Indeks Integritas di Bawah Nasional, Sumsel Diminta Benahi Sistem Antikorupsi
Indeks integritas Sumatera Selatan masih jauh di bawah indeks rata-rata nasional. Kondisi ini harus menjadi pelecut bagi penyelenggara negara di Sumsel untuk segera membenahi sistem dan membangun kultur antikorupsi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat menghadiri Rapat Koordinasi dan Dengar Pendapat Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Tahun 2022 di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (19/5/2022).
PALEMBANG, KOMPAS — Indeks Integritas Sumatera Selatan masih jauh di bawah indeks rata-rata nasional. Kondisi itu harus dijadikan pelecut para penyelenggara negara di Sumsel agar segera membenahi sistem dan membangun kultur antikorupsi pada setiap jajarannya.
Hal ini dipaparkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat menghadiri Rapat Koordinasi dan Dengar Pendapat Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Tahun 2022 di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (19/5/2022). Hadir dalam acara tersebut kepala daerah kabupaten dan kota se-Sumsel serta pimpinan lembaga dan kementerian di Sumsel.
Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021 hasil kerja sama KPK dengan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks integritas di Sumsel masih pada angka 70,65 atau berada di urutan ke-14 dari 34 provinsi. Angka tersebut masih jauh dari rata-rata indeks integritas nasional di angka 72,4.
Indeks integritas Sumsel bahkan masih jauh di bawah angka yang dicapai sejumlah provinsi di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Barat dengan angka 75,44 dan Kepulauan Bangka Belitung yang mendapatkan nilai 71,51.
Firli mengatakan, survei integritas digelar untuk mengukur tingkat risiko korupsi di suatu kementerian, lembaga, pemerintah pusat, dan pemerintahan di daerah. Mengacu pada angka dalam indeks ini, Firli berharap ada perbaikan sistem di Sumsel untuk mencegah tindak korupsi pada setiap penyelenggara negara hingga di jajaran terbawah.
Mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin (paling kanan di layar) mengikuti sidang dakwaan atas perkara dugaan korupsi pembangun Masjid Raya Sriwijaya dan hak pembelian gas bumi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Kamis (3/2/2022).
Firli menuturkan, ada beberapa faktor penyebab korupsi yang biasanya didorong oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, sanksi bagi pelaku korupsi yang rendah, dan kurangnya integritas. Adapun faktor eksternal dipengaruhi buruknya sistem yang membuka ruang bagi orang yang ada di dalamnya untuk melakukan korupsi. ”Karena itu perbaikan secara menyeluruh harus dilakukan agar tidak ada lagi ruang untuk korupsi,” kata Firli.
Tindak korupsi bisa terjadi dalam berbagai tahapan kebijakan penganggaran, mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, hingga evaluasi (auditing). Dalam hal perencanaan, sejumlah kasus korupsi yang sudah diungkap KPK melibatkan penyelenggara negara. Ia mencontohkan kasus oknum lembaga eksekutif dan legislatif yang sudah melakukan kesepakatan untuk korupsi sebelum anggaran itu disahkan. ”Ada istilah uang ketok palu dan uang pokok pikiran. Disadari atau tidak, itu adalah bentuk dari korupsi,” ucap Firli.
Bahkan pada tahap evaluasi, ada oknum eksekutif yang sengaja menyuap Badan Pemeriksa Keuangan agar laporan keuangannya diterima dan mendapat gelar Wajar Tanpa Pengecualian. Ada lagi, korupsi jual beli jabatan atau izin tambang, dan sebagainya.
Cara mengendus kemungkinan adanya korupsi juga bisa dilihat dari sejumlah indikator. Misalnya, dari pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi, dan relevansinya dengan angka kemiskinan. ”Apabila ada daerah yang pertumbuhan ekonominya dan pendapatan asli daerah-nya tinggi, tetapi angka kemiskinannya juga tinggi. Tinggal telusuri di mana kebocorannya?” ujar Firli.
Untuk Sumsel, lanjut Firli, angka kemiskinannya sekitar 12,56 persen atau jauh di atas tingkat kemiskinan nasional 10,14 persen. Padahal pertumbuhan ekonomi Sumsel cukup tinggi, yakni sekitar 5,15 persen pada triwulan I tahun 2022. ”Dari data ini, kita harus cari di mana masalahnya?” ucapnya.
Dari keseluruhan pemerintahan daerah di Indonesia baru tiga persen yang mengajukan pemetaan risiko korupsi. (Tumpak Haposan Simanjuntak)
Menurut dia, untuk menekan angka kemiskinan tumbuhnya investasi harus didorong. Agar investor mau menanamkan modal di daerah perlu dibangun iklim investasi yang baik, salah satunya kemudahan izin dan tidak adanya pungutan liar.
Pembenahan sistem
Firli mengingatkan, KPK dan instansi terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), akan terus membangun sistem yang tidak ramah terhadap korupsi. Pemberantasan korupsi membutuhkan sebuah orkestrasi untuk menciptakan sistem integritas nasional.”Namun, jika ada yang tetap melakukan korupsi, dan cukup alat bukti, akan tetap diberikan sanksi tegas tanpa memandang status,” kata Firli.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Ratusan pegawai Pemerintah Kota Palembang mengikuti apel pagi di Pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang, Sumatera Selatan Senin (9/5/2022). Cuti bersama Lebaran yang baru saja usai diharapkan dapat melecut semangat para pegawai pemerintah untuk bekerja lebih baik lagi melayani masyarakat.
Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tumpak Haposan Simanjuntak berpendapat, pemberantasan korupsi harus dimulai dengan membenahi kultur, terutama pada orang yang berada dalam sistem. Dia mengakui masih ada kultur yang menganggap korupsi sudah menjadi sebuah tradisi.
Fenomena itu harus diubah dengan memperkuat sistem dan integritas setiap orang yang terlibat dalam sistem. Misalnya, tidak menerima uang dari sumber yang tidak jelas, kurangi pertemuan secara langsung, apalagi melakukan transaksi ilegal.
Agar hal itu dapat diterapkan perlu ada perbaikan sistem, seperti penerapan digitalisasi penyelenggaraan pemerintahan, pemetaan potensi terjadinya korupsi, dan penciptaan manajemen aparatur sipil negara yang baik.
Nyatanya dari keseluruhan pemerintahan daerah di Indonesia baru 3 persen yang mengajukan pemetaan risiko korupsi. Tumpak berharap seluruh pemerintah daerah segera memetakan risiko korupsi tersebut agar sistem antikorupsi bisa dibenahi bersama.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Inspektur Jenderal Kemendagri Tumpak Haposan Simanjuntak.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengakui permasalahan mendasar dalam pembenahan sistem antikorupsi adalah kemampuan sumber daya manusia dan infrastruktur. Menurut dia, perlu ada pendampingan dan juga arahan dari pihak yang berkompeten agar pelaksanaan pemerintahan bisa berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dari sisi infrastruktur, belum semua daerah memiliki anggaran atau sarana yang memadai untuk menjalankan sistem terintegrasi itu. Misalnya saja, terkait ketersediaan internet, tidak semua daerah mempunyai jaringan internet yang memadahi. Namun dia berkomitmen membenahi sistem antikorupsi agar dapat menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi.