Dua Anak di Magelang Dicabuli Orang Dekat, di Rumah dan Pesantren
Dua anak dicabuli dan diperkosa di lingkungan tempat tinggalnya oleh orang dekatnya. Satu korban mengalaminya di pondok pesantren hingga sembilan kali dan seorang lainnya mengalami pencabulan di rumah.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Dua anak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, L (15) dan RP (15), menjadi korban pencabulan dan tindak pidana persetubuhan di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing. L dicabuli di pondok pesantren tempat dirinya belajar dan tinggal di Kecamatan Tempuran, sedangkan RP menjadi korban pencabulan di rumahnya sendiri di Kecamatan Secang.
Pencabulan dilakukan oleh orang terdekat. Pelaku pencabulan terhadap L adalah SA, salah seorang pengasuh pondok pesantren, sedangkan pelaku yang mencabuli RP adalah kakak iparnya, P (25), yang sejak tahun lalu tinggal satu rumah dengannya.
Tindak pencabulan terhadap L terjadi hingga sembilan kali, selama kurun waktu Agustus-Oktober 2021. Adapun RP mengalami satu kali pencabulan pada Februari 2022.
”Karena tersangka sudah sempat mengatakan akan kembali melakukannya, korban RP pun ketakutan dan langsung melaporkan kejadian ini kepada kakaknya yang tinggal di Kecamatan Windusari,” ujar Kepala Kepolisian Resor (Polres) Magelang Ajun Komisaris Besar Sajarod Zakun, Jumat (20/5/2022).
RP juga diberi uang Rp 100.000 oleh pelaku, dan diancam untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada siapa pun, termasuk dengan istrinya, ataupun kakak korban yang tinggal satu rumah dengannya.
Adapun L yang ketakutan justru membisu, dan baru melaporkan kejadian tersebut kepada orangtuanya pada Februari 2022.
Pelaku SA yang mencabuli L sudah menjadi pengasuh di pondok pesantren tersebut selama 12 tahun. Tindak pencabulan selalu dilakukan pelaku dengan modus menyuruh korban untuk membuatkan kopi atau teh yang kemudian harus diantarkannya langsung ke kamar tersangka, yang kemudian menjadi lokasi pencabulan.
Adapun RP mengalami pemerkosaan secara tiba-tiba ketika pelaku pulang ke rumah dalam keadaan mabuk pada pukul 03.00 dini hari. Ketika itu, pelaku langsung masuk ke dalam kamar, tidur di sebelah korban, dan melakukan tindak pencabulan tersebut.
Karena perbuatan itu, SA dan P dinyatakan melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2016 tentang Perubahan Kedua UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU. Dua pelaku pencabulan tersebut mendapatkan ancaman hukuman pidana minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda maksimal Rp 5 miliar.
P mengatakan, tindak pencabulan tersebut dilakukannya saat dia berada dalam kondisi mabuk. Namun, dia pun mengakui bahwa sebenarnya dia sudah memendam rasa suka terhadap korban sejak dirinya tinggal bersama dengan istri, mertua, dan korban, pada Juli 2021.
Situasi apa pun yang dihadapi korban, keluarga diharapkan berperan memberikan dukungan.
Kepala Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Magelang Akhmad Liana Amrul Haq mengatakan, pelecehan seksual, tindak pencabulan, pasti meninggalkan bekas, dampak psikologis pada korban. Ada sebagian korban bisa melaluinya, tetapi ada pula yang tidak mampu menghadapi kenyataan, dan kemudian berimbas pada tindak merugikan atau menyakiti diri sendiri, seperti berupaya bunuh diri. Namun, situasi apa pun yang dihadapi korban, keluarga diharapkan berperan memberikan dukungan.
”Untuk kasus pelaku pencabulan yang dilakukan keluarga sendiri, dalam kasus di Kecamatan Secang, misalnya, kakak kandung yang menjadi istri pelaku pun harus berani dan siap memberikan dukungan untuk adiknya, dan tegas membiarkan suaminya diproses hukum,” ujarnya.
Kedekatan, komunikasi intensif di antara anggota keluarga juga penting dilakukan sebagai bentuk antisipasi, proteksi keluarga agar tindak pencabulan tidak terjadi. Dalam komunikasi tersebut, orangtua bisa memberikan pendidikan seksual, batasan anggota tubuh yang bisa disentuh orang lain, dan sekaligus juga memberi tahu anak-anak perempuan perihal tindakan darurat apa yang bisa dilakukan ketika batasan tersebut dilanggar.
”Lewat komunikasi intens ini, orangtua setidaknya bisa memberikan benteng awal, memberitahukan apa yang harus dilakukan putrinya untuk melindungi dirinya dari bahaya tindak pelecehan seksual,” ujarnya.