Lima ”Jalur Tengkorak” Penebar Nestapa di Jalan Raya
Jalan raya sebagai urat nadi kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi adalah keniscayaan. Di sisi lain, risiko dan bahaya berujung maut mengiringi mobilitas di jalan raya.
Jalan raya adalah urat nadi kehidupan manusia di era modern ini. Di seluruh dunia, keterasingan di antaranya dipangkas oleh infrastruktur jalan raya yang memiliki dimensi sosial, budaya, dan tentunya ekonomi. Di Indonesia, pada libur Idul Fitri 2022 ini, berjuta-juta manusia merengkuh kebahagiaan bersama keluarga, di antaranya karena keberadaan jalan raya.
Namun, jalan yang mengantarkan kecepatan dan kebahagiaan ternyata juga memiliki sisi kepedihan akibat kecelakaan yang merenggut nyawa atau luka-luka mereka yang melintas. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2016, jumlah kematian pengguna jalan terbanyak ada di India, Amerika Serikat, dan Indonesia. Berikut ini lima lokasi jalan raya di sejumlah kota di Nusantara yang dikenal sebagai jalan penebar nestapa.
Simpang Muara Rapak
Salah satu jalur paling rawan kecelakaan di Kota Balikpapan adalah Simpang Muara Rapak, Kecamatan Balikpapan Utara. Setidaknya terjadi 14 kecelakaan di simpang lima ini sepanjang 2009-Januari 2022.
Terakhir, kecelakaan maut Jumat (21/1/2022). Truk tronton menabrak belasan kendaraan di jalan menurun saat lampu merah menyala. Sebanyak 34 orang menjadi korban, 16 orang di antaranya dirawat inap, 14 pasien rawat jalan, dan 4 orang meninggal.
Sopir truk dijadikan tersangka lantaran diduga lalai. Telaah Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), rem tak bermasalah. KNKT juga menemukan sejumlah modifikasi pada mobil. Setelah kecelakaan maut itu, Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud melarang angkutan barang dengan berat lebih dari 10 ton melintas di dalam kota pada pukul 05.00-22.00 Wita. Tujuannya agar warga tak beririsan dengan kendaraan berat saat beraktivitas di siang hingga sore hari.
Baca juga: Perencanaan Mitigasi untuk Cegah Kecelakaan Maut Balikpapan Berulang
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Kaltim Faisal Tola menyebut, pembatasan ini sempat membuat distribusi kebutuhan pokok dan barang penting dari luar Kaltim tersendat. Namun, ia memahami kondisi itu sambil terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mencari solusi terbaik.
”Kita cari win-win solution. Ini harus ada kebijakan yang tidak boleh merugikan keselamatan warga, juga tidak mengganggu suplai kebutuhan pokok,” kata Faisal melalui telepon, Senin (23/5/2022).
Selain pembatasan jam operasional kendaraan besar, pemerintah daerah dan pusat juga merekayasa rute. Pada pagi hingga sore, kendaraan berat diarahkan melalui Jalan Tol Balikpapan-Samarinda. Pembangunan fly over di Simpang Muara Rapak juga menjadi opsi. Namun, pembangunan ini urung terwujud lantaran belum ada alokasi dana dari pusat.
Pasca-kejadian, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menyiapkan langkah jangka menengah dan panjang. Pemerintah menyiapkan zona penyangga mengurangi mobilitas kendaraan berat di Muara Rapak.
Konsepnya, kendaraan berat tak lagi melintas di jalur menurun Muara Rapak. Muatan kendaraan berat akan dialihkan ke kendaraan lebih kecil untuk diangkut ke tujuan selanjutnya. Selain itu, ada opsi pembangunan jalan layang di Simpang Muara Rapak.
Hal itu perlu disiapkan matang. Sebab, saat Ibu Kota Negara Nusantara di Penajam Paser Utara mulai dibangun kelak, Kota Balikpapan bakal menjadi salah satu jalur logistiknya. Praktis, mobilitas kendaraan besar akan semakin sibuk. ”Kita harapkan penanganannya komprehensif. Mengutamakan keselamatan pasti, tetapi ekosistem perekonomian dan lain sebagainya jangan sampai terganggu,” kata Budi.
Jalur Saradan Madiun
Jalan nasional di Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, pernah menyandang sebutan sebagai jalur tengkorak karena rawan kecelakaan. Selain frekuensinya tinggi, tingkat fatalitas pada korban kecelakaan juga signifikan.
Salah satunya kecelakaan yang menimpa rombongan buruh tebang tebu di Desa Pajaran, 23 Mei 2011. Sepuluh orang meninggal dan puluhan orang lainnya luka saat truk yang ditumpangi bertabrakan dengan bus Sumber Kencono.
Di sepanjang jalan dari kawasan hutan Saradan hingga Kecamatan Balerejo, yang panjangnya sekitar 15 km, terdapat belasan titik rawan kecelakaan, termasuk di Desa Pajaran. Namun, jumlah titik rawan kecelakaan itu berkurang drastis setelah beroperasinya Jalan Tol Trans-Jawa yang melintasi Kota Madiun hingga Saradan.
Baca juga: Tiga Orang Tewas di Jalan Tol Ngawi-Kertosono
Catatan Polres Madiun, lokasi rawan kecelakaan yang perlu diwaspadai saat ini adalah tanjakan di Desa Nampu dan kawasan hutan di Desa Pajaran. Kondisi tanjakan yang cukup tinggi kerap menyebabkan kendaraan bermuatan berat, seperti truk tronton dan truk gandeng, tidak kuat melaluinya. ”Kendaraan mundur dan terguling. Kerawanan di Desa Pajaran disebabkan kondisi jalan yang tidak terlalu lebar, bergelombang, dan banyak tikungan,” ujar Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Madiun Ajun Komisaris Firman Widyaputra, Senin (23/5/2022).
Kerawanan kecelakaan juga bisa disebabkan pengemudi ugal-ugalan. Selain itu, pengemudi yang melanggar marka jalan karena hendak menyalip kendaraan yang melaju di depannya tanpa memperhatikan keamanan dan keselamatan berlalu lintas.
Namun, menurut Firman, frekuensi kecelakaan di jalan nasional Saradan saat ini turun drastis. Kerawanan kecelakaan justru terjadi di Jalan Tol Trans-Jawa di titik Saradan. Kasus yang sering terjadi adalah tabrak belakang kendaraan kecil pada kendaraan besar yang melaju pelan.
Kecelakaan itu pun berakibat fatal pada kematian pengemudi dan penumpang yang berada di bagian depan. Adapun penyebabnya, pengemudi yang melaju dengan kecepatan tinggi dan kesulitan menguasai kendaraannya saat hendak mengerem mendadak.
Seperti kejadian pada Rabu (11/5/2022), sebuah pikap AD 8053 JF menabrak bagian belakang truk kontainer L9181 UQ di Km 633.300, Kecamatan Saradan. Dua penumpang pikap tewas pada kecelakaan yang terjadi pukul 04.35 itu.
Tanjakan Emen dan Cagak di Subang
Tanjakan Emen dan Jalan Cagak di Kabupaten Subang, Jawa Barat, menjadi salah satu titik rawan kecelakaan di jalur Subang-Bandung. Jalan menanjak, menurun, dan berkelok tersebut kerap menelan korban jiwa.
Hilmi Abdul Halim acap kali resah ketika melintasi jalur itu. ”Kekhawatiran, sih, selalu ada ya, takut tiba-tiba enggak kuat nanjak, kopling bau, atau ada kendaraan besar yang mundur ke arah kita,” ucap Hilmi yang kerap melintasi jalur itu, Senin (23/5/2022).
Tanjakan Emen berada di Kampung Dawuan, Ciater, sedangkan Tanjakan Cagak terletak di Desa Cijambe, Kecamatan Cijambe, sekitar 20 kilometer dari Tanjakan Emen. Meskipun lokasinya berbeda, kedua jalur itu memiliki medan serupa, yakni berkelok, menurun, dan menanjak serta lebar jalan tak seberapa.
Baca juga: Tanjakan Emen: Alarm Kecelakaan yang Terbungkus Mitos
”Makanya kalau lewat situ ancang-ancangnya yang jauh kalau mau menanjak ke arah Tangkubanparahu. Kalau mau turun, paling nurunin gigi ke yang rendah tanpa menginjak gas. Sesekali injak rem. Jangan injak rem terus kalau turunan panjang, nanti (rem) bisa blong,” ungkap Hilmi, warga Pabuaran, Subang.
Pada Oktober 2012, bus Dian Mitra berisi 20 wisatawan asing terguling di Tanjakan Emen. Empat penumpangnya meninggal. Setahun sebelumnya, jalur itu juga menewaskan empat orang, tiga di antaranya warga negara asing. Juni 2014, bus pengangkut rombongan SMA Al-Huda, Cengkareng, Jakarta Barat, kecelakaan di sana. Sembilan orang meninggal akibat sopir yang kelelahan, cuaca, dan kontur jalan.
Pada 10 Februari 2018, bus pembawa rombongan anggota dan pengurus Koperasi Simpan Pinjam Permata, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, kecelakaan di Tanjakan Emen. Akibatnya, 27 orang meninggal dunia. Enam orang luka berat dan 10 orang luka ringan.
Sebulan berikutnya, 12 Maret, minibus Elf kecelakaan di sana. Empat penumpang luka berat dan 12 orang lainnya luka ringan. Awal 2020, kecelakaan kembali terjadi di sekitar daerah itu. Kecelakaan tunggal bus Purnama Sari menewaskan 8 orang, 5 orang luka berat dan 15 orang luka ringan.
Pernah menjadi akses transportasi kebun teh milik Inggris, Tanjakan Emen menghubungkan kawasan wisata Gunung Tangkubanparahu dengan Ciater sumber air panas sejak zaman Belanda. Sejumlah mitos pun menyelimuti penamaan tanjakan itu. Ada yang mengatakan Emen adalah sopir pengangkut sayur yang tewas di jalur itu.
Versi lain mengungkap Emen sebagai kernet angkutan umum Subang-Bandung. Ada pula yang menyebut Emen mata-mata tentara Indonesia saat menumpas DI/TII. Namun, semua kisah berujung sama: mereka meninggal dalam kecelakaan itu. Arwahnya dipercaya gentayangan di lokasi tersebut. Apabila ingin tak diganggu, pengguna jalan melempar uang koin atau rokok menyala.
Kecelakaan berulang juga terjadi di Jalan Cagak, 45 kilometer dari Kota Bandung. Pada September 2017, minibus milik Perusahaan Otobus Widia terguling. Tiga orang tewas, 5 orang luka berat, dan 5 orang lainnya luka ringan. Awal 2017, seorang pengendara sepeda motor tewas akibat bertabrakan dengan mobil saat menikung.
Jalan Medan-Berastagi
Di Sumatera Utara, Jalan Medan–Berastagi sepanjang 60 kilometer merupakan jalan rawan kecelakaan, longsor, dan kemacetan lalu lintas. Jalan nasional itu menghubungkan Medan dengan 11 kabupaten di Sumut dan Aceh. Tanjakan terjal, tikungan tajam, dan tebing rawan longsor terdapat hampir di sepanjang jalan.
Catatan Kompas, kecelakaan lalu lintas di Jalan Medan-Berastagi masih terus terjadi. Pada Oktober 2021, minibus tertimbun material longsor di dekat tikungan PDAM Tirtanadi. Tiga orang meninggal dan arus lalu lintas tertutup total dari malam hingga pagi.
Pada Juni 2021, kecelakaan juga terjadi di tikungan itu. Tiga kendaraan terlibat kecelakaan dan menutup arus lalu lintas. Tidak ada korban jiwa, tetapi kemacetan terjadi berjam-jam.
Baca juga: Kecelakaan di Ruas Medan-Berastagi Timbulkan Kemacetan
Kerawanan Jalan Medan-Berastagi mulai terasa sejak melintasi Jembatan Sembahe, Kecamatan Sibolangit, saat dijajal Kompas, Senin (23/5/2022). Lepas dari jembatan itu, hampir sepanjang jalan merupakan tanjakan dan tikungan tajam hingga sampai ke Berastagi, Kabupaten Karo.
Kendaraan dari arah Medan memanjang beriringan di belakang beberapa truk yang berjalan lambat dengan mesin meraung. Jalan dua lajur yang sempit membuat pengendara di belakang hampir tidak bisa mendahului. Kendaraan pun beriringan hingga sampai di tikungan PDAM Tirtanadi.
Tikungan patah hampir 360 derajat dengan tanjakan terjal. Sebuah truk kontainer yang menanjak harus mengambil lajur kendaraan dari arah sebaliknya. Mendengar klakson truk dari bawah, kendaraan yang menurun berhenti, memberi jalur pada truk itu.
Baca juga: Tingkatkan Jalan Medan-Berastagi
Lepas dari tikungan, kendaraan melewati jalan sempit dengan tebing terjal hampir 90 derajat. Tebing itu yang paling sering longsor saat hujan turun. Titik lain yang cukup rawan adalah tikungan Amoi di Bandar Baru. Kendaraan yang menurun sering kali kehilangan kendali hingga menabrak pembatas jalan di tikungan itu.
Muhammad Syafii (35), sopir truk yang rutin melintasi Jalan Medan-Berastagi, mengatakan, pernah ada pembatas jalan dengan tabung berputar di tikungan itu, tetapi tak lama jebol terhantam truk. ”Saat ini, jalan di tikungan itu diperlebar dan cukup membantu,” katanya.
Maju Barus (50), sopir angkutan penumpang Sumatera Transport, mengatakan, kalau ada kecelakaan, kemacetan panjang tidak terhindarkan. ”Jalan yang biasanya bisa ditempuh dua jam bertambah hingga enam jam,” kata Maju. Belakangan, kecelakaan berkurang sejak ada pelebaran jalan di sejumlah tikungan.
Anggota Ikatan Cendekiawan Karo (ICK) Sumatera Utara, Robinson Sembiring, mengatakan, ada tiga kerawanan di Jalan Medan-Berastagi, yakni rawan macet, kecelakaan, dan longsor. ”Ada gangguan sedikit saja, kendaraan langsung menumpuk,” katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara itu mengatakan, kajian ICK Sumut, solusi jangka pendek adalah membangun jembatan layang Sembahe-Sibolangit sepanjang 2 kilometer dan Bandar Baru-Panatapan 4 kilometer. Untuk jangka panjang harus disiapkan pembangunan jalan bebas hambatan Medan-Berastagi.
Jalur yang ditawarkan yakni dari Amplas di Medan hingga ke Tigapanah, Karo, dengan panjang 45 kilometer. ”Jalur itu merupakan urat nadi ekonomi 11 kabupaten di Sumut dan Aceh dengan penduduk lebih dari 4 juta jiwa. Ini seharusnya menjadi prioritas,” katanya.
Alas Roban di Batang
Sudah lama Jalan Pantura Kabupaten Batang, terutama di wilayah Alas Roban, dikenal sebagai ”jalur tengkorak” atau jalur rawan kecelakaan. Kini, angka kecelakaan di jalan itu jauh berkurang karena arus lalu lintas mulai terpecah seiring munculnya jalan-jalan alternatif.
Terakhir, awal Mei lalu, satu pengendara sepeda motor tewas setelah tabrakan dengan bus. Juli 2016, kecelakaan maut antara bus Kramat Djati dan truk bermuatan cairan kimia menewaskan 6 orang serta menyebabkan 44 orang luka-luka. Lokasinya di wilayah Gringsing.
Baca juga: Tujuh Tewas dalam Kecelakaan di Tol Pemalang-Batang
Sebelum 1990-an, hanya ada satu jalan yang menghubungkan Batang dengan Kendal, yakni jalan pantura. Jalanan yang disebut Jalur Poncowati itu memiliki kontur berkelok dan turun-naik. Di jalan tersebut, tak terhitung nyawa melayang akibat kecelakaan.
Memasuki tahun 1997, pemerintah setempat berupaya membangun Jalan Baru. Jalanan tersebut memiliki kontur yang lebih landai dan tidak terlalu berkelok. Jalan Baru itu dikhususkan untuk kendaraan kecil, mobil pribadi, dan sepeda motor.
Tak cukup sampai di situ, upaya memecah arus kendaraan kembali dilakukan dengan membuat jalan lain yang disebut sebagai Jalan Beton. Sesuai namanya, jalanan itu terbuat dari beton. Kontur jalannya tidak berkelok seperti Jalur Poncowati ataupun Jalan Baru, tetapi landai dan lurus.
Baca juga: Tabrakan Beruntun di Cipali, Empat Tewas
Kemudian, pada 2018, arus kendaraan menjadi semakin terpecah dengan adanya tol Trans-Jawa. Hal itu membuat angka kecelakaan lalu lintas di Alas Roban Batang merosot tajam. ”Sebelum ada jalan tol, kecelakaan lalu lintas terjadi rutin, setidaknya sekali dalam sepekan. Kini, kecelakan lalu lintas tergolong jarang, paling hanya satu sampai dua kali dalam sebulan,” kata petugas jaga di Pos Luwes Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Batang Brigadir Kepala Slamet Purwanto, Selasa (24/5/2022).
Menurut Slamet, kebanyakan kecelakaan di Jalan Pantura Poncowati terjadi karena truk bermuatan berat yang terguling akibat kontur jalan yang berkelok dan turun-naik. Sementara di Jalur Baru, kecelakaan yang paling banyak terjadi adalah kecelakaan tunggal sepeda motor akibat pengendaranya kelelahan.
Adapun jalan yang paling rawan terjadi kecelakaan lalu lintas adalah di Jalan Beton. Jalanan itu rawan karena kontur jalannya landai dan lurus. ”Kalau sopirnya tidak hafal medan, bahaya karena jalurnya menurun panjang, ada kecenderungan rem diinjak terus-menerus. Hal ini memicu terjadinya rem blong,” ujar Slamet.
Yudi (37), sopir truk ekspedisi, memilih jalur non-tol yang gratis untuk menekan pengeluaran. Dengan lewat jalur non-tol, sopir yang setidaknya tiga kali dalam sepekan melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Semarang itu bisa menghemat hingga Rp 500.000 dalam sekali perjalanan pergi-pulang.
”Sekarang ini, sopir-sopir juga memilih tidak menggunakan jasa kernet agar lebih hemat. Risikonya, setiap capek harus langsung istirahat, tidak bisa gantian. Kalau sedang kejar target harus cepat sampai, waktu istirahat dipotong. Hal ini yang tidak jarang memicu kecelakaan lalu lintas,” ucap Yudi.
Dulunya, di sepanjang jalan non-tol Batang ada dua pangkalan truk yang besar. Kini, hanya ada satu pangkalan truk. Kondisi ini membuat para sopir truk terpaksa beristirahat di bahu jalan. Padahal, kondisi ini juga meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas.
Baca juga: Korban Tewas Kecelakaan Bus di Bantul Jadi 13 Orang
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno menilai, sejumlah jalur menuju area wisata, seperti Tanjakan Emen, merupakan jalan kelas III dan IV yang terbatas untuk kendaraan besar. ”Radius tikungannya tidak cocok untuk kendaraan yang lebarnya di atas 8 meter. Tapi, yang melintas bisa 12 meter,” ujarnya.
Itu sebabnya, kendaraan yang kerap kecelakaan adalah bus besar. Ia pun mendorong pemerintah mengevaluasi jalur-jalur semacam itu. ”Akses jalan ke daerah wisata banyak yang tidak mendukung untuk dilewati bus. Diperlukan pemetaan jalur wisata yang berkeselamatan. Misalnya, ada tempat penampungan bus besar sebelum ke lokasi wisata,” ujarnya.
Pada akhirnya, jalan raya adalah infrastruktur vital yang dibangun demi kelancaran penggunanya mencapai tujuan selanjutnya, bukan akhir perjalanan selamanya.