Mendagri Tito Karnavian: Penetapan Penjabat Kepala Daerah melalui Sidang Cukup Demokratis
Mendagri Tito Karnavian menyatakan, penetapan 5 penjabat gubernur yang dilantik pada Kamis (12/5/2022) ini berlangsung demokratis meski hal itu tak mengikuti pertimbangan MK yang mensyaratkan adanya peraturan pelaksana.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kamis (12/5/2022), melantik lima penjabat gubernur untuk menggantikan gubernur di lima provinsi yang masa jabatannya berakhir pada 12 Mei 2022 ini. Tito menyatakan, penetapan lima penjabat itu telah melalui sidang yang cukup demokratis meskipun penetapan itu tidak mengikuti pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni agar pengisian penjabat kepala daerah demokratis, maka pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana.
Para penjabat yang dilantik tersebut adalah Sekretaris Daerah Banten Al Muktabar sebagai penjabat Gubernur Banten, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin sebagai penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat.
Selanjutnya ada Staf Ahli Menteri Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo, serta Deputi Badan Nasional Pengelola Perbatasan Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat.
Adapun pelantikan dilaksanakan di Ruang Sasana Bhakti Praja Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Pelantikan juga dihadiri oleh pejabat dari instansi lain, seperti Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam sambutannya seusai melantik para penjabat gubernur, Tito menyampaikan, proses pemilihan para penjabat sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sesuai kesepakatan antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, pilkada akan dilakukan secara serentak pada 27 November 2024. Sesuai UU Pilkada, kekosongan masa jabatan gubernur diisi dengan pejabat pimpinan tinggi madya (JPT madya). JPT madya setara dengan pejabat eselon I.
”Mendagri mengajukan nama-nama calon (penjabat kepala daerah) kepada presiden sesuai masukan dari tokoh-tokoh masyarakat, suara-suara lembaga-lembaga masyarakat, seperti Majelis Rakyat Papua Barat (MRP). Presiden kemudian melakukan sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang diikuti oleh sejumlah menteri dan kepala lembaga untuk menentukan. Mekanisme melalui sidang itu cukup demokratis,” tutur Tito.
Setelah pelantikan lima penjabat gubernur ini, dalam waktu dekat Kemendagri juga akan menunjuk 37 penjabat bupati dan enam penjabat wali kota yang akan habis masa jabatannya pada 22 Mei ini.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi lewat putusan No 67/2021 menyampaikan pertimbangannya bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah masih dalam ruang lingkup pemaknaan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, MK menyatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Tito mengaku sudah membaca putusan MK mengenai uji materi proses penunjukan penjabat kepala daerah. Menurut dia, pertimbangan yang diberikan oleh MK letaknya bukanlah di amar putusan, melainkan bagian pertimbangan hukum.
Terkait dengan penetapan penjabat kepala daerah ini, Tito mengaku sudah membaca putusan MK mengenai uji materi proses penunjukan penjabat kepala daerah. Menurut dia, pertimbangan yang diberikan oleh MK letaknya bukanlah di amar putusan, melainkan bagian pertimbangan hukum. Dalam amar putusannya, kata Tito, MK hanya menyebut bahwa penunjukan penjabat kepala daerah sesuai dengan UU No 10/2016.
”Itu letaknya bukan di putusan, tetapi dalam pertimbangan,” kata Tito.
Tito mengakui bahwa di dalam pertimbangan putusan MK terdapat pendapat MK yang meminta agar pemerintah mempertimbangan dan membuat peraturan teknis pelaksana (peraturan pemerintah) agar penunjukan penjabat lebih demokratis dan transparan.
”Demokratis, kan, tidak mungkin mendengarkan seluruh aspirasi rakyat, itu namanya pemilihan. Kami tetap menjaring aspirasi dengan mekanisme pemilihan melalui sidang Tim Penilai Akhir (TPA),” kata Tito.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benny Irwan mengatakan, Kemendagri tetap akan menghormati dan mencermati putusan dari MK. Memang, dalam amar putusan, permohonan para pemohon uji materi UU Pilkada ditolak oleh MK. Namun, MK juga memberikan sejumlah pandangan hukum melalui pertimbangan. Di antaranya adalah mekanisme penunjukan kepala daerah harus dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan, dan demokratis. Oleh karena itu, Kemendagri tidak akan mengabaikan pandangan MK.
”Kami melihat sejauh ini regulasi yang ada masih memadai untuk melakukan proses pengangkatan penjabat dengan mekanisme yang ada. Jika memang ada kekurangan dalam pelaksanaannya, bisa saja kami tinjau ulang,” kata Benny.
Adapun lima penjabat yang dilantik kali ini akan mengisi jabatan gubernur minimal satu tahun masa jabatan. Kinerja mereka juga akan dievaluasi setiap tiga bulan sekali untuk memastikan efektivitas pemerintahan daerah. Hal itu sesuai dengan UU Pilkada, bahwa penjabat gubernur memiliki masa jabatan paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang kembali selama satu tahun kemudian, baik dengan orang yang sama ataupun berbeda.
Untuk itu, Kemendagri akan mengevaluasi per tiga bulan sekali efektivitas pemerintahan daerah di bawah kepemimpinan penjabat. Penjabat gubernur bertanggung jawab melaporkan tugasnya kepada presiden melalui Mendagri. Adapun penjabat bupati dan wali kota melaporkan melalui gubernur.
Direktur Otonomi Khusus Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Andi Batara Lipu menjelaskan, evaluasi per tiga bulan dilakukan sebagai mekanisme kontrol atau pengawasan agar para penjabat melakukan tugasnya dalam koridor aturan yang berlaku. Apabila ditemukan ada laporan penyimpangan, mereka tidak akan serta-merta diberhentikan. Kemendagri akan melakukan proses pembinaan terlebih dahulu.
Benny Irwan menambahkan, kewenangan para penjabat kepala daerah ini tidak sama dengan kepala daerah definitif yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Penjabat kepala daerah dibatasi kewenangannya dalam empat hal yang dilarang, yakni melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang sudah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya, melakukan pemekaran daerah, serta membuat kebijakan penyelenggaraan daerah yang bertentangan dengan program pembangunan pejabat sebelumnya.
”Semua pembatasan kewenangan itu bisa tetap dilakukan oleh penjabat apabila mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri,” kata Benny.
Secara spesifik, Tito berpesan kepada penjabat gubernur agar membina hubungan terhadap Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkominda) dengan baik. Penjabat juga diminta menjaga stabilitas politik dan keamanan di daerah dengan baik agar program dapat dieksekusi dengan baik. Misalnya, program penanganan pandemi Covid-19 yang belum berakhir, program strategis nasional yang menjadi atensi pemerintah pusat, yaitu program pendidikan, penanganan stunting, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
”Jangan hanya bekerja di belakang meja, tetapi juga harus turun ke lapangan,” kata Tito.
Terkait dengan evaluasi per tiga bulan ini, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Nurcahyadi Suparman menuturkan, idealnya Kemendagri perlu memiliki kerangka monitoring dan evaluasi dengan variabel dan indikator penilaian yang berfokus pada lima dimensi tata kelola perencanaan, penganggaran, perancangan, implementasi kebijakan, kelembagaan, dan pelayanan publik.
”Kerangka monitoring dan evaluasi itu perlu dikuatkan oleh regulasi teknis sehingga pemerintah dan publik memiliki kerangka yang sama,” kata Herman.
Idealnya Kemendagri perlu memiliki kerangka ”monitoring” dan evaluasi dengan variabel dan indikator penilaian.
Lebih lanjut, Herman mengatakan bahwa metode evaluasi tiga bulanan jangan hanya bergerak pada satu arah kebijakan dari atas ke bawah (top down). Seharusnya evaluasi itu juga melibatkan multi pemangku kepentingan, seperti DPRD, masyarakat sipil, media massa, akademisi atau kampus, dan dunia usaha. Pengawasan kolaboratif ini harus didukung oleh desain kelembagaan yang dituangkan dalam kebijakan teknis pengawasan.
”Kemendagri juga perlu melakukan pengawasan melalui platform digital. Ini memberikan kesempatan kepada seluruh komponen untuk memberikan masukan melalui pengawasan platform digital,” kata Herman.