Festival Rujak Ulek memeriahkan Hari Jadi Ke-729 Kota Surabaya. Festival ini juga bisa memelihara memori kolektif dan kecintaan rakyat terhadap kuliner tradisional yang segar dan sehat.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Beribu-ribu orang bersenggolan, berdesakan, dan bercampur dengan keriuhan suasana Festival Rujak Uleg di Jalan Kembang Jepun, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (22/5/2022) sore hingga malam. Setelah dua tahun ditiadakan karena serangan pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 2019) hajatan pesta rakyat itu diadakan lagi menyambut Hari Jadi Ke-729 Kota Surabaya.
Festival dimulai pukul 15.00. Namun, puncak acara atau peresmian oleh Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi didampingi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dimulai selepas pukul 19.00. Jalan sepanjang 700 meter dari Jembatan Merah di barat sampai gapura pecinan di timur ditutup satu jam sebelum acara dimulai sampai jelang tengah malam ketika keriuhan bubar.
Menjelang festival dimulai, beribu-ribu orang dengan pakaian khas dan unik telah datang ke lokasi. Mereka bagian dari 780 peserta festival yang merupakan perwakilan dari swasta (hotel, restoran, katering) dan pemerintah (kota, kecamatan, kelurahan, dan perangkat daerah). Mereka hilir mudik mengangkut perlengkapan dan menata meja serta rujak yang akan dihidangkan kepada publik.
Di bagian tengah Jalan Kembang Jepun didirikan panggung untuk penampilan hiburan. Di panggung juga ada cobek lingkaran berdiameter 2,5 meter dan berbobot 1,2 ton. Di dalam cobek ditaruh potongan buah, sayur, dan daging hewan. Juga kacang goreng, gula aren, garam, gula pasir, petis, asam jawa, cabai, bawang putih, bawang merah, bumbu pelengkap rujak, dan irisan lontong. Di puncak acara, Eri dan Khofifah bersama pejabat teras pemerintah mengulek bumbu dan meracik rujak yang kemudian dibagikan kepada publik yang hadir.
Beragam
Dalam festival, peserta menyajikan beragam rujak. Salah satunya, yang tentu amat digemari Arek Suroboyo ialah rujak cingur (moncong sapi). Makanan ini perpaduan cingur dengan buah, sayur, irisan lontong, tahu dan tempe goreng, dan diguyur bumbu kental yang kaya rasa. Bumbu itu perpaduan dari bahan kacang goreng, cabai, asam jawa, petis, gula aren, garam, bawang putih, dan secuil irisan pisang muda.
Juga ada rujak gobet dari buah-buahan yang diserut dan bumbu lebih encer. Buah-buahan yang biasanya digunakan untuk mambuat makanan ini ialah bengkuang, nanas, mangga, timun, jambu air, dan nangka muda. Bumbunya dari gula aren, asam jawa, terasi bakar, cabai, garam, dan air. Bumbunya encer, aneka rasa, dan membawa kesegaran.
Selain itu, rujak tolet yang notabene menggabungkan rujak cingur dan rujak gobet, tetapi tanpa sayur dan moncong sapi/kerbau. Buah-buahan yang digunakan misalnya irisan apel, mangga, belimbing, timun, bengkuang, jambu air. Bumbunya kental, yakni dari cabai, bawang putih goreng, petis, asam jawa, kecap manis, dan gula jawa. Rujak ini semakin nikmat dengan kerupuk pasir atau kerupuk upil.
Ada peserta yang menyajikan rujak manis mirip dengan rujak tolet, tetapi dengan bumbu tidak memakai petis. Ada juga yang menawarkan perpaduan kuliner berupa rujak bakso dan rujak soto yang khas daerah timur atau Banyuwangi.
Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan, Festival Rujak Uleg diadakan untuk memperingati hari jadi ibu kota Jatim itu. Tahun ini, pesta rakyat kembali diadakan karena situasi pandemi dianggap telah terkendali. Pemerintah juga melonggarkan pengetatan aktivitas sosial sehingga diperbolehkan lagi mengadakan acara berskala besar yang menghadirkan begitu banyak orang.
Wiwiek melanjutkan, festival juga bertujuan untuk melestarikan memori kolektif masyarakat tentang kuliner khas jawa timuran dan suroboyoan. Rujak diyakini telah menjadi makanan yang mengiringi peradaban warga Nusantara, termasuk di Jatim dan Surabaya. Rujak diyakini sehat meski rutin dikonsumsi. ”Kami juga ingin mendorong pengajuan rujak cingur diakui sebagai warisan budaya tak benda dari Surabaya,” katanya.
Bangkit
Eri mengatakan, Festival Rujak Uleg diadakan di Jalan Kembang Jepun atau kawasan pecinan Kya-Kya yang merupakan bagian dari area cagar budaya masa kolonial abad ke-19 dan abad ke-20. Berpuluh-puluh tahun, jalan yang membatasi Kelurahan Bongkaran dan Kelurahan Nyamplungan di Kecamatan Pabean Cantian ini dikenal sebagai kawasan perniagaan dan di waktu malam menjadi pusat jajan kuliner.
Eri berharap festival ini dapat mendorong pemulihan aktivitas ekonomi, terutama perkulineran di Jalan Kembang Jepun pada malam hari. Di awal milenium ketiga, aktivitas kuliner dikenal dengan Kya-Kya. Pada malam hari, jalan itu ditutup untuk menjadi lokasi jajan dan kuliner. Pemerintah Kota Surabaya menginginkan kehangatan dan aktivitas itu kembali lagi.
”Festival untuk kebangkitan ekonomi dari pandemi, menghidupkan lagi aktivitas di kota tua, pecinan, dan kulineran khas Surabaya,” kata Eri. Setelah festival, diharapkan aktivitas kuliner akan kembali bergairah dan berkembang untuk perputaran ekonomi. Ujungnya, memberi manfaat bagi masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan.
Festival untuk kebangkitan ekonomi dari pandemi, menghidupkan lagi aktivitas di kota tua, pecinan, dan kulineran khas Surabaya.
Eri berharap suasana festival yang dimeriahkan dengan pementasan tari dan atraksi seni budaya bisa dihadirkan ketika perkulineran di Jalan Kembang Jepun hidup dan bergairan kembali. Jika hal itu terjadi, kawasan tersebut bisa menjadi salah satu tujuan wisata, terutama kuliner, di Surabaya.
Eri akan meminta pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya merawat, membersihkan, dan menata fasad untuk lebih memperlihatkan kecantikan kawasan itu. Kedai, lapak, gerobak, atau warung kuliner yang akan buka pada malam hari perlu ditata sehingga menarik. Pemerintah akan menata instalasi dan utilitas agar kawasan terlihat resik dan teratur.