Lolos dari Maut di Laut Berkat Karung Kerupuk
Peristiwa tenggelamnya KM Ladang Pertiwi di Selat Makassar menyisakan trauma bagi korban. Menetap di pulau terjauh membuat warga harus bersiap dengan risiko buruk saat mengarungi lautan.
Naharuddin (64) langsung menangis sesenggukan saat kerabatnya, Baharuddin (72), menyambanginya di sebuah kamar penginapan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Minggu (29/5/2022) malam. Keduanya berpelukan cukup lama sembari menangis. Istri Baharuddin tak kalah haru memeluk Naharuddin, salah satu penumpang selamat KM Ladang Pertiwi yang tenggelam di Selat Makassar.
”Kuasa Tuhan, ini mukjizat. Saya tak menyangka bisa selamat. Melihat ombak setinggi lebih dari 3 meter saat itu yang mengempas kapal, saya hampir tak percaya jika masih bisa selamat,” tutur Naharuddin.
Dia ikut dalam pelayaran KM Ladang Pertiwi yang memulai pelayaran dari Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/5/2022) petang. Saat memulai pelayaran dengan tujuan Liukang Kalmas, wilayah kepulauan Pangkep, cuaca memang tak bagus. Namun, sebagai orang pulau, Naharuddin berpikir semua akan baik-baik saja.
Kapal yang memuat berbagai barang kebutuhan pokok itu, termasuk bahan untuk pembuatan menara salah satu operator telepon seluler, terus berlayar. Keesokan harinya, Kamis (26/5/2022), sekitar pukul 08.00 Wita, kapal mengalami kerusakan mesin.
“Saat itu kapten kapal mulai membetulkan mesin. Sementara, di luar, ombak mengempas kapal. Awalnya masih ombak sekitar 1 meter. Beberapa saat diperbaiki, mesin kapal tak kunjung hidup. Di luar ombak semakin tinggi,” katanya.
Saat itu Naharuddin mulai mengambil pelampung miliknya dan bersiap untuk situasi terburuk. Dia melihat puluhan penumpang lain, terutama perempuan dan anak-anak, masih berbaring di kamar menunggu kapal membaik. Anak dan cucu Naharuddin ada di antaranya. Dia coba mengajak semua keluar, tapi umumnya memilih tetap di dalam kapal.
Baca Juga: Kapal Tenggelam di Sulsel, 17 Selamat tetapi 26 Lainnya Masih Dicari
”Tiba-tiba saat berdiri di geladak, ombak besar lebih dari 3 meter menerjang kapal. Saya spontan melompat ke laut. Saya tak tahu lagi penumpang lain, termasuk anak dan cucu saya. Di sekitar saya saat itu delapan penumpang lain juga ikut melompat. Ada yang memegang gabus, karung roti, ada yang pakai papan,” katanya.
Gempuran ombak terus-menerus membuat kapal menungging di bagian depan. Tak lama berselang, setelah melompat dan berbalik menengok ke arah kapal, dia melihat kapal itu sudah tenggelam. Menurut dia, posisi saat kapal menungging hingga tenggelam seperti adegan pada film Titanic. Bedanya, bagian tengah kapal tak patah, tetapi tenggelam utuh.
Kemalangan Naharuddin tak berhenti di situ. Pelampung yang dipakainya sebenarnya sudah tak layak sehingga sobek di laut. Saat itu dia melihat ada karung berisi kerupuk yang hanyut di dekatnya. Diraihnya karung itu dan dipeluknya sepanjang pagi hingga siang keesokan harinya, Jumat (27/5/2022), saat dia ditemukan oleh kapal TB Max bersama delapan penumpang lain.
Hampir 30 jam Naharuddin bertahan memeluk karung kerupuk itu. ”Karung kerupuk itu yang membantu saya terus mengapung hingga ditemukan. Pelampung yang saya pakai sudah robek dan tak bisa lagi berfungsi,” katanya.
Berjuang hampir 30 jam juga dilakukan Aco Marendeng (32), penumpang selamat lainnya. Jika Naharuddin bersama delapan orang lain, Aco terpisah seorang diri. Saat kapten kapal tidak berhasil memperbaiki mesin yang rusak, dia naik ke geladak dan menyampaikan kepada semua untuk bersiap-siap melompat. ”Saat itu kapal sudah oleng diempas ombak. Saya akhirnya mencabut salah satu bagian penutup di kapal yang terbuat dari fiber. Penumpang lain mengambil apa saja yang bisa digunakan,” katanya.
Saya makan apa saja yang bisa saya makan agar punya tenaga memeluk fiber.
Dengan lembaran fiber berwarna putih di tangannya, Aco akhirnya melompat saat ombak keras menghantam kapal. ”Tak sampai 5 menit setelah melompat dan balik ke arah kapal, ternyata saya lihat kapal sudah tenggelam. Saya terkejut, cepat sekali kapal menghilang dari pandangan. Memang muatannya banyak karena ada bahan untuk membuat tower,” katanya.
Aco mengingat, saat meninggalkan ruang penumpang, masih ada lebih 20 orang yang tinggal di sana. Mereka umumnya tak meninggalkan kapal karena bingung dan ketakutan.
Empasan ombak yang terus-menerus datang membuat Aco terpisah dari penumpang lain. Dia baru menyadari dirinya hanya seorang diri saat petang tiba. Sepanjang malam, dia bertahan dengan lembaran fiber dan berusaha tenang. Namun, angin yang terus bertiup kencang dan langit hitam pekat tanpa satu pun bintang sempat membuat nyalinya ciut.
”Tapi, saya berpikir, kalau panik, saya bisa mati. Saya coba menenangkan diri lalu mencari makanan yang mengapung di sekitar. Saya makan apa saja yang bisa saya makan agar punya tenaga memeluk fiber. Kapal ini memang memuat banyak barang campuran, jadi ada saja makanan mengapung yang bisa dimakan,” ujarnya.
Malam itu sebenarnya ada kapal lain yang melintas. Namun, keberadaan Aco tak terlihat. Di tengah empasan ombak, Aco terus memeluk fiber. Saat lelah, dia menempelkan lehernya pada permukaan fiber. Ini membuat lehernya luka. Pada Jumat siang, Aco melihat di kejauhan ada kapal, yang belakangan diketahui kapal TB Cipta. Dengan sisa kekuatan yang ada, dia berenang ke jalur kapal dan melambaikan tangan. Dia akhirnya diselamatkan.
Baca Juga: 14 Penumpang KM Ladang Pertiwi Diselamatkan di Selat Makassar
Liukang Kalmas adalah wilayah kecamatan yang merupakan pulau terjauh Pangkep. Bahkan, wilayah itu sebenarnya lebih dekat ditempuh dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ketimbang dari wilayah daratan Sulsel. Namun, banyak urusan yang membuat warga harus berlayar ke Paotere dan melanjutkan perjalanan darat ke Pangkajene, ibu kota kabupaten Pangkep. Waktu tempuh pelayaran dari Liukang Kalmas ke Pelabuhan Paotere sekitar 18-20 jam dalam kondisi normal.
Baharuddin, kerabat Naharuddin, adalah mantan kepala sekolah yang lebih 30 tahun menetap dan bertugas di Liukang Kalmas. Dia mengatakan, menjadi warga pulau seolah membuat semua orang harus siap bertaruh nyawa mengarungi lautan. Tantangan kian berat karena cuaca dan iklim saat ini yang sering berubah-ubah.
Dia bercerita, dulu dari Kalmas ke Paotere bisa menghabiskan waktu dua hari dua malam. Kadang cuaca buruk membuat perjalanan harus ditempuh satu minggu. Biasanya kapal harus singgah di pulau terdekat untuk mengisi persediaan makanan dan air minum yang habis atau untuk sekadar memetik kelapa. ”Sekarang lebih rawan karena angin barat sudah sulit diprediksi. Dulu tak ada angin barat di bulan Mei. Biasanya angin barat bertiup dari Oktober ke Maret,” katanya.
Itulah mengapa saat pensiun dia memilih menetap di daratan. Istrinya adalah warga Pangkep daratan. Namun, anaknya, Rahmawati, memilih menjadi guru dan mengajar di SD 13 Salitiang, Kalmas Barat. Saat peristiwa naas menimpa KM Ladang Pertiwi, Rahmawati berserta suaminya dan dua cucunya ikut dalam pelayaran itu.
Baca Juga: Membalik Nasib Pelayaran Rakyat
Sejak mendapat informasi kapal tenggelam, Baharuddin tak henti berdoa. Istrinya menangis sepanjang hari. ”Bersyukur saya mendapat kabar kalau semua selamat, tetapi masih banyak keluarga lain yang belum ketahuan kabarnya. Saya berharap semua selamat,” katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun Basarnas, kapal itu memuat 42 orang. Hingga Minggu (29/5/2022) malam, total sebanyak 31 orang telah diselamatkan sehingga tersisa 11 orang yang masih dalam pencarian tim gabungan dari berbagai instansi dan masyarakat. Kita berharap semua korban dapat ditemukan selamat.