Disebut Kasus Terbesar, Penyelewengan BBM Bersubsidi Dibongkar di Pati
Praktik penyalahgunaan BBM subsidi di Pati, Jateng, dibongkar. Masyarakat yang berhak atas subsidi dan negara dirugikan dalam kasus tersebut. Sebanyak 12 orang jadi tersangka dalam kasus yang dinilai terbesar itu.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
PATI, KOMPAS — Kepolisian mengungkap kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak subsidi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dalam pengungkapan kasus yang disebut sebagai yang terbesar itu, 12 orang yang sudah beraksi sejak 2021 ditetapkan sebagai tersangka. Selain truk dan mobil yang telah dimodifikasi, polisi juga menyita kapal tanker pengangkut BBM di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai barang bukti.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto menyebut, sepanjang 2022, Polri telah mengungkap 230 kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji bersubsidi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 335 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Dari ratusan kasus yang telah diungkap, kasus penyalahgunaan BBM di Pati merupakan yang terbesar. Dalam kasus tersebut, sebanyak 12 orang, yakni MK, EAS, AS, MT, SW, FDA, AAP, MA, TH, JS, AEP, dan S, diringkus. Mereka ditangkap di sejumlah wilayah di Pati.
”Masing-masing dari 12 tersangka memiliki peran berbeda, mulai dari sopir, pemilik gudang, kepala gudang, hingga pemodal. Mereka ditangkap di sejumlah titik di Kecamatan Margorejo dan Jakenan,” kata Agus, dalam konferensi pers di Pati, Selasa (24/5/2022).
Dia memaparkan, modus aksi kriminal mereka adalah para tersangka membeli BBM jenis solar bersubsidi dari sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di wilayah pantura Jawa Tengah dengan harga Rp 5.150 per liter. Solar itu lalu ditampung di sebuah kendaraan yang telah dimodifikasi tempat penyimpanan bahan bakarnya.
Setelah mendapatkan cukup banyak solar, para tersangka menjualnya ke pemilik gudang dengan harga Rp 7.000 per liter. Solar itu kemudian diangkut menggunakan truk tangki berkapasitas 24.000 liter dan 16.000 liter, kemudian dijual kepada nelayan.
Harga yang ditawarkan untuk setiap liter Rp 10.000 hingga Rp 11.000, lebih murah dari harga solar industri di pasaran, yakni sekitar Rp 19.900 per liter. Setiap hari, komplotan itu mampu menjual hingga 15.000 liter BBM subsidi jenis solar kepada nelayan.
”Dalam peristiwa ini, kami menyita sejumlah barang bukti, seperti mobil, truk tangki, BBM jenis solar sebanyak 25 ton, dan satu kapal tanker pengangkut BBM di Pelabuhan Tanjung Priok. Kami menduga kapal yang mengangkut sekitar 499.000 liter solar itu merupakan hasil penyalahgunaan BBM bersubsidi para tersangka,” ucap Agus.
Kepada polisi, para tersangka mengaku sudah menjalankan aksinya sejak 2021. Omzet yang mereka peroleh selama ini diperkirakan mencapai Rp 4 miliar. Akibat perbuatan tersebut, para tersangka dijerat dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas, sebagaimana telah diubah dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukuman kurungan maksimal 6 tahun serta denda paling banyak sebesar Rp 60 miliar menanti mereka.
Para tersangka mengaku sudah menjalankan aksinya sejak 2021. Omzet yang mereka peroleh selama ini diperkirakan mencapai Rp 4 miliar.
”Penindakan ini merupakan upaya yang terus-menerus kami lakukan guna melindungi masyarakat dari perbuatan oknum yang menyalahgunakan BBM bersubsidi,” kata Agus.
Sementara itu, Kepala Polda Jateng Inspektur Jendral Ahmad Luthfi berkomitmen akan terus berkoordinasi dengan PT Pertamina untuk memantau distribusi hingga penjualan BBM di pasaran. ”Pemantauan distribusi dan penjualan BBM merupakan salah satu arahan penting dari Kepala Polri. Ini tentunya juga wujud pelaksanaan dari kebijakan Presiden,” tuturnya.
Executive General Manager Jawa Bagian Tengah Pertamina Patra Niaga Dwi Puja Ariestya mengatakan, penyalahgunaan dan penimbunan BBM bersubsidi merupakan tindak pidana karena sangat merugikan masyarakat dan negara. Langkah kepolisian sebagai pihak yang berwenang menindak pelaku penyalahgunaan BBM dinilai tepat.
”Tindakan (penyalahgunaan) seperti ini membuat subsidi yang diberikan pemerintah menjadi tidak tepat sasaran. Secara bisnis, Pertamina juga merugi akibat praktik penyalahgunan BBM tersebut. Penjualan BBM industri di sektor perikanan kami menurun hingga 32 persen,” kata Ariestya.
Penyalahgunaan BBM subsidi itu juga disebut Ariestya mengurangi penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sebab, para penjual BBM ilegal tersebut tidak menyetorkan PPN selayaknya lembaga penyalur BBM industri resmi.