Menyematkan "Tanda Cinta" bagi Gajah Sumatera
Sekelompok petugas mempertaruhkan nyawa demi menyematkan "tanda cinta" kepada Gajah Sumatera berupa kalung GPS di Sumatera Selatan. Teknologi ini diharapkan menjadi tonggak awal penyelamatan gajah dari konflik.

Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan dan Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Teknologi ini digunakan sebagai upaya mitigasi konflik antara warga dengan gajah.
Sekelompok petugas mempertaruhkan nyawa demi menyematkan “tanda cinta“ kepada Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) berupa kalung sistem pemosisi global (GPS) di Sumatera Selatan. Teknologi ini diharapkan menjadi tonggak awal penyelamatan gajah dari beragam risiko konflik.
Sembari memegang senapan bius bermerek capchur di tangan kanannya, Nazaruddin berjalan cepat menuju delapan ekor gajah sumatera yang tengah lahap menyantap ilalang di Kawasan Simpang Heran, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Sesekali, Nazaruddin berjalan pelan sembari menyelinap di balik rimbunnya ilalang agar keberadaannya tidak diketahui kawanan. Ketika jaraknya tinggal 10 meter dari kawanan gajah, Nazaruddin pun melepaskan sekali tembakan. Duaarr....
Kaget dengan suara tembakan, kedelapan ekor gajah itu pun menggeru dan berlari masuk ke hutan akasia yang merupakan area konsesi Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas. Siring bius pun menancap di bokong gajah target yang diberi nama Meilani (40). Geruan suara gajah itu menjadi penanda bagi tim lain untuk segera mendekat.
Sebelum misi ini dieksekusi, petugas yang terlibat sudah dibagi menjadi beberapa grup. Tim pertama bertugas menembakkan bius ke gajah target bersama dengan sang penembak. Sementara tim kedua adalah dokter hewan dan petugas yang membawa peralatan yang dibutuhkan, termasuk kalung sistem pemosisi global (GPS) dengan bandul seberat hampir 20 kilogram (kg).
Adapun tim ketiga bertugas untuk mengamankan situasi di sekitar Meliani, selama tim pertama dan kedua sedang bekerja. Tim ini pun dilengkapi dengan meriam karbit yang sesekali ditembakkan untuk menghalau kawanan gajah yang mencoba mendekat ke arah Meilani.
Baca Juga: Tekan Konflik dengan Manusia, Gajah Liar Sumsel Dipasangi Kalung GPS

Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Teknologi ini digunakan sebagai upaya mitigasi konflik antara warga dan gajah.
Sebelumnya Nazaruddin sudah berpesan bahwa gajah merupakan satwa yang setia. Mereka tidak akan meninggalkan anggota kawanannya yang tertinggal.
“Pasti gajah yang lain tidak akan pergi jauh dari gajah yang tertinggal. Mereka akan menyusup di antara pohon akasia untuk melihat keadaan kawannya,“ kata Nazaruddin yang sudah 38 tahun merawat gajah.
Selain itu, ujar Nazaruddin, gajah juga merupakan satwa yang sangat sensitif terhadap gerakan dan suara. Oleh karena itu, jangan pernah membuat gerakan yang mengagetkan gajah. Mereka akan menilainya sebagai sebuah ancaman.
Masukan itulah yang menjadi bahan bagi Ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa (PJHS) Syamsuardi, sang koordinator misi dalam menyusun strategi. Bahkan, sebelum pengalungan GPS dilakukan, ia telah membentuk tim mitigasi untuk memantau pergerakan gajah tiga hari sebelum eksekusi.
Dari hasil pemantauan diketahui ada tiga kawanan gajah yang menjelajah di kawasan Simpang Heran, salah satu kawanan adalah kelompok dominan. Kawanan ini sudah terbiasa hidup berdampingan dengan masyarakat. Akan tetapi, tidak jarang juga berkonflik.
Salah satu yang mencolok adalah gugurnya Bintara Pembina Desa Koramil 402-14/Air Sugihan, Sertu Iskandar Zulkarnaen pada Maret 2020 karena terinjak gajah liar yang diduga merupakan anggota dari salah satu kawanan tersebut. Oleh karena itu, persiapan matang menjadi hal terpenting dalam menjalankan misi. Kawanan gajah bisa saja berbalik menyerang tim yang sedang bekerja.
“Jangan sampai niat awal kita untuk melindungi gajah, tetapi kita menjadi korban amukan gajah,“ kata Syamsuardi.
Risiko itu bukan sekadar isapan jempol belaka. Pada 2017, Nazaruddin yang juga seorang mahout (pawang) gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung ini, pernah hampir meregang nyawa karena gajah yang menjadi sasaran biusnya berbalik menyerang. Kala itu, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena kakinya tersangkut di antara kayu.
Beruntung, gajah itu tidak membunuhnya melainkan hanya menendangnya. Kala itu, Nazaruddin harus dirawat selama 1 bulan karena kaki dan tangan kirinya patah. Pengalaman itu menjadi pembelajaran bagi semua petugas untuk tidak gegabah dalam mendekati gajah.
Pengalungan GPS
Ketika Meilani terbius, dia berjalan sekitar 10 meter masuk ke perkebunan akasia. Pengaruh bius mulai terlihat ketika Meilani hanya diam tidak bergerak.
Mahout dari Suaka Margasatwa Padang Sugihan lalu melakukan langkah awal, yakni menutup mata Meilani dengan kain hitam dan menyumpal telinganya. Tujuannya, dia tidak terganggu dengan pergerakan petugas yang ada disekitarnya.
Dirasa telah aman, petugas segera memasang kalung GPS. Beberapa kali suntikan bius ditambahkan. Butuh waktu sekitar dua jam untuk memasangkan kalung tersebut. Karena Meilani tidak sepenuhnya tertidur. Sesekali dia bergerak membuat petugas harus lebih berhati-hati.
Dokter hewan dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Erni Suyanti Musabine juga turut serta dalam misi ini. Dengan teliti dia memeriksa takaran dosis yang dibutuhkan sebelum diberikan ke Meilani. Semua harus pas, tidak boleh kurang dan lebih. Takaran harus disesuaikan dengan bobot Meilani sekitar 2,8 ton.

Petugas sedang mengambil sampel darah sekaligus memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Teknologi ini digunakan sebagai upaya mitigasi konflik antara warga dan gajah.
Erni terus memantau kondisi Meilani selama dalam pengaruh obat bius. Langkah terakhir, dia juga mengambil sampel darah gajah yang bisa digunakan untuk kepentingan penelitian lebih lanjut. Setelah semua tugas purna, Erni memberikan obat penangkal untuk kembali menyadarkan sang gajah.
Proses yang sama juga dilakukan saat memasang GPS pada gajah Meisi (30) yang juga merupakan gajah betina dari kelompok dominan. Bedanya, Meisi lebih cepat terlelap dibanding Meilani. Ketika GPS dikalungkan, Meisi yang berbobot 2,5 ton itu hanya terdiam dengan dengkuran yang sangat keras. Namun, petugas tidak sempat mengambil sampel darah karena 11 gajah lain yang merupakan kawanannya kembali mendekat ke arah Meisi.
Alasan tim memilih Meilani dan Meisi menjadi target pemasangan kalung GPS, jelas Erni, karena mereka merupakan gajah betina dewasa yang tidak lagi mengalami pertumbuhan signifikan. Di usia itu, kecil kemungkinan terjadi penambahan lingkar leher sehingga keberadaan kalung GPS tidak akan membuat mereka tercekik.
Syarat lain, yakni gajah tersebut tidak dalam kondisi mengandung. Itu karena pada proses pemasangan GPS akan diawali dengan pembiusan, jika gajah tersebut sedang hamil, dikhawatirkan akan berpengaruh pada janinnya.
Alat tersebut juga harus diberikan kepada gajah betina karena hanya gajah betinalah yang hidup berkelompok hingga ajal menjemput. Biasanya dalam satu kawanan, terdapat gajah betina dari usia anak-anak hingga tua, gajah jantan anak-anak hingga remaja atau di bawah 15 tahun. Adapun untuk gajah jantan dewasa, mereka biasanya akan keluar dari kawanan, berkelana sendiri (soliter) untuk mencari wilayah dan mengincar kelompok betina lain untuk kawin.
“Jadi, agar penjelajahan kawanan gajah bisa terpantau, GPS harus dipasang di gajah betina,“ katanya.
Perlindungan gajah merupakan tanggung jawab semua pihak terkait, termasuk perusahaan dan pemerintah daerah.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Ujang Wisnu Barata menilai misi ini terbilang berhasil karena tim bisa menyematkan dua kalung GPS dalam waktu kurang dari satu hari. “Walau memang sebelum eksekusi. tim sudah melakukan pemantauan lebih dulu sehingga pada saat pelaksanaan bisa relatif lancar,“ kata Ujang.
Pola kerja seperti ini akan dijadikan pedoman lanjutan dalam melakukan misi serupa. Walau memang, tidak mungkin bisa sama karena yang petugas hadapi adalah makhluk hidup yang memiliki karakter, kondisi tubuh, dan tinggal lingkungan yang berbeda-beda.
Dalam waktu 40 hari ke depan, lanjut Ujang akan ada misi serupa, yakni pelepasan dan pemasangan kembali kalung GPS pada gajah Meli (16) di Kecamatan Mekakau Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumsel. Kali ini medannya cukup berat karena Gajah Meli berada di kawasan perbukitan.
Menurut Ujang, pemasangan kalung GPS saat ini sangat krusial untuk memantau pergerakan satwa dilindungi sehingga risiko konflik pun dapat ditekan. “Bukan berarti ketika kalung GPS ini terpasang konflik akan berakhir. Namun, langkah ini setidaknya sebagai upaya mitigasi untuk meminimalisasi risiko konflik yang lebih besar,“ katanya.
Dengan pemasangan dua kalung GPS ini, artinya sudah ada tiga GPS yang terpasang pada tiga ekor gajah di Sumsel. Sebelumnya, GPS telah dipasang pada gajah Meli (15) di Kecamatan Mekakau Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan pada Oktober 2021.
Idealnya, semua kelompok gajah di Sumsel bisa dipasangi kalung GPS. Tujuannya agar proses pemantauan dan pendataan pergerakan gajah bisa lebih akurat.
Namun, perkara itu tidaklah mudah. Semua harus dilakukan secara bertahap karena butuh dana dan upaya yang cukup besar dan berat. Untuk membeli satu perangkat kalung GPS gajah dari Afrika Selatan saja membutuhkan dana sekitar Rp 50 juta. Dalam waktu dekat setidaknya, BKSDA Sumsel membutuhkan empat kalung GPS lagi untuk bisa diberikan kepada gajah tunggal atau gajah kelompok di Sumsel.
Hingga April 2022, BKSDA Sumsel mengestimasi populasi gajah Sumatera di Sumsel mencapai 207 individu. Mereka tersebar di 9 kantong habitat. Dari jumlah tersebut, hanya ada 36 gajah yang hidup di kawasan konservasi. Sisanya ada di lahan nonkonservasi utamanya konsesi milik perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri.

Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan sedang memasang GPS collar pada salah satu gajah sumatera liar di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Teknologi ini digunakan sebagai upaya mitigasi konflik antara warga dengan gajah.
Permasalahan
Beragam masalah menghadang gajah di Sumsel. Masalah mendasar adalah belum ditemukannya metode yang tepat untuk menghitung secara pasti jumlah gajah yang hidup di Sumsel. Sebagian besar masih berdasarkan perjumpaan warga dengan kawanan gajah. Dengan kalung GPS ini diharapkan pendataan pada gajah bisa lebih akurat.
Masalah lain, lanjut Ujang adalah aktivitas perambahan yang terjadi di dalam dan di luar kawasan hutan. Hal ini menggerus habitat gajah sehingga ruang gerak gajah sumatera di Sumsel pun kian sempit. Kondisi ini berisiko memunculkan risiko inbreeding (perkawinan sedarah) antarsatwa.
Dalam beberapa kasus, ada gajah betina yang hidup sendiri atau bahkan ada kelompok gajah yang tidak memiliki gajah jantan. “Jika tidak segera direlokasi, proses perkembangbiakan gajah akan terganggu,“ kata Ujang.
Baca Juga: Kenali, Sayangi, dan Lindungi Gajah Sumatera
Kondisi ini terjadi pada gajah Meli yang hanya hidup sendiri di Kawasan Mekakau Ilir, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan dan satu kawanan gajah yang kesemuanya betina yang sekarang menjelajah di kawasan Suaka Margasatwa Gunung Raya OKU Selatan. Belum lagi masalah lain seperti perburuan gajah untuk diambil gadingnya.
Perlindungan gajah merupakan tanggung jawab semua pihak terkait, termasuk perusahaan dan pemerintah daerah. Ujang berharap, akan lebih banyak lagi Kalung GPS yang bisa dipasang di Sumsel agar keberadaan gajah bisa lebih terpantau sehingga permasalahan yang selama ini terus menggelayut bisa segera dikikis secara bertahap.

Gajah bermain di sungai dan menyemburkan air . Selain sebagai pusat mitigasi konflik gajah, fasilitas ini menjadi obyek wisata satwa lindung gajah.
Kepala Konservasi Kawasan APP Sinar Mas, Jasmine NP Doloksaribu mengatakan, APP Sinar Mas mendukung beragam program dari Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan serta turut berperan aktif menjadi bagian dari program Gajah-Manusia Hidup Bersama serta pengembangan inovasi teknik mitigasi konflik antara manusia dan gajah Sumatera yang adaptif di luar kawasan konservasi.
Kegiatan kolaborasi program sistem peringatan dini melalui pemasangan kalung GPS ini diharapkan dapat semakin memudahkan pemangku kepentingan dalam memahami prinsip berbagi ruang hidup antara manusia dan gajah. Selain itu, pola ini berkesesuaian dengan strategi aksi konservasinya yang tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem tahun 2021 tentang arahan pelaksanaan kegiatan prioritas pengelolaan gajah sumatera, yang sejalan dengan visi peta jalan keberlanjutan tahun 2030 dan kebijakan konservasi hutan APP Sinar Mas.
Namun, yang terpenting ungkap Erni Suyanti, adalah meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan pihak perusahaan mengenai pentingnya melindungi gajah sumatera yang menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), kini berstatus satwa dengan populasi kritis (critically endangered).
“Ingat sebelum ada manusia yang bermukim, gajah sudah ada di kawasan hutan. Jadi sebenarnya kitalah tamunya. Jangan anggap gajah atau satwa dilindungi lainnya sebagai hama. Jadikanlah mereka layaknya sahabat yang mesti dijaga keberadaannya,“ kata Erni.
Seperti kutipan lirik dalam lagu Gajah yang dilantunkan oleh Tulus, “Kau temanku, kau doakan aku. Punya otak cerdas, aku harus tangguh. Bila jatuh gajah lain membantu. Tubuhmu di situasi rela jadi tamengku“. Mari jadi tameng pelindung bagi gajah sumatera.