Masih ada sebagian warga pinggir Danau Poso mempersoalkan besaran kompensasi atas sawah terdampak PLTA Poso I di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
PALU, KOMPAS — Perwakilan sebagian petani pinggir Danau Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kembali menggelar unjuk rasa menuntut pembayaran kompensasi atas sawah dan kebun mereka yang terendam Pembangkit Listrik Tenaga Air Poso I. Demonstrasi untuk pertama kalinya digelar di Palu agar bisa bertemu Gubernur Sulteng setelah sebelumnya banyak digelar di Poso. Karena tidak bisa menemui Gubernur dan merasa penanganan masalah tersebut berbelit, dua petani mengecor kakinya dengan semen.
Unjuk rasa berlangsung di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Palu, Selasa (24/5/2022). Aksi diikuti sembilan petani yang mewakili 100 keluarga petani yang hingga kini masih menolak kompensasi sawah dan kebun yang terendam air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso I di Desa Saojo, Kecamatan Pamona Utara, milik PT Poso Energy. Aksi tersebut juga diikuti sekitar 30 mahasiswa dari berbagai elemen di Palu.
Pengecoran kaki dilakukan setelah peserta aksi damai tak berhasil bertemu dengan Gubernur Sulteng Rusdy Mastura. Rusdi tidak berada di kantor karena tengah melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Massa meminta kepastian waktu Rusdy kembali ke Palu, tetapi Tenaga Ahli Gubernur Sulteng Ridha Saleh tak bisa memberi kepastian terkait hal itu.
Dari tiga orang yang siap dicor kakinya, hanya dua orang yang bisa dicor karena keterbatasan material. Kaki kedua petani itu ditempatkan di dalam kotak kayu lapis. Kedua petani, laki-laki dan perempuan, mengenakan sepatu bot. Mereka juga memakai celana panjang. Bahan cor semen kemudian dituangkan di kotak hingga setinggi sekitar 10 sentimeter atau menutup daerah di atas pergelangan kaki. Aksi tersebut menurut rencana dihentikan setelah adanya kepastian Rusdy bisa diketemui.
”Aki pengecoran kami ini kami lakukan untuk menuntut kompensasi kepada perusahaan dan desakan kepada pemerintah untuk memfasilitasi penyelesaian masalah ini,” ujar Jefri (44), koordinator aksi yang 0,5 hektar lahannya terendam air PLTA Poso I.
Jefri menyatakan, sekitar 100 keluarga masih menolak kompensasi yang ditawarkan PT Poso Energy. Mereka yang menolak tersebar di Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, sebanyak 82 keluarga; serta Desa Peura (3 keluarga) dan Tonusu (3 keluarga) di Kecamatan Pamona Puselembah. Selain itu, 19 keluarga di Desa Pendolo, Kecamatan Pamona Timur; dan 10 keluarga di Desa Buyumpandoli, Kecamatan Pamona Barat. ”Kami kehilangan mata pencarian,” kata Jefri.
Menurutnya dia, setelah sawah mereka terendam air PLTA Poso I, petani kehilangan penghasilan dari sawah. Banyak warga tak bisa membayar utang, malahan mengutang lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Selain itu, banyak orangtua tak bisa membiayani keberlanjutan pendidikan anaknya karena ketiadaan sumber pendapatan yang selama ini jadi sandaran utama. ”Anak saya lulus sekolah mengah kejuruan tahun lalu, tetapi tak bisa lanjut kuliah karena tak ada lagi sumber penghasilan. Kami minta masalah kompensasi ini segera diselesaikan agar kami tidak tambah menderita,” tutur Roslin Langgara (49), warga Desa Meko yang sawahnya seluas 1 hektar 20 are (100 meter persegi) terendam.
Besaran kompensasi yang dituntut warga adalah sebesar 40 kilogram beras per are atau sekitar Rp 320.000 jika diuangkan dengan masa tanam empat kali, masing-masing dua musim tanam pada 2020 dan 2021.
Angka tersebut belum diakomodasi PT Poso Energy. Terakhir perusahaan menawarkan kompensasi 30 kilogram beras per are. Pada 2021, perusahaan bahkan membayar kompensasi 10 kg beras per are. Kompensasi tersebut untuk satu musim tanam.
Sekitar 266 hektar sawah dan kebun yang tersebar di 16 desa pinggir Danau Poso terendam saat dimulainya uji coba pintu air atau bendungan PLTA Poso 1 pada April 2020. Perusahaan membendung Sungai Poso yang airnya bersumber dari Danau Poso untuk pembangkit listrik. Sawah-sawah teredam sejak uji coba PLTA Poso 1. Sebagian sawah sudah bisa diolah, sebagian lagi tak bisa diolah karena air masih menggenang. PLTA Poso saat ini beroperasi penuh.
Sebagian besar petani sudah menerima kompensasi sejak tahun lalu. Sebagian menolak dan kukuh pada tuntutan besaran kompesansi mereka. Angka 40 kg beras per are untuk empat kali musim tanam itu menurut mereka tak terlalu jauh dibandingkan dengan hasil panen mereka selama ini yang 50 kg beras per are.
Ia berjanji akan memanggil Direktur Utama PT Poso Energy Achmad Kalla agar duduk bersama warga membicarakan kompensasi.
Aksi digelar di Palu untuk menagih janji Gubernur Rusdy dalam pertemuan mediasi pada Maret lalu. Ia berjanji akan memanggil Direktur Utama PT Poso Energy Achmad Kalla agar duduk bersama warga membicarakan kompensasi. Pertemuan dijanjikan digelar awal April atau sebelum Idul Fitri. Namun, hal itu tak terpenuhi sehingga petani ingin bertemu dan berdialog dengan Gubernur Rusdy.
Ridha Saleh menyatakan, pemerintah serius mendorong PT Poso Energy membayar kompesansi dengan menggelar mediasi-mediasi. Gubernur memperjuangkan aspirasi warga. Bahkan, pihaknya menawarkan solusi agar dana tanggung jawab sosial perusahaan bisa dipakai untuk menambah kompensasi sesuai yang dituntut warga.
Ia memastikan akan menyampaikan kembali ke gubernur untuk menggelar mediasi lagi dengan menghadirkan Dirut PT Poso Energy Achmad Kalla. Pihaknya akan menyampaikan kepastian waktu pertemuan tersebut.
Data berbeda
Saat dihubungi, Manajer Lingkungan, Kehutanan, dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Poso Energy Irma Suriani menyatakan, berdasarkan data perusahaan, tinggal warga Desa Meko yang kompensasinya masih diproses. Itu pun jumlah 79 keluarga, bukan 82 keluarga seperti yang diklaim peserta unjuk rasa. ”Kalau ada data lain dari mereka, saya tidak paham dari mana (data itu),” ujarnya.
Data warga yang sawah atau kebunnya terdampak didapat perusahaan dari lima indikator, yakni analisis data hidrologi dan klimatologi Danau dan Sungai Poso pada 1972-2019, studi peta topografi, peta tata guna lahan, dan peta batimetri Danau Poso. Selain itu, petugas dari perusahaan juga mewawancarai warga yang bermukim dan menggarap lahan di sempadan danau, dokumentasi pesawat tanpa awak (drone), dan citra satelit resolusi tinggi pada 2019-2022.
Ia menyatakan, klaim atau pengakuan sawah terdampak memang banyak, tetapi pihaknya berpegang pada lima indikator tersebut. Ia mencontohkan, untuk Desa Tonusu, berdasarkan data, tak ada area terdampak di daerah itu. ”Jadi, semua yang terselesaikan (pembayaran kompensasi) itu berdasarkan data kami dan warga sendiri yang bisa meyakinkan kami bahwa lahan mereka terdampak,” ujarnya.