya. ”Kasus kematian gajah jangan sampai terus terjadi dan berulang di konsesi yang sama,” ujar Donny.
Sebagaimana diketahui, induk gajah yang tengah hamil tua di Bengkalis itu ditemukan mati dengan dugaan akibat racun. Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Fifin Arfiana mengatakan, lokasi kematiannya masuk dalam konsesi PT RAL yang berdampingan dengan kebun sawit masyarakat. Gajah betina itu berusia sekitar 25 tahun, dalam kondisi mengandung dan akan segera melahirkan bayinya.
Sewaktu tim BKSDA mengambil sampel hati, dinding usus, paru, dan kotoran gajah tersebut untuk uji laboratorium didapati bayi dalam kandungannya sudah dalam kondisi mati. Semua sampel diuji di Balai Veteriner di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. ”Hasil laboratoriumnya akan menjadi bahan penyelidikan,” ujarnya.
Kondisi gajah sumatera semakin tertekan. Populasinya terus menurun di tengah penyusutan habitat. Intensitas konflik manusia dan gajah terus memanas.
Donny menambahkan, kondisi gajah sumatera semakin tertekan. Populasinya terus menurun di tengah penyusutan habitat. Intensitas konflik manusia dan gajah terus memanas. Perburuan gajah dengan motif perdagangan gading juga tinggi.
Pendataan yang dilakukan FKGI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019 mendapati populasi gajah sumatera 1.083 hingga 1.586 ekor. Jumlah ini jauh menurun dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Berdasarkan catatan Kompas, populasi gajah sumatera pada 2007 masih 2.400 ekor.
Ketua Rimba Satwa Foundation (RSF) Zulhusni Syukri mengatakan, areal konsesi yang terokupasi sangat rawan konflik satwa dan manusia. Pada kasus kematian gajah di Bengkalis, Mei lalu, pihaknya sempat mendeteksi terjadi konflik yang memanas. ”Dari sisi masyarakat, tidak mau dirugikan karena mereka telah menanam sawit,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada mitigasi agar konflik mereda, misalnya mengedukasi masyarakat agar menanam komoditas yang tidak memicu konflik, seperti jengkol, durian, atau sereh wangi.
Ia pun mendorong tumbuhnya peran aktif perusahaan pemegang konsesi untuk mencegah konflik di wilayah itu. Sejauh ini, pihaknya masih melihat belum ada tindakan perusahaan mengupayakan perlindungan yang maksimal bagi satwa dilindungi.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan menilai, perusahaan harus bertanggung jawab atas konflik satwa dan manusia yang terjadi dalam areal konsesi hutan dan HGU. ”Perusahaan jangan beralasan, ini areal yang dirambah. Mereka tetap harus bertanggung jawab mengamankan wilayahnya,” katanya.
Perlindungan atas kehidupan satwa liar yang menjelajah di areal kelola korporasi menjadi tanggung jawab perusahaan terkait. Namun, diperlukan pula peran serta BKSDA dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi secara terpadu memastikan pengamanan dalam areal-areal konsesi.