Diempaskan hingga Patah Tulang, Pelajaran Berharga dari Si Hewan Besar
Kehati-hatian dan ketenangan menjadi kunci keberhasilan dalam menuntaskan pekerjaan. Demikian pula dalam hal pemasangan GPS pada gajah. Pengalaman mahout dibanting gajah hingga patah tulang menjadi pembelajaran.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022).
Kisah mengerikan pada September 2017 tak akan pernah terlupakan oleh mahout gajah asal Way Kambas, Lampung, Nazaruddin (56). Nyawanya hampir terenggut setelah menembakkan bius pada seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Jambi. Peristiwa itu menjadi pelajaran berharga bagi Nazaruddin untuk lebih berhati-hati dalam pembiusan selanjutnya.
Sembari mempersiapkan alat untuk membius dua gajah sumatera di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022), Nazaruddin menceritakan kisah menegangkan yang pernah ia alami saat membius gajah di Jambi pada 2017. Saat itu, Nazaruddin diberi tugas untuk memasang kalung sistem pemosisian global (GPS) pada seekor gajah jantan. Berbekal pengalamannya membius sejak 30 tahun lalu, dia merasa semua akan baik-baik saja.
Namun, perkiraan itu salah besar. Kejadian mengerikan malah menimpanya saat sang gajah jantan yang dibiusnya berbalik ke arahnya. Melihat kemarahan sang gajah, Nazaruddin mencoba menyelamatkan diri. Namun, kakinya tersangkut pada kayu dan akhirnya Nazaruddin tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan perkasa, gajah jantan mendatanginya. Kaki kiri gajah berada di selangkangan Nazaruddin dengan belalai yang siap untuk membanting. Di tengah kepasrahan, dia menatap mata gajah dan membatin. ”Apabila selama ini saya salah, saya siap (mati). Tapi jika saya diberikan kesempatan untuk menyuarakan konservasi gajah, saya akan mengabdi sampai ajal menjemput,” janji Nazaruddin pada gajah di hadapannya.
Nazaruddin (kanan) bersama gajah yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang, Sabtu (9/6/2018).
Keajaiban pun terjadi. Sang gajah mengangkat belalainya, mengempaskan Nazaruddin, dan berlalu begitu saja. Setelah gajah menjauh, Nazaruddin yang mengalami patah tulang di kaki dan tangan kirinya segera dievakuasi oleh petugas lain ke rumah sakit.
Alih-alih berhenti, pascasatu bulan menjalani perawatan dan dinyatakan sembuh, Nazaruddin kembali melanjutkan tugasnya sebagai mahout dan pemasang kalung GPS pada gajah di beberapa daerah dan negara. Namun, kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga baginya untuk lebih berhati-hati karena kondisi alam liar sulit diprediksi, terutama lebih peka terhadap kondisi lingkungan sekitar dan sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara yang mencolok. ”Karena memang gajah adalah satwa yang sangat peka terhadap bunyi dan gerakan,” ujarnya.
Pelajaran itu justru ia peroleh ketika melatih gajah dan mahout untuk menangani konflik di Afrika Selatan pada periode 1997-1999. Petugas di sana sangat senyap ketika bekerja di lapangan. Mereka menyadari betapa pentingnya ketenangan dan kesigapan ketika sedang bekerja. ”Tidak ada petugas yang bersuara apalagi bercanda saat bekerja,” ucap Nazaruddin.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan dan Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022).
Terkadang sikap gegabah bisa menjadi bumerang bagi tim. Hal inilah yang Nazaruddin khawatirkan pada tim pembius muda yang terkadang sudah merasa ahli, tetapi sebenarnya mereka ceroboh karena tidak memperhatikan kondisi lingkungannya. ”Sebenarnya semakin berpengalaman tim pembius, mereka akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya,” kata Nazaruddin.
Selain itu, kekompakan tim juga menjadi kunci penting dalam suksesnya pemasangan GPS. Oleh karena tim harus bersikap tenang dalam bekerja, terkadang bahasa isyarat juga perlu diterapkan. ”Dengan mengedipkan mata saja, tim sudah harus mengerti apa maksudnya,” kata Nazaruddin.
Pada misi kali ini, Nazaruddin berkolaborasi dengan dokter hewan dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Erni Suyanti Musabine. Kerja sama ini untuk memasang kalung GPS sejak 2006. Mereka pun sudah berbagi tugas sejak awal. Nazaruddin menembakkan bius, sedangkan Erni menyiapkan bius sesuai dengan takaran.
Keduanya kerap kali bertukar pikiran sebelum menjalankan misi. Tujuannya agar tidak terjadi kebingungan ketika sedang bekerja di lapangan. Hasil perbincangan itu menjadi modal untuk dapat bekerja optimal di lapangan. Persiapan ini penting lantaran peralatan yang digunakan untuk penanganan satwa liar di Indonesia belum selengkap negara lain di Afrika.
Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan dan Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa sedang memasang kalung GPS pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022).
Bahkan, beberapa kali mereka harus menginap di lapangan untuk memastikan kondisi lapangan sebelum pembiusan dimulai. Tujuannya agar mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. ”Petugas harus peka terhadap lingkungan sekitar untuk mengantisipasi segala kemungkinan,” katanya.
Setelah pemasangan GPS selesai, segala kekurangan yang terjadi di lapangan pun akan menjadi bahan evaluasi agar tidak terulang pada misi selanjutnya. Secara keseluruhan, Nazaruddin dan tim sudah mengalungkan GPS pada 30 gajah liar yang hidup berkelompok serta gajah tunggal di Indonesia dan mancanegara. Setiap gajah yang dipasangi GPS juga mereka beri nama.
Petugas harus peka terhadap lingkungan sekitar untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
Untuk di Sumsel, sudah tiga gajah yang dipasangi GPS, yakni gajah Meli (15) yang merupakan kependekan dari Mekakau Ilir, nama kecamatan tempat Meli bernaung di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Selain itu, GPS juga dikalungkan pada dua gajah betina di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir yang ia beri nama Meisy (40) dan Meilani (30).
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan Ujang Wisnu Barata berpendapat kinerja tim pemasang kalung GPS pada gajah Meisi dan Meilani sangat baik. Sistem kerja yang mereka lakukan bisa dijadikan pedoman untuk pemasangan GPS selanjutnya. Dengan keberhasilan ini, ia berharap bisa menjadi perhatian semua pihak tentang pentingnya langkah konservasi terhadap gajah sumatera di Sumatera Selatan.
KOMPAS/MOHAMAD BURHANUDIN
IRidwan (30), perawat gajah di Pusat Konservasi Gajah (PKG) di Saree, Aceh Besar, tengah membimbing Rahmat, gajah jantan berusia 30 tahun, yang merupakan satu dari 46 gajah di pusat konservasi tersebut.
Untuk di Sumsel, ada 9 kantong habitat gajah dengan 207 gajah yang hidup di dalamnya. Pemasangan GPS pada satwa sangat penting agar mereka bisa terdata dan terawasi. GPS ini bukanlah kendali jarak jauh yang bisa mengendalikan pergerakan gajah, melainkan bisa menjadi sistem peringatan dini bagi masyarakat untuk bersiap ketika ada gajah yang akan masuk.
Misalnya dengan menanam komoditas yang tidak disukai kawanan gajah, seperti cabai dan lada atau membuat patroli rutin untuk menghalau gajah yang hendak masuk ke kawasan permukiman. ”Dengan demikian, konflik warga dan gajah bisa terhindarkan,” katanya.