Gairah Wisata di Ujung Timur Pulau Jawa
Denyut pariwisata di Kabupaten Banyuwangi bergeliat setelah tertekan oleh pandemi Covid-19. Obyek wisata dan fasilitas penunjang kini berangsur hidup kembali.
Lambaian nyiur berpadu dengan sinar lembayung matahari mewarnai Pantai Cacalan di Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (22/5/2022) sore. Di bawahnya, ribuan wisatawan domestik asyik menikmati suasana.
Sebagian memilih menceburkan diri di bibir pantai yang ombaknya ”bersahabat”, bermain pasir, duduk-duduk dalam kelompok kecil bareng keluarga, hingga menikmati kano di ”telaga” kecil. Di kejauhan, di seberang Selat Bali, gunung-gunung di pesisir barat Pulau Dewata berdiri megah.
”Sedikitnya ada 1.500 wisatawan dalam sehari saat akhir pekan, sedangkan pada hari biasa ada 500-700 orang. Mereka berasal dari daerah sekitar sini, seperti Jember, Bondowoso, dan Situbondo,” ujar Sekretaris Kelompok Sadar Wisata Pantai Cacalan, Kelurahan Klatak, Arif Mursidi.
Arif menyebut jumlah wisatawan kini membaik setelah hampir dua tahun tertekan oleh pandemi. Selama pandemi, Pantai Cacalan, yang menjadi salah satu spot menikmati matahari terbit (sunrise), sempat tutup sebelum dibuka kembali oleh pemerintah kabupaten seiring adanya pelonggaran pembatasan sosial.
Cacalan mulai dikembangkan oleh masyarakat pada 2016. Sejak saat itu tren kunjungan wisatawan ke pantai yang berjarak sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi itu terus meningkat meski pada akhirnya guncangan pandemi sempat mengganggu semuanya. ”Saat ini dunia wisata mulai bergeliat. Apalagi saat ini pemerintah sudah membebaskan pemakaian masker di tempat terbuka sehingga masyarakat kian senang,” ucapnya.
Baca juga : Bali Kembali Menari
Di 65 kilometer ke arah selatan, geliat wisata juga terasa di Pantai Pancur di wilayah Kecamatan Tegaldlimo. Kunjungan wisatawan di pantai yang berada di kawasan Taman Nasional Alas Purwo itu meningkat, terutama saat Lebaran tiga pekan silam. Untuk bisa mencapai pantai yang menghadap ke Samudra Hindia ini, wisatawan memang harus menempuh jarak cukup jauh dari Banyuwangi kota. Mereka juga harus melalui lebatnya belantara.
”Saat pandemi, kalau dibilang tidak ada wisatawan sama sekali, masih ada. Cuma jumlahnya menurun. Pantai juga sempat tutup, termasuk saat Lebaran 2021. Sementara H+4 Lebaran sampai sekarang ramai terus,” ujar Rifki (20), warga Desa Kampung 10, yang lima tahun terakhir berjualan bakso di pantai itu.
Geliat dunia wisata di Banyuwangi juga dirasakan penyedia fasilitas wisata pendukung. Homestay-homestay yang sebelumnya lebih banyak kosong melompong kini mulai terisi, bahkan penuh saat akhir pekan. Agen-agen wisata juga mulai berbinar menyambut pelancong.
Wisatawan mancanegara dari Bali mengalir, mengisi slot paket-paket wisata yang sebelumnya sepi akibat Covid-19. Mereka menuju ke sejumlah obyek wisata andalan di kabupaten paling timur di Pulau Jawa itu, salah satunya Kawah Ijen yang memiliki nyala api biru yang banyak diminati.
”Okupansi penuh. Apalagi akhir pekan, kami sampai menolak tamu karena penuh. Awal puasa sudah mulai meningkat, jumlahnya tambah lagi menjelang Lebaran. Setelah Lebaran sedikit menurun lalu sekarang naik lagi,” ujar Joko Subagyo, pemilik Didu’s Homestay, Dusun Watu Ulo, Desa Rejosari, Kecamatan Glagah. Didu’s Homestay memiliki sembilan kamar dan saat ini penuh terisi.
Menurut Joko, yang juga Ketua Perhimpunan Rumah Inap Banyuwangi, wisatawan asing mulai datang ke Banyuwangi satu bulan terakhir. Awalnya hanya satu dua orang, lalu jumlahnya terus bertambah. Pekan lalu, ada 12 wisatawan mancanegara yang menginap di homestay miliknya. Mereka pun rela tidak mendapatkan kamar demi bisa berkunjung ke Kawah Ijen.
Diakui Joko, selama pandemi, tingkat okupansi homestay di Banyuwangi merosot hingga di kisaran 10-20 persen. Jumlah ini jauh di bawah situasi normal yang mencapai 80-90 persen pada akhir pekan (80 persen pada hari biasa).
Akibat kunjungan wisatawan yang menukik tajam itulah, banyak pengelola homestay yang banting setir. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian berjualan makanan kecil, seperti martabak dan ayam geprek, serta menjalani usaha lainnya yang bisa dikerjakan. ”Bahkan, ada yang homestay-nya tutup dan rumahnya dijual,” ucapnya.
Baca juga : World Surf League di Pantai G-Land Banyuwangi di Depan Mata
Di Banyuwangi terdapat sekitar 900 homestay yang terdata di Dinas Pariwisata. Keberadaan mereka tersebar, sebagian besar di Kota Banyuwangi dan kaki Gunung Ijen, di Kecamatan Licin.
Indikasi geliat dunia pariwisata di Banyuwangi juga terlihat dari kegiatan budaya. Banyuwangi terkenal dengan festival budayanya. Menurut Joko, ritual yang sebelumnya hanya bisa digelar secara daring kini sudah bisa dinikmati kembali secara luring.
”Saat ini juga ada lomba surfing internasional (World Surf League) yang digelar akhir Mei hingga awal Juni di Pantai Plengkung (G-Land), itu juga memicu. Efeknya juga dirasakan langsung oleh pelaku wisata di tempat lain meski jaraknya cukup jauh,” katanya.
Dunia pariwisata rentan dengan isu. Isu politik dan ekonomi gampang banget memengaruhi. Apalagi wisatawan asing.
Geliat dunia pariwisata di Banyuwangi memang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pelonggaran aturan dan pembukaan obyek wisata menjadi salah satu keniscayaan untuk membangkitkan lagi dunia pariwisata yang selama dua tahun terlelap.
”Dunia pariwisata rentan dengan isu. Isu politik dan ekonomi gampang banget memengaruhi. Apalagi wisatawan asing. Kemarin isu pandemi tidak hanya membuat pelaku wisata seolah merasa seperti ’dicekik’, tetapi ’dipenggal’. Pemasukan sedikit, sedangkan biaya pemeliharaan terus mengalir,” ucap Joko.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengatakan pihaknya bersyukur dengan kondisi yang ada. Penurunan kasus Covid-19 diiringi dengan membaiknya sektor pariwisata. Tidak hanya penginapan dan obyek wisata yang kembali marak, tetapi juga kuliner.
Menurut Ipuk, geliat pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata mulai terlihat. ”Tinggal kami mengupayakan agar teman-teman perhotelan, penginapan, pelaku destinasi wisata, agen perjalanan, dan restoran konsisten terhadap protokol kesehatan sehingga wisatawan aman,” ucapnya.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mulai menggelar event-event Banyuwangi Festival. Selama bulan Mei saja sudah ada empat kegiatan yang digelar, yakni Merdeka Belajar, Tari Kreasi, Sains, dan Entrepreneur.
Selama pandemi, menurut Ipuk, dunia pariwisata di wilayahnya juga terpukul sebagaimana daerah lain yang berbasis wisata. Pembatasan-pembatasan berdampak pada sektor tersebut, termasuk penutupan pintu bagi wisatawan asing dan lockdown di negara asal.
Baca juga : Kabupaten Banyuwangi: dari Kerajaan Blambangan hingga Destinasi Wisata di Jawa Timur
”Kami membuat program untuk antisipasi agar pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi makin dalam. Membuat program berbasis ekonomi kerakyatan, kami bikin usaha mikro, kecil, dan menengah naik kelas, bantuan alat usaha bagi warga kurang mampu, bikin hari belanja (sembako) di tanggal cantik dan barangnya kita kumpulkan di satgas Covid-19 untuk dibagikan ke masyarakat terdampak,” tuturnya.
Tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Banyuwangi minus 3,58 persen, sedangkan pada 2021 naik menjadi 4,08 persen. Banyuwangi tidak hanya mengandalkan sektor pariwisata, tetapi pertumbuhan ekonominya juga didukung sektor lain, seperti pertanian dan perikanan.
Redanya pandemi Covid-19 dan pelonggaran kunjungan wisatawan kini menjadi harapan baru bagi warga di Banyuwangi, bahkan juga negeri ini. Ceruk ekonomi dari pariwisata pun bisa terisi lagi.