Kalimantan Tengah memiliki keberagaman budaya pangan. Keberagaman itu disemai dan dirawat dengan kesadaran masyarakat adat serta upaya adaptasi terhadap kondisi lingkungan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Tel Salatan Penyang (67), petani asal Desa Parempei, Kabupaten Gunung Mas, Selasa (31/5/2022) pagi, sedang serius memperhatikan tanaman kacang-kacangan yang tumbuh di lahan gambut di kebun milik JPIC Kalimantan, di Kalampangan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Ia heran. Seingatnya, tanaman kacang sulit sekali tumbuh di lahan gambut. Pernah ia mencobanya, tetapi hanya bulir kosong yang tumbuh. Ia lalu bertanya-tanya cara menanam kacang-kacangan itu kepada Yohanes Eufonius Raymond Jawa Niron atau yang biasa disapa Randi.
Randi sudah mengolah tanah gambut di Kota Palangkaraya dalam beberapa tahun terakhir. Menurut dia, kunci keberhasilan menanam di tanah gambut itu adalah pengolahan tanah. Tanpa membakar pun gambut bisa diolah dengan mengurangi zat asam yang terkandung di dalamnya. Selain pupuk kompos, Randi juga menambahkan eco enzyme agar tanah menjadi kian subur.
”Tapi ini memang baru kami coba untuk kacang-kacangan, sejauh ini tanamannya subur,” kata Randi.
Tel Salatan tambah bingung lagi ketika beberapa tanaman yang biasa ia jumpai di hutan di Rungan bisa tumbuh di lahan gambut yang ia kenal selama ini sebagai tanah rawa karena penuh air. Lalu, sesekali ia mengeluarkan catatan dan alat tulisnya, mencatat, bertanya, juga memberikan saran.
”Ini penting sekali buat kami karena banyak tanaman yang selama ini tidak bisa dibudidaya, hanya tumbuh di hutan, tetapi ternyata bisa juga ditanam di pekarangan,” kata Tel.
Tel kemudian mengeluarkan telepon pintarnya. Ia cukup sibuk mengotak-atik telepon pintarnya itu, hingga butuh 5 menit untuk mencari tombol rekam di kamera.
Sepulang dari kebun itu, Tel bersama beberapa petani lain dari desanya berdiskusi. Kemudian mengingat kembali segala jenis tanaman yang pernah ia temui di ladang ataupun di hutan. Bahkan, beberapa tanaman lain sudah tidak pernah dijumpainya lagi, seperti daun songkai yang memiliki fungsi sebagai penyedap rasa.
Tel berusaha mengingat beberapa tanaman yang ia lihat semasa kecilnya dulu. Tanaman yang ditunjukkan ayah dan ibunya di hutan.
Ini penting sekali buat kami karena banyak tanaman yang selama ini tidak bisa dibudidaya, hanya tumbuh di hutan, tetapi ternyata bisa juga ditanam di pekarangan.
Tel berasal dari desa yang masuk dalam kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Rungan. Ia bertemu dengan petani dari lima DAS lainnya di Kalimantan Tengah. Saat bertukar pikiran, beberapa petani dari DAS lain mengaku masih sering berjumpa dengan daun songkai yang ia anggap langka.
Ia pun senang. Sedikit bersemangat ia mewawancarai petani tersebut. Bahkan, meminta nomor kontak agar bisa dikirimi benihnya.
Begitulah cara puluhan petani belajar dan saling bertukar ilmu tentang pangan lokal Dayak yang ada di wilayahnya masing-masing. Mereka ikut dalam kegiatan Temu Tani yang diselenggarakan Borneo Nature Foundation (BNF) di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Para peserta kegiatan itu merupakan petani yang datang dari DAS Rungan, DAS Barito, DAS Kahayan Tengah, DAS Kapuas, dan DAS Manuhing. Mereka yang tidak pernah mengenal satu sama lain jadi seperti keluarga dalam acara itu. Mereka diikat oleh rasa ingin merawat kesadaran akan pangan lokal.
Para peserta mulai mengidentifikasi jenis pangan lokal di wilayahnya masing-masing beserta fungsi tanaman itu, mulai untuk makanan, sayuran, buah-buahan, hingga tanaman obat. Tak hanya itu, mereka juga mengidentifikasi ancaman terhadap pangan lokal di wilayahnya.
Dari DAS Kahayan Tengah, hasil identifikasi menunjukkan setidaknya terdapat 25 jenis daun untuk sayuran atau yang disebut dawen dalam bahasa Dayak Ngaju, 32 jenis buah-buahan, 25 jenis rempah-rempah, 6 jenis batang-batangan, 3 jenis bunga (termasuk sayuran dan rempah), 54 jenis ikan sungai, 4 jenis udang, 9 jenis umbut, 7 jenis umbi, dan 2 jenis sayuran pakis. DAS lain pun membuat hal serupa.
Untuk sayuran, dari total 25 jenis sayuran, hanya 18 jenis yang bisa dibudidaya, buah-buahan semuanya bisa dibudidaya. Adapun untuk rempah-rempah, dari total 25 jenis rempah, hanya 19 yang bisa dibudidaya.
Terdapat dua jenis rempah untuk bumbu yang sudah mulai jarang ditemukan, yakni songkai dan kalapimping. Keduanya digunakan untuk mengganti penyedap rasa alias micin.
Pangan lokal suku Dayak dibagi menjadi empat lokasi tanam tumbuh, yakni di hutan, di rawa atau kubangan, di pematang juga pekarangan, dan di perbukitan atau tempat yang cukup tinggi. Perbedaan itu memunculkan beragam sebutan untuk satu tanaman di tanah yang berbeda.
Yuliana Nona, Community Development Landscape Rungan dari BNF, mengungkapkan, identifikasi pangan itu berguna untuk promosi pangan lokal, bagian dari advokasi pangan oleh komunitas, dan meyakinkan masyarakat untuk kembali menanam benih lokal karena sudah teruji ratusan tahun lamanya oleh para leluhur Dayak.
”Ini bentuk dokumentasi yang dilakukan oleh masyarakat langsung. Ini juga ajang curhat para petani dari berbagai DAS di Kalimantan Tengah,” kata Nona.
Dari sisi ancaman sumber pangan, pertambangan dan perkebunan mendominasi keluhan para petani yang hadir. Abner (60) dari Rakumpit mengungkapkan, banyak hutan di sekitarnya yang berubah fungsi menjadi pertambangan, perkebunan, dan kawasan perusahaan kayu. Hal itu yang membuat dirinya, juga pendahulunya, hidup berpindah seiring dengan makin sempitnya lahan.
Sejatinya, pangan tidak hanya memberikan kesehatan untuk masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis.