Puluhan Hektar Lahan di Lereng Toba Terbakar, Mitigasi dan Konservasi Belum Berjalan
Mitigasi bencana dan konservasi sesuai rekomendasi ke-5 dan ke-6 UNESCO saat menetapkan Danau Toba sebagai ”geopark” belum berjalan. Puluhan hektar lerengnya kembali terbakar.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sedikitnya 30 hektar lahan di lereng Danau Toba, tepatnya di Desa Turpuk Malau, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, terbakar, Senin (30/5/2022). Hingga Senin malam, upaya pemadaman masih berlangsung. Total lebih dari 60 hektar lahan yang terbakar di lereng Toba selama Mei ini.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Samosir Sarimpol Simanuhuruk, yang dihubungi dari Medan, mengatakan, kebakaran di Desa Turpuk Malau itu terjadi sejak Minggu (29/5/2022) sekitar pukul 10.00 WIB. BPBD bersama Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Samosir dan tim pemadam kebakaran hutan Manggala Agni telah turun ke lokasi memadamkan api.
Namun, pemadaman terkendala kecepatan angin yang tinggi dan lokasi kebakaran yang berada di lereng pegunungan sehingga sulit dijangkau. Pemadaman pun hanya bisa dilakukan secara manual saat angin tidak kencang. ”Kalau ketinggian api sudah mencapai 3 meter, kami tidak berani mendekat. Namun, mudah-mudahan bisa kami padamkan segera,” kata Sarimpol.
Sarimpol menyebutkan, pihaknya belum mengetahui penyebab kebakaran. Dugaan yang muncul, selain karena cuaca kering, ada penggembala yang membuang puntung rokok. Dugaan lain, ada orang yang hendak membuka lahan dengan membakar, tetapi tidak bisa mengendalikan api sehingga merembet ke mana-mana.
Berdasarkan video yang diterima Kompas, pemadaman kebakaran hanya dilakukan dengan memukulkan dahan-dahan pada api secara manual. Para petugas pun tidak dilengkapi peralatan yang memadai.
Kebakaran juga terjadi di kawasan Sigulatti, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, tetapi sudah bisa dipadamkan. Menurut Sarimpol, kebakaran lahan di lereng Danau Toba di Kabupaten Samosir sudah mulai terjadi secara sporadis pada awal Mei. Daerah yang kebakarannya masif berada di Kecamatan Harian Boho dan Sianjur Mula-Mula dengan luasan mencapai 50-60 hektar. ”Ada juga di kecamatan lain, tetapi tidak besar,” katanya. Kebakaran bisa padam karena masih ada hujan.
Pegiat lingkungan Danau Toba, Wilmar Simandjorang, mengatakan, sebagai destinasi internasional dan kawasan strategis nasional, semestinya Danau Toba memiliki mitigasi bencana dan peralatan pemadam kebakaran yang memadai. Hal ini termasuk penyediaan helikopter untuk memadamkan api. Kebakaran di lerengnya hampir setiap tahun terjadi. Tindakan antisipatif dan preventif sejatinya jauh lebih baik daripada reaktif dengan hasil tidak optimal karena lereng-lereng sudah gosong.
Aspek mitigasi dan konservasi tercantum dalam rekomendasi ke-5 dan ke-6 Dewan Geopark Global Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk peningkatan kualitas Geopark Toba. Hal itu diamanahkan saat Danau Toba ditetapkan sebagai anggota Global Geopark Network pada 16 Juli 2020.
Rekomendasi ke-5 Dewan Geopark Global UNESCO meminta Tim Geopark Toba meningkatkan strategi dan kegiatan pendidikan untuk memfasilitasi mitigasi bencana alam dan perubahan iklim di sekolah serta untuk penduduk setempat. Sementara rekomendasi ke-6 berisi memperkuat Geopark Toba dalam studi penelitian, konservasi, dan promosi penduduk asli setempat serta budaya dan bahasa mereka.
Tahun depan adalah jadwal kunjungan penilai dari UNESCO hadir di Toba untuk melihat kembali predikat geopark global itu masih layak disandang atau tidak. ”Kami khawatir hal ini akan memengaruhi penilaian UNESCO pada Danau Toba,” kata Wilmar, yang juga Koordinator Bidang Edukasi, Penelitian, dan Pengembangan Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark.
Koordinator Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark Ombang Siboro mengatakan, selain ancaman kebakaran, yang patut menjadi perhatian adalah penyadapan pinus yang marak di lereng-lereng Toba selama lima tahun terakhir. Pada akhirnya pinus-pinus itu akan mati dan banyak yang sudah demikian. Kondisi itu dikhawatirkan membuat lereng-lereng Toba semakin rentan karena tidak terlindungi tegakan pinus lagi.
Wilmar mengakui, dirinya telah berupaya secara pribadi melakukan tugasnya dalam mengedukasi warga. Namun, hal itu tidak bisa berjalan maksimal, salah satunya karena kelembagaan Badan Pengelola Toba Caldera tidak berjalan baik.
Selain masalah kelembagaan, juga tidak ada dukungan anggaran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan. Ombang juga menyatakan hal yang sama. Dia melakukan pemberdayaan secara pribadi pada warga karena dirinya memang pelaku wisata di Toba.