17 Orang Ditetapkan sebagai Tersangka Penganiayaan, Buntut Sengketa Lahan di Karo
Polres Karo menetapkan 17 tersangka penganiayaan dan pembakaran sepeda motor yang berawal dari sengketa lahan antara masyarakat dan PT Bibitunggul Karobiotek di Karo. Sengketa lahan diminta segera diselesaikan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kepolisian Resor Karo, Sumatera Utara, menetapkan 17 tersangka dalam kasus penganiayaan serta pembakaran sepeda motor dan warung, buntut sengketa lahan antara masyarakat dan PT Bibitunggul Karobiotek di kawasan Siosar, Kabupaten Karo. Sengketa lahan diminta segera diselesaikan karena konflik itu sudah berkepanjangan.
Kepala Kepolisian Resor Karo Ajun Komisaris Besar Ronny Nicolas Sidabutar, Selasa (24/5/2022), mengatakan, 16 tersangka merupakan pegawai dan petugas keamanan dari PT Bibitunggul Karobiotek (BUK) dan seorang lainnya dari masyarakat. ”Semua tersangka sudah ditahan di Kepolisian Daerah Sumut,” kata Ronny.
Hasil penyelidikan kepolisian, kata Ronny, suasana panas sudah terjadi beberapa pekan terakhir antara masyarakat dan PT BUK. Puncak bentrokan terjadi saat pekerja dari PT BUK melakukan pembersihan lahan dengan alat berat di kawasan wisata Puncak 2000 Siosar di Desa Sukamaju, Kecamatan Tigapanah, Selasa (17/5/2022).
Masyarakat yang melihat aktivitas itu tidak terima karena lahan itu masih dalam sengketa perdata di pengadilan. Masyarakat pun meminta pembersihan lahan dihentikan. Saat kedua pihak berhadap-hadapan, bentrokan pun pecah. Sebanyak tiga orang dari pihak warga dan satu pegawai perusahaan terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit.
Selain korban luka, sejumlah warung dan 12 sepeda motor milik warga juga dibakar pegawai perusahaan. Satu mobil milik warga juga dirusak.
Lloyd Reynold Ginting, perwakilan masyarakat Siosar, mengatakan, mereka meminta otak penganiayaan dan pembakaran harta benda itu diusut tuntas oleh kepolisian. Menurut dia, tindakan kekerasan itu tidak terjadi spontan, tetapi direncanakan. ”Siapa pun otak di balik kekerasan ini harus diproses hukum,” katanya.
Lloyd mengatakan, saat ini warga sedang mengajukan gugatan perdata atas sengketa lahan tersebut di Pengadilan Negeri Kabanjahe. Mereka menggugat perdata sertifikat HGU Pertanian Nomor 1 Tahun 1997 atas lahan seluas 89,5 hektar. Ada tiga warga yang menggugat tanah seluas 20 hektar di antara HGU itu.
Masyarakat juga menolak penguasaan 250 hektar lahan di sekitar HGU oleh PT BUK. Menurut Lloyd, kawasan itu adalah tanah ulayat masyarakat berupa hutan adat.
Pengacara PT BUK, Teo Sembiring, mengatakan, mereka berharap penyidik melihat kasus itu secara menyeluruh. Menurut dia, bentrokan terjadi secara spontan karena masyarakat mendatangi mereka dengan membawa parang. ”Saat melakukan pekerjaan pembersihan lahan, puluhan masyarakat mendatangi kami. Ibu-ibu juga dikerahkan untuk menghentikan pekerjaan kami hingga terjadi bentrok,” kata Teo.
Menurut Teo, mereka mempunyai alas hak berupa sertifikat HGU Pertanian Nomor 1 Tahun 1997 dari Badan Pertanahan Negara (BPN) atas lahan seluas 89,5 hektar. Oleh karena itu, PT BUK akan mendirikan taman wisata di kawasan itu. Pekerjaan pembersihan lahan itu untuk pembangunan taman wisata.
Teo menyebut, warga sudah pernah menggugat BPN atas penerbitan surat keputusan HGU itu ke pengadilan tata usaha negara. Menurut Teo, gugatan masyarakat ditolak dari tingkat pertama hingga kasasi.
Teo menyebut, beberapa waktu terakhir konflik sudah mulai memanas. Masyarakat menanam pisang di lokasi tersebut. Adu mulut pun sudah beberapa kali terjadi sebelum akhirnya pecah bentrokan.