Jadi Modal Pembangunan, Wapres Ajak Masyarakat Aceh Jaga Perdamaian
Perdamaian di Aceh mesti terus dijaga karena menjadi modal untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Pemahaman terhadap moderasi beragama sebagai modal utama bangsa Indonesia pun diperlukan dalam membangun kedamaian itu.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesepakatan Helsinki, sebagai sebuah nota kesepahaman, telah menjadi kerangka bagi perdamaian yang mengakhiri konflik panjang di Aceh. Perdamaian di Aceh mesti terus dijaga. Sebab, dengan adanya kondisi damai tersebut, pemerintah pusat dapat mendorong pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
”Dengan adanya perdamaian, terlihat adanya perubahan-perubahan, termasuk intervensi pemerintah bisa membangun waduk, jalan tol, bisa mendorong pendidikan, perguruan tinggi. Saya kira (itu semua bisa terjadi) karena adanya perdamaian. Nah, itu yang harus dijaga, jangan sampai itu dirusak lagi,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat menerima Forum Rektor Aceh di Kediaman Resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 02, Jakarta Pusat, Rabu (18/05/2022).
Pada kesempatan tersebut, Wapres Amin menuturkan bahwa dalam membangun kedamaian, umat Islam di Aceh perlu diberikan pemahaman akan moderasi beragama sebagai modal utama bangsa Indonesia. Moderasi beragama yang dimaksud adalah umat Islam harus menjadi seorang Muslim kaffah, tetapi dengan tetap menjaga kesepakatan nasional di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk Kesepakatan Helsinki bagi masyarakat Aceh.
Dengan adanya perdamaian, terlihat adanya perubahan-perubahan, termasuk intervensi pemerintah bisa membangun waduk, jalan tol, bisa mendorong pendidikan, perguruan tinggi. Saya kira (itu semua bisa terjadi) karena adanya perdamaian. Nah, itu yang harus dijaga, jangan sampai itu dirusak lagi.
”Kita ingin Aceh kondusif, tapi pemahaman keislaman harus kita berikan, moderasi beragama kita itu Muslim kaffah ma’al mitsaq. Kalau daerah lain hanya satu, mitsaqul wathani (kesepakatan nasional), di Aceh mitsaqul Helsinki. Itulah moderasi di Aceh,” kata Wapres Amin.
Sebelumnya, Rektor Universitas Malikussaleh Herman Fithra menyampaikan harapan agar perdamaian di Aceh dapat abadi dan diikuti dengan keadilan serta kesejahteraan secara merata bagi masyarakat Aceh.
”Tentu kami berharap semua, masyarakat Aceh juga, perdamaian ini bisa kekal, bisa terus berjalan dengan baik. Nah, bagaimana (selanjutnya dengan) perdamaian yang sudah disepakati ini, masyarakat Aceh bisa mendapatkan rasa keadilan dan kesejahteraan. Itulah yang dituntut, jadi lebih fokus pada masalah ekonomi,” kata Herman.
Adapun terkait moderasi beragama, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon Zulkarnain menuturkan, program tersebut sudah mulai dijalankan oleh Kementerian Agama di Aceh dan memperoleh respons positif. Ia berharap pemerintah dapat lebih meningkatkan dukungannya terhadap pelaksanaan program tersebut, khususnya di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) di Aceh.
”Sejumlah program moderasi beragama yang berada di PTKIN di Aceh, ada namanya Rumoh Moderasi Beragama dan lain-lain, ini (diharapkan) semakin mendapat dukungan dari Pak Wapres melalui Kementerian Agama,” kata Zulkarnain.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut Rektor Universitas Teuku Umar Djasman J. Ma’ruf, Rektor Universitas Syiah Kuala Marwan, dan Rektor Universitas Samudra Hamdani. Adapun Wapres Amin didampingi Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika; Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Suprayoga Hadi; serta Staf Khusus Wapres Masduki Baidlowi, Mohamad Nasir, dan Masykuri Abdillah.
Bendungan dan irigasi di Aceh
Sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun banyak bendungan di sejumlah daerah. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono beberapa waktu lalu mengatakan, pembangunan bendungan akan dilanjutkan dengan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi untuk menunjang produktivitas sentra-sentra pertanian.
”Pembangunan bendungan diikuti oleh pembangunan jaringan irigasinya. Dengan demikian, bendungan yang dibangun dengan biaya besar dapat memberikan manfaat yang nyata, di mana air akan mengalir sampai ke sawah-sawah milik petani,” kata Menteri Basuki.
Biro Komunikasi Publik PUPR melalui rilis 11 Mei 2022 menginformasikan bahwa saat ini tengah dilakukan percepatan pembangunan Bendungan Keureuto di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Progres pembangunan bendungan yang termasuk dalam salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut kini telah mencapai 65,63 persen.
Bendungan Keureuto memiliki fungsi utama menampung air dari Sungai Krueng Keureuto. Sungai Krueng Keureuto tergolong dalam tipe cabang kipas dengan beberapa anak sungai. ”Terdapat enam anak sungai yang memberikan kontribusi aliran ke dalam alur Krueng Keureuto sehingga menyebabkan puncak banjir yang tinggi di daerah hilir,” kata Menteri Basuki.
Bendungan Keureuto dengan kapasitas tampung 215,94 juta per meter kubik ini dirancang untuk memiliki tampungan khusus banjir sekitar 30,39 juta meter kubik atau sebesar 501,49 meter kubik per detik sehingga mampu mengurangi debit banjir sampai dengan periode ulang 50 tahun di Kawasan Aceh Utara.
Selain itu, Bendungan Keureuto juga akan difungsikan untuk menyediakan air irigasi yang mampu mengairi lahan seluas 9.420 hektar. Lahan tersebut terdiri dari intensifikasi daerah irigasi Alue Ubay seluas 2.743 hektar dan ekstensifikasi daerah irigasi Pasee Kanan seluas 6.677 hektar.
Menurut Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera I, Heru Setiawan, Bendungan Keureuto juga akan memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat setempat. Bendungan ini akan menyediakan air baku dengan kapasitas 0,5 meter kubik per detik dan dimanfaatkan juga sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas 6,34 megawatt. ”Sehingga, secara umum, Bendungan Keureuto merupakan bendungan multifungsi yang dapat bermanfaat bagi masyarakat Aceh Utara,” kata Heru.
Bendungan Keureuto merupakan salah satu bendungan terbesar di Sumatera yang dibangun oleh Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera 1 Ditjen Sumber Daya Air sebagai upaya mewujudkan ketahanan air dan kedaulatan pangan di Provinsi Aceh. Bendungan dibangun sejak 2015 dengan biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 2,68 triliun dan dilaksanakan secara bertahap melalui empat paket.
Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air juga tengah menyelesaikan pembangunan daerah irigasi Lhok Guci Tahap II yang berada di Kabupaten Aceh Barat. Hingga saat ini progres fisik pembangunan yang termasuk dalam salah satu Proyek Strategis Nasional ini mencapai 97,02 persen.
Heru Setiawan mengatakan, pembangunan daerah irigasi Lhok Guci diawali dengan pembangunan Bendungan Lhok Guci pada 2004-2008 yang dilanjutkan dengan pembangunan saluran pada tahun 2008-2015. Berikutnya, proyek dilanjutkan menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional dengan penyelesaian tahap I pada 2015-2017.
Setelah itu pembangunan memasuki tahap II pada 2018-2020. Meskipun ada refocusing anggaran akibat pandemi Covid-19, pembangunan tahap II daerah irigasi Lhok Guci dengan nilai kontrak Rp 255,5 miliar terut dilanjutkan dan ditargetkan selesai tahun 2022.
Pada tahun 2020 daerah irigasi Lhok Guci telah difungsikan secara bertahap mulai musim tanam Oktober 2020-Maret 2021 untuk mengairi sawah seluas 400 hektar. ”Kemudian tahun-tahun berikutnya akan ditingkatkan lagi fungsionalnya sehingga nantinya petani di Kabupaten Aceh Barat bisa mendapatkan suplai air dengan baik untuk mendukung Gerakan Aceh Mandiri Pangan yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Aceh,” kata Heru.
Di Provinsi Aceh, selain daerah irigasi Lhok Guci, juga terdapat jaringan irigasi lain yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, yaitu daerah irigasi Jambo Aye Kanan. Setelah rampung, kedua jaringan irigasi tersebut nantinya akan mengairi area dengan total luas 21.570 hektar. Selain mewujudkan program pemerintah dalam swasembada pangan, pembangunan jaringan irigasi ini juga bertujuan mengembangkan pola pertanian maju dan meningkatkan taraf hidup masyarakat petani sekitar.