Wajah Malioboro berubah. Seperti mendapat karpet merah, pasca-penataan PKL, pengunjung makin leluasa berwisata. Di sisi lain, penataan masih menyisakan kekecewaan bagi pedagang.
Oleh
REGINA RUKMORINI, NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Malioboro, jantung Kota Yogyakarta, terus bersolek. Puluhan tahun lekat dengan keriuhan pedagang kaki lima, Malioboro hadir dengan wajah baru. Jalur penuh kenangan itu lebih bersih dan rapi memanjakan penikmatnya.
Sudah 15 menit berlalu. Sugiharti (50) dan putrinya masih berdiri di depan sebuah papan penanda jalan bertulis ”Jalan Malioboro”, di sisi timur trotoar Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (3/5/2022). Sambil mengutak-atik ponsel, mereka menanti giliran berfoto.
”Kebetulan, ini sekalian mudik. Kalau ke Yogyakarta, tidak berkunjung ke Malioboro, rasanya ada yang kurang. Seperti belum afdal. Juga ingin tahu sih bagaimana kondisinya Malioboro setelah ditata. Ternyata bagus sekali,” kata wisatawan asal Jakarta itu.
Sugiharti mengaku takjub dengan wajah Malioboro terkini. Trotoarnya lebar. Pedagang kaki lima (PKL) juga sudah tak lagi memadati area trotoar. Baginya, tampilan terbaru kawasan tersebut membuatnya lebih nyaman buat berwisata.
Arofah (34), pengunjung asal Malang, Jawa Timur, juga mengaku, setelah lebih dari empat kali berkunjung ke Malioboro, baru kali ini dia dan keluarga bisa menyantap makanan di bangku trotoar. ”Saat masih ada PKL, kondisi trotoar tidak nyaman. Biasanya terganggu kerumunan dan suara pedagang menawarkan dagangan,” ujarnya.
Wajah baru Malioboro juga terasa menyenangkan bagi Rina (29), wisatawan asal Purwokerto, Jawa Tengah. Kelegaan ini membuatnya bisa berjalan nyaman tanpa gangguan deretan pedagang yang berjajar dan saling berhadapan, seolah mengepung setiap pengunjung yang melintas.
”Biasanya saya hanya ingin berjalan-jalan atau sudah memiliki tujuan membeli barang di toko tertentu. Kehadiran banyak pedagang yang merayu dan menawarkan dagangan justru cukup mengganggu,” ujarnya.
Bagi Rina, hal ini lebih baik. Pengunjung yang hanya ingin berjalan-jalan bisa leluasa, sedangkan yang ingin berbelanja, bisa langsung datang ke Teras Malioboro.
Penataan trotoar Malioboro dimulai 2018. Namun, pemindahan PKL pada Februari 2022 benar-benar mengubah wajah jalan itu. Musim libur Lebaran tahun ini, menjadi yang pertama kali Malioboro versi baru dijejali jutaan warga dan pelancong.
Sebanyak 1.836 PKL Malioboro direlokasi ke Teras Malioboro I yang memanfaatkan bekas gedung bioskop Indra dan Teras Malioboro II di lahan bekas kantor Dinas Pariwisata DIY. Kini, sepanjang Malioboro yang tampak ramai hanyalah wisatawan. Ada yang duduk-duduk di bangku, berjalan-jalan sambil mengemil kudapan lokal, dan berswafoto di sekitar papan nama Jalan Malioboro. Yang lain mengokupasi beberapa bangku jalan menggelar acara makan bersama keluarga.
Meski demikian, longgarnya ruang di Malioboro masih kebablasan dimanfaatkan. Trotoar yang dikhususkan bagi pejalan kaki justru dimanfaatkan sejumlah orang untuk memakai sepeda ataupun skuter listrik. Hal ini tentu membahayakan.
Wajah baru ini juga disambut gembira oleh Yudi (30), sopir andong yang biasa mangkal di kawasan Malioboro. Kendati tidak berdampak langsung pada penghasilan hariannya, dia mengaku lebih nyaman saat mangkal, karena kondisi trotoar lebih bersih dan rapi.
Dampak usaha
Sekalipun menyenangkan bagi para wisatawan, program penataan PKL masih menyisakan kekecewaan bagi sejumlah pedagang. Sejak direlokasi dan menempati lokasi berdagang baru di Teras Malioboro, mereka mengaku pemasukannya menurun.
Walidi (56), pedagang kaus di Teras Malioboro I mengaku semakin kecewa karena penurunan omzet terjadi di masa libur Lebaran, yang biasanya jadi puncak pendapatan. ”Saat masih di emperan (trotoar), dari pagi hingga siang sekitar pukul 12.00 saja, saya sudah bisa mendapatkan Rp 10 juta. Namun, saat di sini (Teras Malioboro), pendapatan dari pagi hingga siang hanya sekitar Rp 100.000,” ujarnya.
Walidi mengaku sebenarnya ingin kembali berdagang di trotoar. Walau berisiko kepanasan dan kehujanan, hal itu dinilainya lebih baik bagi pendapatannya. ”Di trotoar, saya cuma merasakan panas matahari. Di sini, pikiran saya yang jadi panas mikir utang karena banyak kaus tidak laku,” ujar Walidi yang sudah 20 tahun lebih berdagang di trotoar Malioboro.
Ratna (41), pedagang aneka makanan khas seperti bakpia, geplak, dan wajik, juga mengeluh karena relokasi tersebut membuatnya kehilangan kontak dengan pelanggan-pelanggan lamanya. ”Saya harus memulai dari awal, babad alas lagi,” ujar Ratna yang sudah berdagang di Malioboro sekitar 10 tahun.
Penempatan PKL juga tidak dibagi berdasarkan produk dagangan. Ratna mencontohkan, ia menjual makanan bercampur dengan pedagang kaus dan topi.
Hasyim, pedagang topi di Teras Malioboro 1, lugas mengkritik penataan PKL yang membuat Malioboro kehilangan kekhasan. Pemindahan akan membuat pengunjung hanya merasa berbelanja di pasar tradisional biasa.
Dia juga menyesalkan kebijakan penataan yang tidak dibarengi upaya Pemerintah DIY membantu para pedagang melakukan promosi. Pemda DIY semestinya membantu meramaikan suasana Teras Malioboro dengan menggelar acara-acara yang mengundang massa, seperti pentas musik, tari, ataupun festival kuliner.
Setiap perubahan selalu menuai pro dan kontra. Namun, seiring waktu, penataan Malioboro menjadi keniscayaan jika ingin beradaptasi menuju destinasi bertaraf internasional.