Ruang Kreativitas Tanpa Batas dari Jabar
Kreativitas seharusnya tanpa batas. Di Jawa Barat, masalah kekinian dijembatani lewat digitalisasi.
Perubahan iklim hingga pandemi Covid-19 mengajarkan pentingnya menyediakan ruang diskusi dan produksi baru untuk menghadapi masa depan. Di Jawa Barat, masalah kekinian itu coba direspons lewat digitalisasi peran anak muda dalam memuluskan keinginan itu.
Lebih kurang 50 peserta The Assisi and Roma Roundtable 2022 menampakkan wajah berbinar setelah mendengar presentasi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Assisi, Italia, Minggu (22/5/2022). Emil, sapaan Ridwan Kamil, mengatakan, telepon genggam lebih dari sekadar alat komunikasi biasa di banyak daerah di Jabar. Selain di Assisi, dia juga datang ke Roma, 20-25 Mei 2022.
Keberadaan telepon genggam perlahan menjadi ruang diskusi tanpa sekat. Jarak, tempat, dan waktu terbukti bukan penghambat untuk berbagi dan mendapat hasil lebih baik dari sebelumnya.
”Tidak hanya lantas menjadi melek teknologi dan siap untuk perubahan lainnya, banyak orang merasakan manfaat dari hasil produksinya,” katanya.
Emil mencontohkan keberadaan teknologi pencari ikan (fish finder) yang digunakan sejumlah nelayan di pesisir Jabar selatan. Dengan teknologi itu, nelayan tidak lagi ”berjudi” dengan cuaca buruk saat mencari ikan di lautan. Lewat deteksi keberadaan plankton, nelayan tahu posisi ikan sebelum menebarkan jala.
”Hasilnya memuaskan. Nelayan bisa mendapat tangkapan lebih banyak hingga tiga kali lipat dari sebelumnya,” katanya.
Respons terhadap perubahan iklim hingga ketahahan pangan lewat digitalisasi harus diketahui banyak negara. Jika Jabar adalah sebuah negara, kami yakin adalah negara yang maju.
Setidaknya ada enam fitur, yakni fitur mencari ikan, menjual ikan, berkomunikasi, rekapitulasi tangkapan, e-dagang, dan integrasi situasi genting. Ada tombol khusus di ponsel untuk kirim sinyal ke operator.
”Saya coba ikuti petunjuknya, ternyata benar, saya dapat 1,2 ton ikan dalam tiga hari, jauh lebih banyak dari sebelumnya,” kata Ahmad, nelayan Ciwaru, Sukabumi.
Tidak hanya di laut, transfer ilmu juga dilakukan di kolam budidaya lele lewat aplikasi eFishery. Budidaya lele tidak lagi konvensional. Pembudidaya lele tinggal menekan tombol di telepon genggam, lalu pakan ikan bisa disebar. Aplikasi itu juga memudahkan pembudidaya lele untuk mencari konsumen sembari tetap berada di rumah.
Co-founder dan Chief Executive Officer eFishery Gibran Huzaifah (34) menjelaskan, tidaklah mudah membawa petani itu masuk dalam ekosistem digital. Awalnya, belum banyak petani akrab dengan perkembangan zaman.
Di awal, banyak diskusi yang dilakukan secara tatap muka di kolam lele milik petani, mulai dari membuat akun Whatsapp dan media sosial lainnya. Hasilnya perlahan memuaskan. Petani mula akrab dengan digitalisasi, termasuk pengaplikasian eFishery yang berbasis di Kota Bandung.
Suganda (50), petambak lele di Desa Kertasura, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, merasakan manfaatnya. Bersama petambak di Kelompok Ternak Lele Kersa Mulya Bakti, ia sudah menggunakan 70 unit eFishery. Setiap unit ditempatkan di kolam seluas 300-400 meter persegi.
Suganda mengatakan, eFishery bisa mempermudah pekerjaan dalam dua tahun terakhir. Alat itu membantu dia dan petambak lain memberi pakan tepat waktu. Sebelumnya, sebagian besar petambak memberi pakan dengan cara menabur pelet langsung ke kolam.
”Sekarang, lele tidak dibiarkan kelaparan. Jumlah pakan pun dapat diatur sehingga tidak terlalu banyak yang terbuang,” kata Suganda.
Baca juga :
- Belajar Wirausaha di Titik Kreativitas Kota Bandung
- Dari Terbengkalai Jadi Ruang Kreasi Penuh Aksi di Kota Bandung
Apresiasi
Steve Howard, Sekretaris Jenderal Global Foundation, organisasi nirlaba yang fokus pada beragam masalah global, mengatakan, bukan perkara mudah mencari solusi ideal untuk beragam masalah bagi 50 juta penduduk di Jabar atau mencapai dua kali lipat populasi Australia.
Dibutuhkan pendekatan progresif, termasuk transfer ilmu, melalui kemudahan teknologi. Dengan begitu, banyak orang akan menikmati kemudahan yang sama di tengah keterbatasan peluang yang ada.
”Respons terhadap perubahan iklim hingga ketahahan pangan lewat digitalisasi harus diketahui banyak negara. Jika Jabar adalah sebuah negara, kami yakin adalah negara yang maju,” katanya.
Deputy Director Organisasi Pangan Dunia (FAO) Maria Helena Semedo juga menyampaikan hal serupa. Di Roma, saat menggelar pertemuan terbatas, dia menyoroti munculnya ruang transfer ilmu lewat program Petani Milenial. Pemanfataan lahan hingga keterlibatan petani tanpa harus terkendala jarak dan waktu menjadi hal yang menggembirakan.
”Di tengah perubahan iklim dan dunia yang semakin padat, respons dan mitigasi untuk menyikapi kondisi itu sangat penting. Ruang diskusi dan penerapannya, termasuk lewat digitalisasi, harus segera diaplikasikan banyak pihak,” ujarnya.
Petani Milenial adalah program pendampingan petani usia muda di Jabar. Sejak Maret 2021, sebanyak 8.996 orang dalam rentang usia 19-39 tahun mendaftarkan diri. Sebanyak 2.240 orang diterima di gelombang pertama. Mereka didampingi Pemerintah Provinsi Jabar dan Bank Jabar Banten (BJB).
Baca juga : Petani Milenial Menyongsong Masa Depan di Cekungan Bandung
Program itu diharapkan menjadi bekal masa depan bagi sedikitnya 1,2 juta petani berusia kurang dari 40 tahun. Mereka adalah masa depan bagi ketahanan Jabar dan nasional saat petani Jabar berusia lebih dari 40 tahun mencapai 2,3 juta orang dari total 3,9 juta petani.
Ujang Margana (28), salah seorang peserta program Petani Milenial, sudah merasakan keunggulan teknologi saat mengelola 30 hektar lahan bawang merah bersama Kelompok Tani Tri Cipta di Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Bersama petani, dia kini menerapkan aplikasi tanam yang bisa mengukur kebutuhan tanaman, mulai dari kebutuhan nutrisi, curah hujan, hingga kecepatan angin. Semuanya bisa dikendalikan melalui telepon genggam.
”Jadi, sekarang saya bisa tahu tanaman mana yang butuh nutrisi. Dengan begitu, kami bisa menjaga dan meningkatkan kualitas produksi,” kata Ujang yang menjadi penjamin bagi 300 petani binaan yang mengelola lebih dari 200 hektar lahan bawang.
Dia yakin, apabila hasil produksi terus terjaga, manfaatnya bisa dirasakan banyak pihak. Ia mencontohkan pada 2016 pernah terlibat membuat stabilitasi harga bawang nasional.
Saat itu, harga bawang di pasar menyentuh Rp 120.000 per kilogram. Bukannya mencari untung, ia justru menyanggupi permintaan pemerintah menggelontorkan 5.000 ton bawang ke pasar.
”Alhamdulillah, harganya turun, pasokan aman. Kami berpikir masalahnya bakal tambah panjang untuk petani jika masuk bawang impor,” katanya.
Pilihan itu terbukti berbuah manis. Pendapatan Ujang tidak berkurang. Dia kini bahkan mendapat Rp 30 juta per bulan dari penjualan bawang yang stabil. Fakta pendapatan yang menjanjikan itu, katanya, berhasil menarik banyak petani muda kembali ke kebun.
Ke depan, Emil berharap semakin banyak ruang diskusi dan produksi yang bisa terus muncul lewat penerapan teknologi. Dia menyebut, semuanya menjadi penting agar banyak orang punya kesempatan sama memitigasi beragam perubahan dunia. Peran anak muda sangat penting untuk menjembatani hal itu.
”Idealnya, untuk mengatasi 100 masalah dibutuhkan 100 aplikasi. Keterlibatan anak muda hingga penerapan teknologi diharapkan bisa membuat semakin banyak orang mendapat banyak hal baik di kemudian hari,” katanya.
Dialog berujung aksi nyata akar rumput menjadi solusi yang terus ditunggu untuk diterapkan banyak pihak. Kelak, jarak, ruang, dan waktu bakal menjadi hal yang semakin langka. Ragam cara harus disiapkan sejak dini untuk mengatasinya.
Baca juga : Petani Milenial, Tunas-tunas Muda dari Jawa Barat