Teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, empat tahun silam, merupakan tragedi kemanusiaan. Insiden itu sekaligus mengingatkan pentingnya memelihara kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
”Hak asasi manusia bukan sekadar dilanggar oleh terorisme, represi, atau pembunuhan, melainkan struktur ekonomi tak adil yang menciptakan ketidaksetaraan amat besar” (Paus Fransiskus).
Pernyataan Pemimpin Gereja Katolik ini relevan dalam melihat empat tahun teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, 13-14 Mei 2018. Tragedi berdarah itu sulit dilupakan, terutama bagi keluarga korban tewas, terluka, dan trauma, serta kalangan warga yang terguncang. Namun, menurut Paus Fransiskus, Allah tidak pernah lelah mengampuni, tetapi manusialah yang lelah mengampuni.
Pengampunan atau memaafkan, serta kebersamaan, kembali digemakan dalam perayaan ekaristi di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Surabaya, Jumat (13/5/2022). Misa yang dimulai pukul 18.00 itu bukan sekadar ibadat harian pada petang, melainkan juga untuk memperingati teror bom empat tahun silam yang merenggut nyawa, melukai, dan meninggalkan trauma umat paroki tersebut. Namun, umat diharapkan memandang insiden berdarah itu sebagai peristiwa iman.
Di depan altar dipajang enam foto korban tewas dalam teror bom. Mereka yang telah bersatu dalam keabadian adalah Aloysius Bayu Rendra Wardhana, Mayawati, Vincentius Evan Hudoyo, Nathanael Ethan Hudoyo, Ciska Eddy Handoko, dan Liem Gwat Nie. Setengah jam sebelum misa, diadakan rosario, doa yang didaraskan setiap hari sepanjang Mei yang diperingati sebagai Bulan Maria.
Pastor Kepala Paroki SMTB Reverendus Dominus (RD) Benediktus Prima Novianto dalam khotbah mengatakan, teror bom empat tahun lalu atau Minggu (13/5/2018) di teras gereja oleh dua remaja lelaki terjadi sebelum misa pagi. Teror berdarah itu jelas meninggalkan kekecewaan dan duka mendalam. ”Namun, ada rahmat di balik itu,” ujarnya.
Teror sejatinya belum terlalu lama terlewati. Tentu masih ada rasa duka, benci, kecewa, bingung, dan segala rasa. Akan tetapi, seperti disampaikan Novianto, teror seharusnya tidak membuat umat menjadi takut untuk hidup bersama dalam cinta kasih. Umat adalah bagian dari tubuh besar rakyat Indonesia yang beragam, tetapi bersatu dalam Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara.
Ia melanjutkan, teror bom menodai dan merusak kemanusiaan dan persaudaraan. Namun, dengan pengampunan, memaafkan, dan kebesaran hati, relasi dipulihkan. Yang terus digemakan ialah bahasa cinta, bahasa kasih, bahasa yang lembut, halus, dan menenteramkan jiwa. Itulah modal utama dalam hidup bersama.
”Umat Katolik melihat teror bom sebagai peristiwa iman. Berani meminta maaf, mengevaluasi diri, dan berubah sikap dan pandangan,” katanya.
Gereja SMTB merupakan satu dari tiga bait ibadah nasrani yang dihantam teror bom empat tahun lalu. Setelah horor berdarah terjadi di SMTB, pelaku teror bom meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuno. Serangan mengerikan di tiga gereja dilakukan oleh pasangan Dita Oeprianto dan Puji Kuswati yang secara keji melibatkan empat anak mereka.
Teror pertama di Gereja SMTB oleh dua anak lelaki pasangan itu. Ledakan kedua terjadi di GKI oleh Puji dan dua anak perempuannya. Yang ketiga, Dita meledakkan diri sekaligus menabrakkan mobil di GPPS. Rangkaian teror terjadi dalam kurun waktu di bawah satu jam ketika di tiga gereja hendak atau sedang berlangsung misa atau ibadat.
Teror berdarah tidak berhenti di sana. Malamnya, ledakan terjadi di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, yang menewaskan pasangan Anton Ferdiantono-Puspita Sari dan seorang anak mereka. Tiga anak Anton dan Puspita selamat meski terluka. Keesokan pagi atau Senin (14/5/2018), ledakan terjadi di gerbang Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya oleh keluarga Murtono-Ernawati yang turut menewaskan dua anak lelaki mereka. Yang mengherankan, anak perempuan yang turut dibawa dalam bom bunuh diri itu selamat dan masih hidup.
Kepolisian Daerah Jawa Timur mencatat korban tewas dalam serangkaian teror bom itu 28 orang dari korban dan pelaku. Teror bom juga melukai 57 orang lainnya, yakni umat, petugas gereja, aparat, dan masyarakat umum.
Berbagai tragedi dari terorisme hendaknya tidak sekadar dilihat sebagai peristiwa yang patut disayangkan. Setiap orang perlu berani membuat penilaian bahwa teror tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan oleh manusia yang mengaku memiliki iman terhadap Tuhan atau mereka yang beragama. Teror menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan di situ Tuhan dinodai oleh tindakan yang keji.
Teror berdarah di gereja dan tempat ibadah lainnya hingga kini masih terjadi di seluruh penjuru dunia. Bahkan, dalam masa Ramadhan dan Lebaran, 2-3 Mei 2022, serangkaian teror bom terjadi di Afghanistan dan Pakistan.
Guru Besar Perbandingan Agama pada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi, berpendapat, cara umat Katolik, khususnya Paroki SMTB, yang melihat teror bom sebagai peristiwa iman merupakan tindakan mulia dan cara paling sehat memaknai tragedi itu dari sisi korban.
”Tidak terjebak menjadi balas dendam yang bisa merusak nilai kemanusiaan. Sungguh, melihat tragedi sebagai peristiwa iman mengukuhkan keimanan umat,” katanya.
Berbagai tragedi dari terorisme hendaknya tidak sekadar dilihat sebagai peristiwa yang patut disayangkan. Setiap orang perlu berani membuat penilaian bahwa teror tidak dibenarkan dan tidak boleh dilakukan oleh manusia yang mengaku memiliki iman terhadap Tuhan atau mereka yang beragama. Teror menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan di situ Tuhan dinodai oleh tindakan yang keji.