Penjabat Kepala Daerah Diharapkan Memiliki Kemampuan dalam Merespons Krisis
Menjelang Pemilu 2024, sejumlah daerah bakal dipimpin penjabat kepala daerah dalam kurun lama. Kemampuan para penjabat dalam mengelola krisis dan dinamika masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghadapi tahun politik.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Menjelang Pemilu 2024, sejumlah daerah bakal dipimpin oleh penjabat kepala daerah, termasuk Jawa Barat. Tidak hanya keahlian administratif, para penjabat ini diharapkan memiliki kemampuan untuk merespons krisis dan dinamika masyarakat.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam Kompas XYZ Forum, Selasa (10/5/2022), menyatakan, sejumlah kepala daerah di provinsi ini bakal berganti dalam waktu dekat. Di tahun 2022, terdapat tiga pasangan kepala daerah di Jabar yang mengakhiri masa jabatan, yakni Bupati Bekasi, Wali Kota Cimahi, dan Wali Kota Tasikmalaya.
Sementara itu, pada 2023, jabatan kepala daerah di Kota Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kota Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Bandung Barat, dan Kota Bandung juga berakhir. Jabatan Gubernur Jabar juga berakhir di tahun yang sama.
Tidak hanya Jabar, ratusan daerah lainnya juga bernasib sama. Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 271 daerah bakal dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Jumlah ini meliputi 24 provinsi, 191 kabupaten, dan 56 kota.
Para penjabat kepala daerah ini ditugasi untuk mengisi kekosongan kepemimpinan daerah sebelum Pemilihan Umum 2024 yang dilaksanakan secara serentak. Penjabat dipilih dari aparatur sipil negara (ASN) di tingkat jabatan tinggi madya untuk tingkat provinsi, dan jabatan tinggi pratama di tingkat kabupaten dan kota.
Emil berpendapat, kondisi yang terjadi ini merupakan pilihan demokrasi di Indonesia yang menginginkan pemilu serentak. Namun, pilihan ini memiliki konsekuensi, yaitu sejumlah daerah dengan masa waktu penjabat yang panjang.
Karena itu, ujar Emil, penjabat kepala daerah ini tidak hanya harus memiliki kemampuan administratif, tetapi juga manajemen konflik. Apalagi, para penjabat akan menghadapi tahun politik yang rawan perselisihan di antara masyarakat.
”Kami lihat, evaluasi para penjabat sebelumnya, mereka hanya menjadi administratur. Padahal (kepala daerah), tidak hanya itu, tetapi juga bagaimana dia berkomunikasi dengan masyarakat dalam merespons krisis. Tidak semua menghadapi dinamika pembangunan,” ujarnya dalam forum hibrida yang disaksikan dari Bandung.
Terlepas dari semua pendapat tersebut, Emil menyatakan, pihaknya akan melaksanakan penentuan penjabat daerah melalui prosedur yang ada. Namun, dia menyayangkan pemilihan penjabat kepala daerah selama ini tidak melibatkan publik. Apalagi, di tengah situasi tersebut, Emil mengaku dirinya bahkan berhadapan dengan lobi politik dari pihak yang ingin mengangkat ASN tertentu sebagai penjabat.
”Penjabat kepala daerah ini individu administratif masuk ke gelanggang yang sifatnya politik. Apalagi, umur jabatan ini panjang. Dinamika ini perlu disosialisasikan,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menjawab pendapat Emil. Dia menyatakan, sejumlah ASN memiliki pengalaman memimpin di kelas akar rumput, mulai dari kelurahan hingga kecamatan. Pengalaman ini bisa menjadi bekal bagi ASN untuk menjadi penjabat yang bisa mengelola dinamika di tengah masyarakat.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo yang turut mengikuti diskusi forum tersebut menyatakan, pihaknya mengingatkan kepala daerah yang hendak maju dalam kontestasi agar tidak ngotot dalam mengajukan ASN-nya sebagai calon penjabat. ”Netralitas ASN akan terus ditegakkan. Apalagi, saat ini masyarakat semakin kritis,” ujarnya.